Hadapi persoalan bersama Tuhan

Kisah ini diawali dengan pertemuan di kos temanku di th 2007, aku berkenalan dengannya. Akhirnya setelah kami sms an lalu kami bertemu lagi dan tak berapa lama kami memutuskan untuk pacaran di awal th 2008. Suamiku adalah pacar pertamaku, aku sudah sangat sreg dan cocok padanya, sampai akhirnya kami menikah di th 2009.
Aku tau kebiasaan suamiku yang suka mengeluarkan suara2 dari mulutnya dan goyang2kan badan,kepalanya. Aku penasaran dan bertanya pada saat masih pacaran, ternyata sampai hari itu dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Dia tahunya bahwa penyakit itu muncul sejak kelas 4 sd.
Aku bersyukur punya orang tua yang tidak melarang anak perempuan satu2nya untuk menikah dengan orang seperti suamiku, yang punya kekurangan. Setelah berkonsultasi dengan saudara yg dokter, kami baru tahu kalau suamiku adalah seorang Torette Syndrome.
Penyakit ini langka di Indonesia, suamiku tidak mau minum obat yang diberikan dokter, karena hanya membuat dia mengantuk dan lemas dan tidak bias beraktivitas. Hari- hari kami menjalani dengan biasa, memang orang-orang banyak yang menganggap aneh suamiku, dan awalnya aku tidak kuat melihat cibiran masyarakat. Tapi suamiku mengingatkanku, bahwa aku tak perlu memikirkan hal itu, yang penting kita hidup bahagia dan tidak merepotkan orang lain.
Suatu hari kami sedang makan di sebuah restoran, kami didatangi oleh seseorang yang ternyata seorang dokter spesialis Jantung, dan dia tahu mengenai Torette Syndrome dan dia mau meminjamkan kami dvd film Front of The Class, kisah nyata seorang Torette Syndrome . Aku membesarkan hati suamiku, bahwa kamu bisa berhasil meskipun punya kekurangan. Suamiku juga bisa menyelesaikan studi S1 Ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Awal pernikahan suamiku bekerja membantu usaha orang tuanya di bidang kimia. Aku senang melihat semangat suamiku bekerja yang tak kenal lelah. Tahun 2010 suamiku mengeluh sesak napas, dan setelah berkonsultasi ke dokter, katanya hanya Radang Paru2 dan diberi obat. Suamiku badannya kuat sehingga dia cepat membaik. Hanya kalau terlalu capek, menggunakan oksigen semprot seperti pengidap asma. Aku pikir suamiku baik – baik saja dan tidak sakit parah, sebab badannya gemuk dan gagah.
Suamiku sangat sayang padaku, dia tahu aku suka jalan- jalan, dia mau menemaniku ke mall, puncak, bogor , pulau,dan kemanapun aku mau. Dia mau menyenangkanku, meskipun sebenarnya dia tidak nyaman berada di keramaian dengan kekurangannya. Tapi demi aku dia tidak peduli. Sungguh suami yang baik.
Th.2010 terjadi masalah keuangan dalam keluarganya, yang mengakibatkan semua harta habis. Orang tuanya memutuskan untuk pergi ke tempat yang jauh atau istilahnya kabur dengan hutang yang sangat banyak. Ini adalah masalah terberat yang pernah kami alami. Kami sering didatangi debt collector,barang – barang semua diambil, oh iya semenjak itu kami tinggal dirumah nenek suamiku. Ujian pernikahan yang baru 1 tahun, kami harus mengahadapi berdua saja. Untuk biaya hidup sehari-hari aku bekerja, memang sejak menikahpun aku masih terus bekerja. Awalnya suamiku bingung mau kerja apa,aku mendukung dia untuk berjualan pulsa kecil-kecilan, ternyata hasilnya cukup untuk kebutuhan hidup kami. Suamiku orang yang pantang menyerah, meskipun banyak beban berat, dia tetap berusaha membahagiakanku. Hingga dagangan pulsanya semakin maju. Dia sering mengajakku jalan-jalan, makan di luar. Tak jarang uang yang kami kumpulkan itu diminta oleh debt collector, kami takut dan tak bisa berbuat apa2, karena mereka tidak menemukan keberadaan mertuaku, sehingga kami yang harus berkorban. Kami berdua sudah tidak pernah berhubungan dengan orangtua suami, sehingga jika ditanya dimana keberadaannya, kamipun tidak tahu sama sekali.
