Nathania Kembali

Saat itu bulan November tahun 2002, saya (HW) dalam kondisi keuangan yang sangat sulit saat anak pertama saya lahir, Nathania. Dia lahir prematur -- kehamilan saya baru berusia 7 bulan. Berat tubuhnya hanya 1,6 kg, sehingga ia terlihat sangat kecil dan ringkih. Waktu itu paru-parunya belum mengembang sehingga ia sangat kesulitan bernapas, dan ia harus berjuang dengan kekuatannya sendiri. Nathania tidak seperti bayi normal pada umumnya, yang bernapas dengan refleks dan otomatis. Dokter tidak mengetahui bahwa bayi saya tidak dapat bernapas otomatis, dan hal ini berakibat fatal bagi Nathania. Saat saya tanyakan suster, dia menyuruh saya untuk bertemu dengan dokter.

Perasaan hati saya tidak enak, lalu saya bertemu dengan dokter. Apa yang saya takutkan terjadi. Dokter mengatakan sebuah kalimat klise, "Maaf Pak, kami sudah berusaha, tapi Tuhan yang menentukan. Bayi Bapak sudah tidak ada." Langit bagai runtuh, saya panik dan berlari ke ruangan inkubator bayi, dan menemukan Nathania yang sudah membiru masih ada diinkubator biasa. Saya marah pada suster, kenapa tidak dibawa ke NICU (ICU khusus bayi), kenapa tidak ada tindakan penyelamatan? Suster itu menjawab, "Percuma Pak, bayi bapak sudah tidak ada". Suster itu menekankan adalah menyalahi peraturan memasukkan bayi yang sudah meninggal ke dalam NICU.

Tapi saya ngotot memaksakan untuk membawa Nathania ke NICU, bagaimana pun caranya harus dibawa ke sana. Akhirnya mereka mengabulkannya dengan setengah hati, memindahkan dia ke NICU. Di bagian khusus pernapasan, dokter pun kelihatan "malas", karena menurut dia percuma dan tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Menurutnya, bayi ini sudah tidak bernapas selama 2 jam, tidak mungkin lagi ditolong. Tapi saya tetap memaksa dokter melakukan apa saja, bagaimana pun caranya untuk menolong bayi saya. Saya mengatakan padanya untuk tidak memikirkan biaya, berapa pun biayanya akan saya bayar. Padahal saat itu saya sendiri sedang mengalami kesulitan keuangan. Dokter itu kemudian dengan ragu menuliskan resep dan menyerahkannya pada saya.

Dari wajahnya saya bisa melihat, bahwa dengan resep itu pun kemungkinannya masih sangat kecil untuk mengembalikan anak saya hidup. Tapi sekecil apa pun kemungkinannya akan saya ambil demi buah hati saya. Dalam resep itu tertulis 3 macam obat, tiap jenis obat seharga 5 juta rupiah; berarti 15 juta rupiah total biaya obatnya. Saya sangat panik, karena saat itu saya hanya memiliki 1 juta di kantong, itupun pemberian ibu saya. Tapi saya katakan pada dokter agar ia jangan pergi ke mana-mana karena saya akan carikan obat itu malam ini juga sehingga bisa diberikan malam itu juga, jangan sampai menunggu hingga esok hari. Apotek rumah sakit tidak memiliki obat itu, sehingga saya langsung bergegas menuju salah satu apotek besar di Surabaya. Tapi sesampai di sana, mereka juga tidak memiliki obat itu. Oh Tuhan, bagaimana ini... Tolonglah, saya sedang kejar-kejaran dengan waktu. Terbesit dalam pikiran saya, kenapa dokter memberikan resep obat yang langka dan mahal, karena menurut dia kemungkinan 0% untuk anak saya kembali bertahan hidup.

Kepanikan dan kecemasan saya rupanya menarik perhatian pelayan apotek tersebut. Ternyata pelayan apotek itu adalah pemilik apotek itu sendiri, tidak pernah sebelumnya ia menjaga apoteknya sendiri. Entah kenapa menurutnya ia ingin melayani di Apotek malam itu. Dengan segera ia berusaha membantu saya dengan menelepon rekannya kemana-mana untuk menemukan obat itu. Akhirnya ditemukan juga dan langsung diantarkan ke apoteknya. Saya sangat bersyukur, karena obatnya sudah ditemukan. Pemilik apotek itu memberikan saya obat itu dengan harga yang tidak diambil untung, yaitu 3,8 juta. Masalah kedua datang, saya hanya punya 1 juta, sehingga masih kurang 2,8 juta. Bagaimana saya bisa membayar obat itu? Pengantar obat itu adalah dari apotek lain (bukan supplier), dia meminta tunai atas obat yang dibawanya. Keajaiban lain datang, pemilik apotek itu menalangi 2,8 juta sisanya untuk melunasi obat itu. Pemilik apotek ini tidak mengenal saya, tapi ia mau membantu saya. Ini adalah benar-benar mukjizat yang Tuhan lakukan bagi saya.

Setelah memiliki obat itu, saya segera kembali ke rumah sakit dan memberikan obat itu pada dokter. Dengan ragu dokter memberikan obat itu pada anak saya. Saya disuruh tinggal di rumah sakit saat itu, padahal saya sedang sangat bingung untuk mencari uang guna membayar hutang pada apotek esok paginya, dan biaya pengobatan selanjutnya. Tapi bagaimana kalau tidak ada pengobatan selanjutnya? Bagaimana kalau anak saya memang tidak bisa ditolong? Saya berdoa, dan mendapatkan penghiburan dan kedamaian dari Tuhan. Pagi harinya saya segera bergegas ke ruang NICU menemui dokter untuk meminta paket resep yang kedua. Tapi dokter menyatakan tidak perlu, meskipun obatnya belum habis, namun jantung anak saya sudah berdetak lagi. Saat itu saya seperti tidak percaya mendengarnya, Puji Tuhan, mukjizat dan kebaikan Tuhan nyata dalam hidup saya. Saya tahu itu bukan karena obat yang membangkitkan Nathania, tapi kebaikan dan mukjizat Tuhan Yesus -- karena belum lengkap obat yang diberikan, bahkan untuk paket pertama baru sebagian, tapi anak saya sudah hidup kembali. Tuhan Yesus sungguh ajaib.

Dokter itu sendiri sangat heran dan berkata, sangat jarang kejadian seperti ini, dia tidak dapat menjelaskannya. Semua suster juga keheranan, mereka bahkan mengatakan belum pernah melihat kejadian seperti ini, bagaimana bayi yang secara medis dinyatakan telah meninggal bisa hidup kembali. Sungguh sebuah mukjizat Tuhan. Saya sungguh bersyukur akan janji Tuhan Yesus bahwa Dia akan mengiringi kita dalam kehidupan kita. Memang Dia tidak berjanji semuanya akan aman-aman saja dan tidak ada masalah. Tapi janji-Nya untuk menyertai orang yang sungguh berharap pada-Nya, sungguh telah terbukti dalam kehidupan saya.

Diambil dari:

Judul majalah : SUARA, Edisi 78, Tahun 2005
Penulis : IM
Penerbit : Communication Department Full Gospel Business Men's Fellowship International - Indonesia
Halaman : 23 -- 25

Tinggalkan Komentar