Natal, Opor, Ayam Panggang, dan Berbagi Kasih

Makanan, itulah yang segera terbayang dalam benakku ketika memasuki Natal. Tentu saja, aku sedang tidak berusaha mengurangi makna Natal dengan hanya memikirkan makanan. Tetapi, makanan memang menjadi tema utama dalam keluarga kami setiap akan memasuki Natal, baik dalam keluargaku maupun keluarga istriku.

Keluarga kami memiliki makanan khas masing-masing, sama seperti kota asal kami juga memiliki makanan khas masing-masing. Dan, makanan tersebut selalu membuat kami rindu. Kadang, di Yogyakarta kami harus susah payah ke sana kemari, hanya untuk menikmati makanan kesukaan yang khas dari daerah kami. Aku berasal dari Purwokerto dan istriku dari Blora, jadi makanan kesukaan kami berlainan. Untungnya, lidahku bisa menerima makanan pedas asin dari Blora, dan istriku sangat suka dengan mendoan khas Purwokerto.

Ketika Natal tiba, selalu saja tersedia makanan khas di meja makan yang dihidangkan keluarga kami. Walaupun jenisnya mungkin sama dengan yang lain, namun rasanya tetap berbeda. Ada cerita tentang kebiasaan keluarga kami berkaitan dengan makanan khas tersebut. Aku selalu membayangkan kebiasaan ini setiap hendak pulang ke Purwokerto atau Blora. Perjalanannya sungguh mengasyikkan, dengan mengendarai motor kami menikmati betapa besar kuasa dan karunia Tuhan lewat pemandangan alam yang kami lihat selama perjalanan.

Aku akan cerita tentang kebiasaan menyambut Natal di Purwokerto. Kebiasaan keluarga kami saat Natal adalah membagikan makanan kepada para tetangga. Sehari sebelum Natal tiba, keluarga kami membuat makanan khusus yang dimasukkan ke dalam dus dan dibagikan kepada hampir semua tetangga di RT kami. Adapun makanan yang dimasukkan ke dalam kardus adalah seperti makanan yang biasa dihidangkan dalam budaya selamatan. Ada mie, sambal goreng kentang/hati, tahu/tempe, daging, uang (kalau ada uang lebih), urap, telur, dan kerupuk. Bagi sebagian orang, ini mungkin tidak begitu istimewa, tetapi bagi kami sangat istimewa, khususnya selama pengerjaannya. Kami merasakan istimewa karena hal itu melibatkan seluruh anggota keluarga. Saya tiga bersaudara dan semua laki-laki, tetapi mau tidak mau kami terlibat memasak juga. Istriku jelas sibuk dengan ibu menyiapkan segala sesuatu agar berjalan dengan lancar.

Selama proses memasak, kerap kali tetangga datang membantu. Setelah selesai, kami bersama-sama membungkusnya dalam dus. Kemudian membagikannya kepada tetangga dengan berita: Selamatan dan ucapan syukur memperingati hari Natal. Kerap kali orang bertanya, siapa yang kami peringati di hari Natal ini dan kami pun dengan sukacita menceritakannya. Malam harinya, kami berkumpul dan makan bersama. Kesempatan bersama ini selalu kurindukan ketika aku kuliah dan sekarang hidup di luar kota kelahiran. Pagi harinya, kami ke gereja dan pulangnya kami langsung menikmati opor ayam bersama sebagai perayaan Natal keluarga. Di sinilah, kami membina keintiman keluarga. Ketika malam Natal tiba, tetangga berdatangan ke rumah untuk mengucapkan selamat Natal. Dan, berbagai macam cerita muncul di sini dalam rangka berbagi kasih. Bagi saya sekarang, kebiasaan ini juga menjadi ajang reuni dengan teman-teman masa kecil. Kebiasaan memberi ucapan selamat itu sendiri sudah berlangsung jauh sebelum kami memunyai kebiasaan membagikan berkat kepada mereka.