Aku berusaha tegar dengan semua yang kuhadapi, bersyukur aku punya orang tua yang sangat sabar menghadapi persoalan keluarga suamiku. Bahkan orangtuaku harus ikut menanggung beban berat, ketika debt collector itu datang juga kerumah kedua orangtuaku. Karena kami hanya mengandalkan Tuhan saja, dan Tuhan selalu membuka jalan dan melindungi kami. Suamiku selalu mengajarkanku untuk selalu bersyukur. Usaha yang dirintisnya dari nol, semua karena pertolongan Tuhan. Bagiku hidup kami berdua bahagia walaupun mengalami sederet masalah. Suamiku sangat menjaga hatiku, yang sangat trauma dengan kejadian ini. Aku baru sadar kalau suamiku menanggung beban yang sangat berat karena kehilangan orang tua dan masalah yang menumpuk.
Suamiku tak pernah mengeluh, mungkin dia sudah sakit, tapi tidak pernah bilang kalau sakit. Dia sangat sayang padaku, dan tak mau aku ditambah beban berat lagi. September 2011 aku ingat betul, suamiku mengalami nyeri hebat di bagian perutnya, dia tau aku lelah setelah seharian bekerja. Tengah Malam dia ke dokter sendirian, ternyata setelah minum obatpun masih sakit. Jam 5 pagi dia membangunkanku dan kami ke UGD. Setelah diinfus 5 jam, suamiku pulih dan pulang kerumah. Sungguh sangat kuat badannya dan tak mau merepotkan orang lain.
Akhirnya Bulan November 2011 sudah mulai sering lemas, tapi dia selalu bilang, kalau sudah tidur sudah enakan. Aktivitas tetap dia jalani seperti biasa. Makin hari badannya makin lemah, sehingga beberapa pekerjaannya ada yang aku tangani. Awal Desember akhirnya suamiku memutuskan ke klinik,dengan keluhan sakit maag, ternyata tidak sembuh juga. Lalu kami ke UGD lagi, suamiku diinfus lagi 5 jam dan diperbolehkan pulang. Ternyata makin hari tubuhnya makin lemah dan dia bilang sesak napas. Suamiku duduk terus, dia tidak bias tidur. Kami memutuskan ke spesialis penyakit dalam di sebuah RS terkenal di Tangerang, setelah dirontgen baru diketahui ternyata paru-parunya terdapat cairan. Malam itu juga suamiku diopname, aku selalu setia menemaninya di RS.
Aku yang tak punya pengalaman apa-apa harus berhadapan dengan dokter, dan akulah yang menandatangani setiap tindakan yang akan dilakukan dokter. Suamiku harus disedot cairannya, dan ternyata cairannya berwarna kemerahan. Dokter bilang, cairan itu harus diperiksa apakah ada keganasan atau tidak. Dokter bilang, ada kemungkinan tumor, jika benar mungkin sudah stadium 4. Aku lemas mendengarnya, aku tak pernah menyangka suamiku mengalami sakit separah itu. Suamiku selalu mau tahu apa penyakitnya, dia tidak mau dibohongi sedikitpun. Hari itu aku bilang padanya, bahwa ada kemungkinan tumor. Kami berdua menangis dikamar dan suamiku bilang bahwa dia tidak takut mati, tapi dia masih belum bahagiakanku. Dia bilang jika memang sudah waktunya Tuhan ya kita tdk bisa mengelak. Aku mencoba tetap ceria, semangat didepan suamiku, dalam hati aku selalu berdoa minta kesembuhan dari Tuhan . Dokter menyarankan untuk ct scan, dan ternyata hasilnya tidak ditemukan tumor, dan tidak ada keganasan di cairan itu. 5 hari dirawat di sana, suamiku didiagnosa mengalami TBC dan diperbolehkan pulang. Aku sangat bersyukur suamiku hanya TBC dan bisa disembuhkan.
