Doa Yusuf

Gambar: KISAH_yusuf

"Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya," (Matius 1:24)

Baris kosong di antara ayat-ayat Kitab Suci adalah lahan subur bagi munculnya berbagai pertanyaan. Orang yang membaca Kitab Suci pasti sering berbisik, "Saya bertanya-tanya ...."

"Saya bertanya-tanya apakah Hawa pernah makan lebih banyak buah lagi."

"Saya bertanya-tanya apakah Nuh bisa tidur nyenyak selama badai."

"Saya bertanya-tanya apakah Yunus suka ikan atau apakah Yeremia punya teman."

"Apakah Musa menghindari semak-semak? Apakah Yesus bisa bercanda? Apakah Petrus pernah mencoba berjalan di atas air lagi?"

"Apakah ada wanita yang bersedia menikah dengan Paulus bila ia memintanya?"

Kitab Suci bagaikan pagar yang penuh lubang, tempat kita bisa mengintip, tetapi tidak dapat melihat gambarnya secara keseluruhan. Kitab Suci adalah kliping yang berisi potret orang-orang yang bergaul dengan Allah, tetapi tidak pernah diceritakan secara tuntas. Kita pun jadi penasaran:

Ketika perempuan yang tertangkap basah melakukan perzinaan pulang ke rumahnya, apa yang ia katakan kepada suaminya?

Setelah orang yang kesurupan disembuhkan, apa yang ia lakukan untuk mencari nafkah?

Setelah anak perempuan Yairus dibangkitkan dari kematian, apakah ia pernah menyesalinya?

Aku memimpikan Yerusalem, tempat ibadat, para imam, dan banyak orang berkumpul untuk menonton.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

"Lubang-lubang", "potret-potret", dan "rasa penasaran". Anda akan menemukannya dalam setiap kisah dari setiap orang. Namun, tak ada yang lebih menggelitik untuk dipertanyakan selain kelahiran Kristus. Tokoh-tokohnya muncul dan menghilang sebelum kita sempat bertanya apa-apa. Si pelayan penginapan yang terlalu sibuk untuk menyambut Allah -- apakah ia kemudian tahu siapa sesungguhnya yang ia tolak? Para gembala -- pernahkah mereka mendendangkan lagu yang dinyanyikan para malaikat? Dan, bagi para majus yang mengikuti bintang, seperti apakah rasanya menyembah seorang bayi? Dan, Yusuf, khususnya Yusuf, saya punya banyak pertanyaan untuk Yusuf.

Apakah Anda dan Yesus pernah bermain adu panco? Apakah Dia pernah membiarkan Anda menang?

Apakah Anda pernah membuka mata saat berdoa dan melihat Yesus mendengarkan doa Anda?

Bagaimana Anda memanggil "Yesus" dalam bahasa Mesir?

Apa yang terjadi selanjutnya pada tiga raja itu?

Apa yang selanjutnya terjadi pada para majus itu?

Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Yusuf. Perannya di babak pertama kisah Yesus begitu penting sehingga kita berharap dapat melihat Yusuf sampai akhir drama. Namun, setelah adegan singkat bernama Yesus yang berusia 12 tahun di Yerusalem, ia tidak pernah muncul lagi. Kisah hidup Yusuf selanjutnya hanya dapat diduga-duga, dan kita hanya bisa bertanya-tanya.

Dari semua pertanyaan yang saya miliki, yang pertama-tama ingin saya tanyakan adalah tentang peristiwa Betlehem. Saya penasaran dengan peristiwa yang terjadi di kandang malam itu. Saya membayangkan Yusuf ada di sana. Bulan bersinar. Bintang-bintang berkelap-kelip di langit. Betlehem tampak bercahaya dari kejauhan. Dan, lihatlah, Yusuf sedang mondar-mandir di depan kandang.

Apa yang dipikirkannya saat Yesus akan lahir? Apa yang ada di benaknya saat Maria menjalani proses melahirkan? Ia telah melakukan semua yang bisa ia lakukan -- merebus air, menyiapkan tempat berbaring bagi Maria. Setelah berusaha membuat Maria senyaman mungkin di kandang itu, barulah ia keluar. Maria ingin sendirian. Yusuf pun belum pernah merasa ingin sendirian seperti saat itu.

Dalam masa-masa yang terasa begitu panjang sejak istrinya minta ditinggal sendirian hingga kelahiran Yesus, apa saja yang ia pikirkan? Ia berjalan dalam kegelapan malam dan memandangi bintang-bintang. Apakah ia berdoa?

Saya merasa ia tidak diam saja. Saya melihat Yusuf bergerak-gerak. Sekali waktu, ia menggeleng-gelengkan kepala, di lain waktu tangannya terkepal. Semua ini tidak pernah ada dalam pikirannya. Saya hanya menghayalkan apa yang dikatakannya ....

Ya Allah, ini tidak seperti yang kurencanakan. Sama sekali bukan. Anakku lahir di sebuah kandang? Aku tak pernah membayangkan ini akan terjadi. Sebuah gua berisi domba dan keledai, rumput dan jerami? Istriku sedang melahirkan dan hanya bintang-bintang yang mendengar jerit kesakitannya?

