Pamanku Akhirnya Menang

Sejak Saya Mengikuti Ceramah-Ceramah "Inilah Hidup" yang mengajarkan cara-cara memenangkan jiwa bagi Kristus, bayangan seorang paman saya selalu saja melintas dalam benak.

Paman saya sudah berumur 64 tahun. Istrinya sudah lama meninggal dunia dan mereka tidak berketurunan. Sekarang ia tinggal bersama kakak saya yang kaya raya.

Di ujung pekarangan kediaman kakak saya itu, paman diberi sebuah pondok mini. Karena sejak usia muda paman termasuk orang yang jarang bergaul -- bahkan digolongkan "eksentrik" karena ia begitu pemalu -- maka dalam pondoknya itu, ia semakin menyendiri. Bila tak ada yang mau menegur paman, pastilah berhari-hari ia takkan membuka mulut.

Tetapi paman juga bisa berkeras kepala! Apalagi bila ia sudah memutuskan sesuatu, apa pun takkan bisa menggoyahkan keputusannya. Ia tidak berpendidikan tinggi, karena kelainan pada rambutnya menjadikannya pusat ejekan teman-teman. Paman mogok sekolah sewaktu baru duduk di kelas tiga Lagere School (SD Belanda).

Kendati demikian, pada akhir serangkaian ceramah "Inilah Hidup", saya sudah memutuskan untuk berusaha mendekati Paman dan menawarkan "hidup" itu padanya.

Pada hari itu, sebelum saya beranjak ke luar rumah, terlebih dahulu saya berdoa agar Tuhan mau membuka pikiran Paman sehingga ia dapat mengerti apa yang hendak saya terangkan dan kesulitan memahami bahasa tidak menjadi rintangan baginya untuk menerima Kristus dalam hati dan hidupnya. Tetapi saya lupa mendoakan diri saya sendiri.

Belum lagi saya melangkah, saya diserang sakit perut yang seakan-akan menggilas seluruh isi perut! Ke WC nampaknya tak banyak berfaedah, karena kejang-kejang otot perut yang tak mau reda juga. Setelah bersabar agak lama, timbul kejengkelan saya. Saya memutuskan biar nyawa tinggal sekarat, hari ini juga saya akan mendatangi Paman!

Saya keluar rumah dan berjalan sambil menekan perut, sehingga orang-orang heran melihatnya. Tapi saya tak peduli, dan sesudah naik bis kota, tibalah saya di kediaman kakak saya. Ternyata seisi rumah sedang membaca sebuah buku, dan ketika saya tanyakan, buku itu adalah sebuah buku silat! Kasihan. Rupanya dari hari ke hari, Paman cuma dihibur dengan buku-buku silat yang kumal dan isinya cuma merupakan serangkaian fantasi tak menentu.

Segera, dengan berpegang pada buku penuntun, saya mulai menerangkan pada Paman tentang 4 Hukum Rohani. Sejenak timbul keragu-raguan, apakah Paman bisa memahami makna kata "hukum"? Saya menoleh. Paman telah memejamkan matanya. Tidurkah ia, pamanku yang sudah lanjut usia itu? Oh, Tuhan, tolonglah kami. Bukakan hati dan pikirannya melalui Roh-Mu yang Kudus.

Saya memutuskan untuk meneruskan tekad, sesuai dengan pengajaran dalam "Inilah Hidup". Aku juga memutuskan untuk tidak lagi memerhatikan reaksi Paman. Bukankah berhasil tidaknya penginjilan juga sudah kuserahkan ke dalam tangan-Nya?

Tibalah kami pada pertanyaan-pertanyaan "tantangan" di mana orang yang diinjili harus membuat pilihannya: Kristus atau dunia. Saya menunjuk pada sebuah gambar. Simbol hidup tanpa Kristus berada dalam suatu lingkaran sebelah kiri, dan hidup beserta Kristus di sebelah kanan.

Saya bertanya pada Paman, "Menurut Paman, Paman sekarang hidup dalam lingkaran yang mana?" (Menurut teori yang diajarkan, atas jawaban pertanyaan inilah, saya harus mengajukan "tantangan" itu.)

Tetapi tanpa diduga-duga, dengan suara yang keras dan tegas, Paman berkata, "Mulai sekarang, Paman mau ikut yang ini saja!" Jari telunjuknya yang keriput dan agak bergetar itu langsung menunjuk lingkaran yang kanan!

Saya menatap Paman penuh kekaguman atas pekerjaan Roh Kudus. Rupanya Paman telah meresapi semua yang saya jelaskan tadi. Setelah saya meyakinkan diri bahwa Paman benar-benar dengan penuh kesadaran telah menentukan pilihannya, saya mengajak Paman berdoa bersama-sama. Kasihan, mula-mula Paman malah tidak mengerti apa arti kata "berdoa". Tetapi setelah saya jelaskan, ia menundukkan kepala dan mengikuti kata-kata yang saya ucapkan untuk menyerahkan seluruh hati dan hidupnya kepada Yesus Kristus.

Suasana dalam kebun yang luas itu menjadi begitu hening dan teduh ketika Paman untuk pertama kali dalam hidupnya, "berbicara" dengan Bapa Surgawi. Suara Paman saat itu takkan kulupakan seumur hidupku. Suaranya begitu khusyuk penuh penyesalan dan kerendahan hati sehingga saya benar-benar bisa membayangkan Paman saya dalam segala kekerdilannya sebagai manusia yang fana, berdiri di hadapan takhta kemegahan Allah Bapa disaksikan beribu malaikat yang bersorak-sorai menyambut anak ini.

"Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan." (Lukas 15:7)

Diambil dan diedit seperlunya dari:

Judul Buku : Untaian Mutiara
Penulis : Betsy T.
Penerbit : Penerbit Gandum Mas, Malang
Halaman : 125 -- 128

Tinggalkan Komentar