Ide dasar semua itu adalah berbagi kasih Kristus kepada sesama. Siapa pun berhak mendengar dan merasakan kasih Kristus yang begitu besar kepada umat manusia. Kami bukan orang berada, bahkan kadang makanan yang kami bagikan sangat sederhana, hanya tahu, tempe, dan sayuran ala kadarnya. Tetapi, semangat kasih yang ditanamkan benar-benar membekas dalam hatiku dan menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku. Terima kasih untuk almarhum bapak yang memelopori kebiasaan ini. Dulu, aku ingat akulah yang memprotes ketika kami memulai "tradisi" ini karena saat kanak-kanak, aku berpikir, "Mendingan dibelikan ayam dan bisa buat makan sekeluarga," soalnya kami jarang makan ayam. Aku tersenyum ketika mengingat hal itu.

Selanjutnya, cerita tentang kebiasaan menyambut Natal di Blora. Bagiku, rumah kami di Blora sangat eksotis, terletak di kampung, di pinggir lahan ladang yang sangat luas. Rumah kami tepat berada di pinggir jalan dan langsung menghadap lahan. Sejauh mata memandang adalah ladang. Kalau musim hujan, lahan itu merupakan lahan padi yang sangat luas. Kalau musim kemarau, lahan itu berubah menjadi lahan palawija. Pemandangan menjadi hijau seperti permadani yang terhampar luas. Tetapi jika kemarau panjang, lahan itu menjadi lahan tidur tanpa tanaman. Suasana menjadi gersang dan panas, namun aku tetap suka, apa lagi di depan rumah kami ada pohon besar yang bisa dimanfaatkan untuk berteduh.

Tepat di depan rumah kami ada sebuah gereja kecil. Kakek yang membangun gereja tersebut. Di sini, suasana Natal jadi lebih terasa. Sore hari, anak-anak dan orang tua berlatih koor sebagai persiapan perayaan Natal bersama, dan sekelompok remaja juga berlatih musik.

Persiapan di rumah sama sibuknya. Kami memasak untuk menjamu tetangga yang kami undang ke rumah. Tidak hanya keluarga kristiani yang kami undang, tetapi juga keluarga yang berbeda kepercayaan. Semua orang di rumah sibuk mempersiapkan makan bersama itu. Aku tidak begitu sibuk membantu di dapur karena sudah ada ibu, istriku, dan adik perempuannya, serta beberapa tetangga. Kami, para pria, hanya menjadi "pengganggu", mencicipi berbagai masakan yang sudah siap.

Sebenarnya, tanpa diundang pun para tetangga sudah pasti datang ke rumah karena "tradisi" ini sudah ada sejak kakek masih hidup. Mereka dapat keluar masuk rumah kami sesuka hati untuk membantu memasak, tentu saja sambil berbagi cerita. Jadi, suasananya sangat akrab. Canda tawa menyertai kebersamaan kami. Tak heran jika para tetangga merasakan Natal sebagai perayaan bersama satu dusun.

Makanan yang tersedia di Blora lebih variatif karena banyak bahan makanan tersedia, yang tinggal diambil tanpa perlu membelinya. Ada kue pukis, lemper, ikan pari panggang, kadang bandeng dari Juwana, Pati -- saudara mengirim dari sana. Ada lotek, kadang kalau paman sempat berburu, ada daging rusa atau babi hutan, soto, sambal goreng hati dan kentang, tahu dan tempe, lalapan, buah mangga, berbagai makanan kecil, dan tak ketinggalan sambal terasi. Aku selalu merasa enggan kembali ke Yogyakarta jika mengingat enaknya makanan di sini. Persiapan untuk membuat makanannya sendiri bisa sampai dua hari. Sebelum menikah, istriku sudah sering menceritakan keadaan ini dan seperti menjadi semacam tanda kalau aku harus terlibat dalam kegiatan keluarga ini. Aku sudah membayangkan betapa asyiknya terlibat dalam tradisi keluarganya itu. Dan, ternyata memang mengasyikkan.