Makin hari suamiku tidak bertambah sembuh, dia hanya duduk terus dan makin hari perutnya membesar. Hari Senin aku memutuskan untuk bekerja karena sudah cuti sekitar seminggu selama suami di RS, ternyata suamiku tidak mengijinkan, karena dia sangat lemah . Hari Rabu aku minta ijin untuk kerja, aku beri pengertian padanya, akhirnya aku diperbolehkan bekerja . Aku siapkan keperluan suamiku di samping kasur. Ternyata suamiku makin lemah dan sakit tubuhnya, hanya dia tidak mau merepotkanku. Sungguh aku menyesal telah meninggalkannya bekerja disaat dia butuh bantuanku. Aku hanya berpikir positif, bahwa suamiku pasti baik- baik saja dan bisa sembuh. Aku mulai mencari tau di internet, mengenai penyakit suamiku. Aku mulai tidak yakin kalau suamiku hanya TBC saja, aku juga bertanya kepada saudara2ku. Ada seorang dokter kerabat tanteku yang ditunjukkan foto suamiku dengan perut yang besar, dokter itu bilang bahwa penyakit suamiku parah ,menurutnya tidak ada harapan dan harus segera dibawa ke RS lagi.
Dengan bantuan orangtua dan kakakku, kami membawa suamiku ke RS di Jakarta, ternyata setelah dilihat hasil pemeriksaan yang aku bawa, RS tersebut merujuk ke RS khusus paru-paru. Dengan tubuh yang lemah dan sesak napas, keesokan harinya kami membawanya kesana. Suamiku senang bertemu dengan dokter disana (rujukan dari mertua kawanku), sebab dokter tersebut tahu mengenai Torette syndrome. Sebab di RS sebelumnya, banyak dokter yang tidak tau mengenai Torette Syndrome dan menganggap suamiku seperti orang bodoh.
Dokter disana mencurigai suamiku ada tumor, dia bisa merasakannya ketika akan menyedot cairan di paru-paru. Dokter juga berkata, dengan melihat kondisi suamiku, menurut pengalamannya tumor sudah stadium 4 dan aku disuruh bersiap-siap jika suamiku meninggal. Kata dokter Tumor ini disebabkan oleh karena terpapar bahan kimia. Namun aku selalu berpikir positif dan selalu berharap ada Mujizat kesembuhan dari Tuhan. Setelah perut, kakinyapun ikut membesar. Pagi itu ketika suamiku tahu kakinya membesar, dia menyuruhku menelpon seorang Pendeta yang pernah menengoknya di RS. Aku langsung menelpon Pendeta itu, dan aku ceritakan kondisi suamiku. Ternyata Pendeta itu mendapat petunjuk Tuhan, beliau bilang apakah suamiku mengalami masalah dengan keluarganya? Aku menjawab iya. Pendeta itu menyarankan agar suamiku mau mengampuni orang tuanya. Akhirnya suamiku menelpon Papa dan Mamanya, dan minta ampun. Orangtuanyapun mengakui bahwa mereka jugalah yang salah. Siangnya suamiku bertemu dengan Mamanya setelah 1 tahun lebih tidak bertemu.
Malam itu dengan bantuan kerabat Mamaku, Suamiku dibawa menggunakan Ambulans ke Jakarta, atas permintaan Orangtuanya yang meyakini bahwa suamiku tidak sakit paru-paru. Akhirnya kami menurut, dan suamiku dibawa ke RS Jantung di Jakarta. Setelah melalui berbagai pemeriksaan, dokter menyatakan tidak ada masalah dengan jantungnya. Atas saran orangtuaku dan kerabatnya, akhirnya suamiku dibawa ke RS di daerah Jakarta Barat, dan disana dokternya adalah teman Om saya. Dengan bantuan teman- teman suamiku, malam itu suamiku dipindah lagi menggunakan Ambulans.
Aku sedih bingung harus mengahadapi cobaan yang begitu berat. Aku selalu menemani suamiku selalu, di RS aku masih tetap berjualan pulsa. Karena aku berpikir, biaya yang kami keluarkan pasti banyak. Aku juga bersyukur, karena atasanku mengijinkanku untuk cuti. Berbagai pemeriksaan dilakukan, tangan suamiku sudah bengkak Karena sering diinfus, disuntik. Tubuhnya nyeri jika selesai disedot cairan di paru-paru, sesak napasnya, tidurpun suamiku tidak bisa. Sungguh suamiku mengalami penderitaan yang luar biasa, tapi tak sedikitpun keluhan yang keluar dari mulutnya. Benar-benar suami yang baik, dia katakan padaku bahwa kita hanya 3 tahun bersama, aku tak mau dengar itu, aku bilang padanya kita akan sampai tua bersama-sama. Banyak Keluarga, Sahabat, Teman-teman , Pendeta, para pendoa yang mengujungi suamiku, bahkan teman-teman di persekutuan kampusku menggalang dana. Aku sangat terharu dan bersyukur atas banyaknya perhatian dari banyak orang. Semua uang sumbangan aku simpan baik-baik, aku berharap itu bisa menutup semua pengeluaran di RS.
