Paman Max yang Kikir

Ketika berusia sebelas tahun saya merasa Paman Max (dilafalkan "Mox" di keluarga kami) adalah orang teraneh yang pernah ada. Max Maegdefessel menikah dengan Bibi Gustie sejak zaman dahulu kala dan ia bukanlah paman favorit saya. Mungkin penyebabnya adalah karena karena foto dirinya sebagai tentara Prusia yang dipajang di rumah mereka. Dengan kumis, jenggot, rambut abu-abunya yang terpotong cepak, ia terlihat seperti seorang pemimpin tentara musuh yang memimpin tentaranya untuk menghancurkan lawan dalam peperangan. Atau, mungkin karena saya terlalu sering dipaksa menonton Gesangverein karya Richard Wagner, yang beberapa pemainnya sangat mirip dengan Paman Max. Mereka berdiri bersama di panggung sambil menyemprotkan ludah, meneriakkan lagu-lagu yang terdengar sangat bodoh di telinga saya.

Tetapi, yang paling menyebalkan dari diri paman Max adalah sifat kikirnya. Ketika kami berkunjung ke rumah Bibi Gustie di hari Natal dan menyanyikan lagu-lagu Natal di sekeliling Tannenbaum (pohon Natal) yang bertaburkan cahaya lilin, saya tahu bahwa Paman Max telah pergi ke penjual pohon cemara pagi itu untuk membeli pohon yang tersisa. Biasanya ia dapat membeli pohon hanya dengan membayar satu koin. Hadiah untuk kami adalah cokelat berbentuk koin yang dibungkus dengan kertas emas, yang jika dinilai dari rasanya yang aneh, mungkin telah dibeli setidaknya satu tahun yang lalu setelah diskon Natal.

Tetapi, Paman Max juga memiliki sebuah keterampilan. Ia adalah seorang pandai besi. Karena tidak memiliki pekerjaan ketika masa depresi, ia membuat berbagai benda sesuai pesanan. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat seperti spiral yang terbuat dari pipa tembaga, yang katanya ada hubungannya dengan larangan untuk merokok di Amerika. Ia pun pernah membuat sebuah patung kecil berbentuk bintang untuk grup Eastern Star yang diikuti oleh istrinya. Saya dan kedua kakak laki-laki saya adakalanya mengendap-endap ke ruang bawah tanah yang bau asap rokok untuk melihat ia bekerja. Ia menggunakan celemek dari kulit, kacamata bulatnya yang memantulkan lampu meja, dan berbagai alat seperti palu dan tatakan. Sepertinya tidak ada lagi yang ia perhatikan selain pekerjaannya.

Pada hari Natal yang berbarengan dengan ulang tahun pernikahan ke-15 orang tua saya, Paman Max dan Bibi Gustie datang berkunjung. Di malam sebelum Natal, setelah makan malam besar dan kebaktian, saya dan saudara-saudara saya mulai menyanyikan lagu-lagu Natal, lalu kami bergegas membuka hadiah-hadiah. Setelah itu, Paman Max berkata bahwa ia memiliki hadiah bagi orang tua saya. Prosesi pemberian hadiah dilakukan dengan ritual megah, termasuk sebuah lagu yang ia nyanyikan. Saya tidak berani duduk tepat di hadapannya. Kemudian ia mempersembahkan hadiah tersebut kepada ibu saya. Ibu membuka kotak hadiah tersebut, mengeluarkan sebuah tas kain, membuka tali pengikatnya, kemudian mengeluarkan sebuah poci teh dari perak. Saat itu saya dan segenap keluarga hanya bisa terperangah melihat poci tersebut.

Kami mengagumi hadiah tersebut, poci yang halus tersebut tampak berkilauan diterpa cahaya pohon Natal. Ketika Ibu dan Bibi masuk ke dapur untuk mencuci piring, Ayah dan paman duduk di kursi untuk berbincang-bincang. Saya meninggalkan mainan kereta yang sedang saya mainkan dan bergegas pergi ke arah rak kayu untuk melihat poci teh pemberian paman tersebut diletakkan. Bentuknya persegi enam. Tempat air, corong, dan pegangannya masing-masing dihiasi oleh enam keping uang logam. Saya sadar bahwa Paman Max pasti harus mempersiapkan bentuk khusus untuk setiap bagian poci tersebut. Ia harus memastikan bahwa setiap bagian yang dihiasi uang logam harus dibentuk dengan tepat, kemudian secara hati-hati disambung-sambungkan agar poci tersebut terlihat dibentuk dari sebongkah perak utuh.

Saya melirik ke Paman Max, yang sekarang telah mendengkur lembut di kursinya. Saya yakin ia pasti menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengerjakan poci tersebut. Ia pasti harus menyisihkan waktunya yang berharga di antara berbagai pesanan alat penguap, trompet, maupun benda-benda lainnya. Saya memperoleh pelajaran yang berharga malam itu. Paman Max dan Bibi Gustie dengan cara mereka sendiri telah berhasil memberikan hadiah kepada orang lain dan meluangkan waktu mereka, sekalipun paman sudah tidak memiliki pekerjaan selama beberapa tahun. Dan paman Max melakukannya dengan satu-satunya cara yang ia tahu: menabung, mencari diskon, dan ya... mencari pohon Natal sisa.

Saya merasa malu sendiri saat melihat Paman Max. Cahaya api terlihat berkerlap-kerlip pada rantai jam di perutnya yang naik turun karena dengkurannya yang damai. Walaupun ia telah lama tiada, tetapi kenangan akan Paman Max masih tetap ada bersama poci teh yang tersimpan di lemari ibu, mengingatkan saya pada hal-hal terpenting, tentang kebahagiaan yang sederhana, dari hadiah buatan sendiri yang diberikan oleh seseorang yang rela berkorban. Tetapi, terlebih penting lagi, ia mengingatkan saya kepada Kristus yang perayaan kelahiran-Nya mengingatkan kita untuk "Berhenti menilai seseorang dari penampilannya."

Diambil dari:

Judul buku : Guideposts Bagi Jiwa: Kisah-kisah Iman Natal
Judul asli buku : Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith
Penulis : Richard H. Schneider
Penerjemah : Mary N. Rondonuwu
Penerbit : Gospel Press Batam, 2006
Halaman : 13 -- 17
Kategori: 

Tinggalkan Komentar