Sungguh, ini tidak seperti yang kubayangkan. Bukan. Aku membayangkan dikelilingi keluargaku. Aku membayangkan nenek-nenekku. Aku membayangkan para tetangga berkumpul di luar pintu dan teman-teman berdiri di sampingku. Aku membayangkan rumahku meledak oleh sukacita saat tangis pertama bayi itu terdengar. Tepukan di punggung. Suara tawa yang keras. Sorak-sorai kegembiraan.

Itulah yang kubayangkan bakal terjadi.

Bidan akan menyerahkan bayi itu ke dalam gendonganku dan semua orang akan bertepuk tangan. Maria akan beristirahat, dan kami akan merayakannya bersama-sama. Seluruh warga kota Nazaret akan merayakannya.

Akan tetapi, sekarang, lihatlah. Kota Nazaret masih lima hari perjalanan jauhnya. Dan, kami sekarang berada di sebuah ... di sebuah padang rumput bersama domba-domba. Siapa yang akan merayakannya bersama kami? Domba-domba? Para gembala? Bintang-bintang?

Rasanya semua ini tidak benar. Suami macam apa aku ini? Aku tidak bisa mencarikan bidan untuk menolong istriku. Tidak ada tempat tidur untuk membaringkan tubuhnya. Bantalnya hanyalah pelana keledaiku. Rumah untuknya pun hanyalah kandang berisi tumpukan rumput dan jerami.

Tempat ini bau dan gaduh karena suara binatang-binatang. Bahkan, bau tubuhku pun seperti bau gembala.

Apakah aku melalaikan sesuatu? Benarkah begitu, ya, Allah?

Saat Engkau mengutus malaikat dan berfirman tentang seorang anak lelaki yang akan lahir, bukan hal seperti ini yang aku bayangkan. Aku memimpikan Yerusalem, tempat ibadat, para imam, dan banyak orang berkumpul untuk menonton. Sebuah arak-arakan, barangkali. Sebuah karnaval. Setidaknya, sebuah pesta. Maksudku, ini 'kan Mesias!

Atau, jika tidak dilahirkan di Yerusalem, bagaimana kalau di Nazaret? Bukankah Nazaret adalah tempat yang lebih baik? Setidaknya, di sana aku punya rumah dan pekerjaan. Namun, di tempat ini, apa yang aku punya? Seekor keledai kecil yang lemah, setumpuk kayu bakar, dan sepoci air hangat. Ini semua di luar bayanganku! Bukan dengan cara ini seharusnya anakku dilahirkan.

Ya ampun, aku melakukannya lagi. Aku melakukannya lagi, bukan begitu Bapa? Aku tidak bermaksud melakukannya. Aku hanya lupa. Dia bukan anakku ... Dia milik-Mu.

Anak itu milik-Mu. Semua ini rencana-Mu. Semuanya gagasan-Mu. Dan, ampuni aku karena menanyakan ini, tetapi ... apakah ini cara Allah memasuki dunia? Kedatangan malaikat, bisa kuterima. Pertanyaan orang-orang mengenai kehamilan itu, bisa kutoleransi. Perjalanan ke Betlehem, tak jadi soal. Akan tetapi, melahirkan di sebuah kandang, mengapa begini Allah?

Beberapa menit lagi, Maria akan melahirkan. Bukan anak biasa, tetapi seorang Mesias. Bukan bayi biasa, tetapi Allah. Itulah yang dikatakan malaikat. Itulah yang diyakini Maria. Dan, Allah, ya, Allahku, itu pula yang ingin kupercayai. Akan tetapi, tentu saja Engkau tahu; ini tidak mudah. Semua kelihatan begitu ... begitu ... begitu aneh.

Aku tidak biasa menghadapi keanehan-keanehan seperti ini, ya Allah. Aku seorang tukang kayu. Aku membuat barang dengan ukuran yang tepat. Aku mengukur sisi-sisinya. Aku mengikuti garis tegak lurus. Aku mengukur dua kali sebelum memotong. Seorang tukang kayu tidak biasa menghadapi kejutan. Aku ingin tahu rencana-Mu. Aku ingin melihat rencananya, sebelum mengerjakannya.

Namun, kali ini, aku bukanlah tukang kayu, bukankah begitu? Kali ini, aku hanyalah sebuah alat. Sebuah palu dalam genggaman-Mu. Sebuah paku di sela-sela jemari-Mu. Sebuah pahat di tangan-Mu. Proyek ini milik-Mu, bukan milikku.

Aku merasa sangat bodoh karena meragukan-Mu. Ampunilah pemberontakanku. Kepercayaan tidak datang dengan mudah, ya Allah. Akan tetapi, Engkau memang tak pernah mengatakan bahwa ini akan mudah, ya, 'kan?