Tgl 4 Januari 2011 pagi, suamiku bilang pada mamanya, jika ia mati mama ikhlas. Dia bilang bahwa dia ga selamat. Lalu suamiku memegang tanganku dan berkata, jangan pergi kemana-kemana, disini saja. Aku bertanya apa maksudnya bilang tidak selamat? Dia bilang tidak sembuh, lalu aku bertanya tapi kamu Selamat? Dia dengan yakin berkata iya. Sungguh Iman percaya kepada Tuhan yang luar biasa, sama sekali tidak ada ketakutan, dia yakin jika Mati berada di tempat yang aman bersama Tuhan. Meskipun aku tahu keadaan suamiku makin melemah hari itu , aku masih mengantar dia kebawah untuk disedot cairan, dan dia bilang, besok aku mau diapakan lagi, aku sudah tidak kuat. Hari itu suamiku tidak mau makan, hanya Roti Mari dan Susu segar yang dimakan, aku yang menyuapinya. Aku terus berada disampingnya, bersama keluargaku , kami berdoa, bernyanyi bersama. Suamiku hanya duduk terdiam, dan hari makin sore suamiku makin lemah. Pendeta yang memberkati kami waktu menikah datang mendoakan, dan suamiku masih merespon. Makin malam, suamiku mau melepas oksigen terus, tapi aku berusaha memasangkannya kembali. Badanku mulai letih, aku tertidur dan sesekali terbangun. Jam 2.30 pagi, aku terbangun dan mendapati suamiku sudah diam saja. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan suamiku.
Kupanggil Suster, dan suamiku diperiksa tensinya, di rekam jantung, suster hanya terdiam, dan berkata dokter akan segera datang. Setelah dokter datang dan diperiksa, dokter berkata suamiku sudah meninggal. Aku pasrah, manusia bisa berusaha, berencana tapi Tuhan yang menentukan. Aku harus kehilangan suami di usia pernikahan yang baru 2,5 tahun, dan kami belum punya anak. Soal anak, memang kami berdua memutuskan untuk menunda.
Sekarang aku tinggal bersama kedua orangtuaku, Mamakulah yang banyak membantuku, menemaniku dalam kesendirian. Aku tahu Dukungan Keluargaku sangat besar, aku harus kuat sebab aku tidak mau menambah beban mereka terutama orangtuaku. Padahal air mata ini sering menetes, dikala aku dalam perjalanan pergi atau pulang kantor, dikantor, dikamar, di gereja. Aku mengalami sedih yang sangat mendalam, Aku hanya minta Tuhan kuatkan aku menghadapi ini semua, sebab aku selalu diingatkan bahwa Jalanmu bukan jalanKu, Rancanganmu bukan RancanganKu. Aku percaya penghiburan sejati hanya dari Tuhan saja,
Aku sangat kehilangan sosok suami yang perhatian, sayang kepada Istri, dia mengajarkanku untuk selalu bersyukur pada Tuhan, tidak egois, tidak hanya mementingkan diri sendiri. Selama ini aku menjadi istri yang sangat manja, yang mau diperhatikan terus. Aku menyesal belum bisa menjadi istri yang sempurna buat suamiku. Aku sedih mengingat kebaikan suamiku, memang dia suka galak, tapi semua itu demi kebaikan, karena aku suka cuek, seenaknya sendiri, dan tidak bisa mengerti kalau suami sedang lelah dll.
Kini aku harus memulai hidup baru, banyak dukungan dari keluarga, sahabat, yang selalu bilang bahwa aku harus terus semangat karena hidup masih terus berjalan. Semua biaya RS sampai dengan penguburan semuanya disediakan Tuhan lewat Saudara dan teman-teman yang membantu. Sungguh suamiku pergi dengan meninggalkan kebaikan – kebaikan. Banyak Rekan – rekan suamiku yang bilang, kalau dia orang yang baik. Sungguh aku bahagia punya suami yang baik , nanti kami akan berkumpul bersama di Rumah Bapa. Kini kau sudah tidak merasakan sakit, sesak napas lagi. Selamat Jalan Suamiku.

Tinggalkan Komentar