Pada malam menjelang Natal, para tetangga berdatangan ke rumah. Acara dimulai dengan berdoa secara kristiani. Bapak yang memimpin. Kemudian, bapak menceritakan kisah Yesus dan menceritakan mengapa kita merayakannya. Tak seorang pun protes dengan acara ini walaupun banyak di antara warga yang beragama lain. Di ruang tengah, anak-anak dan beberapa pemuda mendengarkan sambil sesekali bergurau. Jika saat itu pak pendeta datang, beliau selalu kangen pada sambal keluarga kami. Beliau akan ikut berbagi cerita dengan kami. Acara diakhiri dengan doa dan kami memberi "buoh" -- bungkusan yang berisi makanan lengkap dengan lauk-pauk yang dibungkus dengan daun jati -- kepada para tetangga yang datang untuk mereka bawa pulang.

Sering kali, beberapa tetangga masih berkumpul di rumah dan begadang sampai malam. Saat larut, kami bersama-sama mencari sesuatu yang bisa dibakar dan dimakan, entah itu jagung atau ketela. Malam-malam, sambil berdiang di depan perapian aku membayangkan, mungkin ketika Yesus lahir, suasananya juga akrab dan hangat seperti itu. Pagi harinya, kami pergi ke gereja untuk memperingati dan merayakan Natal bersama. Perayaan Natal bersama warga gereja juga disertai dengan makan-makan. Dan, biasanya diadakan di rumah kami. Kadang, masing-masing warga membawa makanan dari rumah dan dikumpulkan di rumah kami, kadang semua dimasak di rumah kami semalam sebelumnya. Kalau semua bahan makanan dimasak di rumah kami, maka itu berarti kami memasak untuk dua acara sekaligus. Pertama untuk Natal pagi dan yang kedua tentu saja untuk kegiatan yang sudah saya ceritakan di atas. Untuk acara gereja ini, semua bahan ditanggung bersama. Gereja kami adalah gereja kecil. Semua warganya sudah saling mengenal dan bisa saling kontak kapan pun karena berada di satu pedusunan, jadi suasana kekeluargaannya sangat terasa.

Puncak dari semua aktivitas ini bagi keluarga kami adalah acara memanggang ayam bersama. Inilah makanan khas keluarga kami di Blora. Ayam utuh yang dipanggang dengan rasa yang amat pedas. Seperti biasa, persiapannya melibatkan seluruh keluarga -- ini hanya khusus keluarga kami. Dan, di sinilah kami kembali berbagi keintiman dalam keluarga. Ada saja suasana lucu karena sering kali kami kepedasan, saat menyantap masakan ayam panggang ini. Suasana yang sama tiap tahun, tetapi kami selalu merasakan hal istimewa dengan ayam panggang dan keintiman dalam Natal ini.

Ide dasar dari semua itu sama, yaitu berbagi kasih dan mengenalkan kasih Kristus kepada orang-orang yang belum mengenal Dia. Kami semua, baik keluarga istriku maupun keluargaku, memunyai kesan mendalam dengan berbagai aktivitas memperingati Natal itu. Kami selalu merindukan suasana kebersamaan dan kasih yang mengalir ini. Aku pikir dan rasakan, inilah pembelajaran kasih yang sesungguhnya. Saling berbagi bukan karena kita berlebih, melainkan karena kita rindu menceritakan kasih Tuhan yang sesungguhnya.

Makanan bisa kita jadikan saluran berkat dan kasih, serta penghangat suasana, namun juga bisa menjadi berhala. Demikian juga dengan Natal, bisa menjadi berhala dan berkat, tinggal bagaimana kita memaknai dan menghayatinya.

Diambil dari:

Judul buku : My Favourite Christmas
Penulis : Wiji Suprayogi
Penerbit : Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta 2006
Halaman : 121 -- 131
Kategori: 

Tinggalkan Komentar