Satu hal terakhir, Bapa. Mengenai malaikat yang Kauutus. Bersediakah Engkau mengirimnya lagi? Jika bukan malaikat, mungkin seseorang? Aku tidak kenal siapa pun di sekitar sini. Alangkah menyenangkan seandainya ada orang yang mau menemani. Mungkin pelayan penginapan atau seorang pelancong? Atau, seorang gembala juga boleh.

Saya bertanya-tanya. Pernahkah Yusuf berdoa seperti itu? Mungkin ya. Mungkin juga tidak.

Akan tetapi, Anda mungkin pernah melakukannya.

Anda berdiri di tempat Yusuf berdiri. Terpaku di antara apa yang difirmankan Allah dan apa yang masuk akal. Anda telah melakukan apa yang telah Dia katakan, tetapi akhirnya Anda meragukan apakah benar-benar Dia yang mengatakannya. Anda menatap langit yang gelap karena tertutup keraguan. Dan, Anda menanyakan apa yang Yusuf tanyakan.

Anda bertanya-tanya apakah Anda masih berada di jalan yang benar. Anda bertanya apakah Anda seharusnya berbelok ke kiri saat Anda telah berbelok ke kanan. Dan, Anda bertanya-tanya apakah ada rencana di balik semua kejadian itu. Segala sesuatunya tidak terjadi seperti yang Anda harapkan.

Kita semua tahu seperti apa rasanya mencari cahaya di tengah kegelapan. Bukan di luar sebuah kandang, tetapi barangkali di luar ruang gawat darurat. Di atas kerikil-kerikil di pinggir jalan. Di atas rerumputan yang terawat di sebuah makam. Kita mengajukan pertanyaan. Kita mempertanyakan rencana Allah. Dan, kita bertanya-tanya mengapa Allah melakukan ini semua.

Langit Betlehem bukanlah yang pertama mendengar ratapan seorang peziarah yang kebingungan.

Jika Anda menanyakan apa yang Yusuf tanyakan, izinkan saya menyarankan kepada Anda untuk melakukan apa yang Yusuf lakukan. Taat. Itulah yang dilakukannya. Ia taat. Ia taat saat malaikat memanggil. Ia taat ketika Maria menjelaskan. Ia taat ketika Allah mengutusnya.

Ia taat kepada Allah.

Ia taat ketika langit tampak cerah.

Ia taat ketika langit menjadi gelap.

Ia tidak membiarkan kebingungan merusak ketaatannya. Ia tidak tahu apa-apa. Akan tetapi, ia melakukan apa yang ia tahu. Ia menutup usahanya, mengajak keluarganya berkemas, dan pergi ke negeri lain. Mengapa? Karena itulah yang Allah perintahkan.

Bagaimana dengan Anda? Sama seperti Yusuf, Anda pun dapat melihat keseluruhan gambar. Sama seperti Yusuf, tugas Anda adalah melihat bahwa Yesus dibawa masuk ke dunia Anda. Dan, seperti Yusuf, Anda pun punya pilihan: taat atau melanggar. Karena Yusuf taat, Allah memakainya untuk mengubah dunia.

Dapatkah Dia melakukan hal yang sama kepada Anda?

Sampai saat ini, Allah masih mencari orang-orang seperti Yusuf. Pria dan wanita yang percaya bahwa pekerjaan Allah di dunia ini belum selesai. Orang-orang biasa yang melayani Allah yang luar biasa.

Dapatkah Anda menjadi orang seperti itu? Bersediakah Anda untuk tetap melayani ... bahkan ketika Anda tidak mengerti?

Bukan, langit Betlehem bukanlah yang pertama mendengar permohonan hati yang jujur, juga bukan yang terakhir. Dan, barangkali, Allah tidak menjawab setiap pertanyaan Yusuf. Namun, Dia menjawab pertanyaan yang paling penting. "Apakah Engkau masih bersamaku, ya Allah?" Dan, melalui tangisan pertama bayi-Allah, jawaban itu muncul.

"Ya. Ya. Yusuf. Aku bersamamu."

Ada begitu banyak pertanyaan tentang Injil yang tidak dapat kita jawab hingga kita sampai di rumah. Begitu banyak lubang dan potret. Berulang kali, kita masih akan termenung." Aku bertanya-tanya ...."

Namun, dalam pikiran kita, ada satu pertanyaan yang tak perlu kita tanyakan. Apakah Allah peduli? Apakah kita berarti bagi Allah? Apakah Dia masih mengasihi anak-anak-Nya?

Lewat wajah mungil seorang bayi yang lahir di kandang, Dia menjawab, "Ya."

Ya, dosa-dosamu telah diampuni.

Ya, namamu telah tertulis di surga.

Ya, kematian telah dikalahkan.

Dan, ya, Allah telah memasuki duniamu.

Imanuel. Allah beserta kita.

"Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya," (Matius 1:24)

Download Audio

Diambil dan disunting dari:
Judul buku : Natal Momen Penuh Makna
Penulis : Max Lucado
Penerbit : Gloria Graffa, Yogyakarta 2004
Halaman : 55 -- 66
Kategori: 

Tinggalkan Komentar