Senyuman yang Abadi

Catatan:

Kesaksian ini ditulis oleh K.J. Go, setelah kehilangan anak perempuan yang tercinta. Anak perempuan yang bernama Go Ie Mieng sudah menyelesaikan studi pada tahun 1964 di Perguruan Tinggi ini, dikenal sebagai mahasiswi yang terpandai di kelas. Tapi anak perempuan yang terkenal murah senyum ini meninggal satu minggu sebelum di wisuda karena menderita sakit.

Si ayah yang sibuk karena usaha, dengan terburu-buru datang, tapi masih tidak sempat bertemu untuk terakhir kalinya. Tatkala dalam kesedihan sangat, si ayah mengemasi barang peninggalan si anak, ia menemukan tulisan anak dalam bentuk kesaksian sebelum meninggal. Kesaksian ini, membuat si ayah dalam kesedihan mendapat penghiburan sangat, dan kesaksian ini membawa si ayah dan seluruh keluarga percaya kepada Tuhan. Sebab itu, dalam kesaksian ini, pembaca akan merasakan pengungkapan perasaan yang tulus, lukisan sifat manusiawi, dan terlebih-lebih pembaca akan melihat perbuatan dan kasih Allah yang ajaib.

Bagaimana aku dapat menerima dan percaya fakta yang kuhadapi? Untuk terakhir kalinya aku mencium muka yang sudah membeku dari anak perempuan yang kucintai. Muka yang dingin, memberitahu bahwa untuk selamanya aku tidak melihat senyuman khasnya lagi. Sekarang aku baru merasakan betul bahwa ia sudah tertidur, tertidur dalam waktu yang cukup lama, aka tidak berdaya untuk mengembalikan senyuman yang khas itu. Dengan berusaha menahan air mata, aku membiarkan anak perempuan yang kucintai dibaringkan di peti panjang yang merupakan tempat istirahat terakhirnya. Oh, anakku, apakah engkau benar-benar meninggalkan ayahmu ini?

Peti jenazah yang diangkut dengan mobil merayap ke bukit, ke tempat peristirahatan terakhirnya. Di bukit ini, ia melewati kehidupan mahasiswinya selama empat tahun. Ia pernah mengatakan bahwa tempat ini adalah tempat yang paling disukainya. Bahkan pernah dikatakan bahwa pohon dan rumput, demikian pula bau tanahnya, sangat indah dan menyenangkan. Oh, anakku, tempat yang kamu senangi, sekarang menjadi tempat istirahatmu, dan bau-bauan yang harum ini akan menemanimu untuk selamanya.

Pada waktu memasuki ruang Gereja, para dosen dan teman sekolahnya mulai mengadakan Kebaktian Peringatan. Penghiburan yang diberi melalui firman Tuhan yang dibawakan baik oleh rektor maupun teman-teman sekolah, memberi penghiburan yang luar biasa bagiku dan keluarga. Dalam kata-kata penghiburan disebutkan bahwa jika kita percaya Yesus yang sudah mati dan bangkit, maka orang-orang yang tertidur di dalam Tuhan, di kemudian hari akan dibawa serta oleh Allah bersama-sama Tuhan Yesus. Dan dikatakan pula bahwa berbahagialah orang yang mati di dalam Tuhan. Di langit baru dan bumi baru kelak .... Allah sendiri akan bersama-sama dengan mereka. Allah akan menghapus air matanya. Pada waktu itu, tidak ada lagi kematian, kesedihan, tangisan, dan penderitaan.

Dalam kebaktian itu, aku dan para hadirin mendengar panggilan, "Jika kamu tidak sama menerima Tuhan Yesus, bagaimana kamu bisa bertemu kembali dengan Ie Mieng di dalam Surga?" Aku pribadi mengetahui bahwa Tuhan dengan panggilan, meminta agar aku kembali kepada-Nya. 45 menit kemudian, kami mengitari lobang kubur yang sudah digali, kami mulai menyanyi dan melihat para pekerja mengangkat dan memasukkan peti jenazah ke liang lahat. Dan bunga-bunga ditaburkan di atas peti jenazah anakku yang tersayang. Aku seolah-olah melihat dia berada diribaan Tuhan dan tidak pula ketinggalan senyuman khasnya menghiasi wajahnya yang manis itu.

Sebenarnya anakku, Ie Mieng menyelesaikan studinya pada tahun ini dan pada tanggal 26 bulan Juni diwisuda dan menerima ijazah sarjananya. Pertengahan bulan Mei, karena urusan bisnis, maka aku ke Hong Kong dan bermaksud pada tanggal 20 Juni kembali ke Taiwan untuk mengikuti acara wisudanya dan merencanakan pula membeli oleh-oleh di Hong Kong sebagai hadiah. Tapi karena urusan bisnis yang belum selesai aku belum bisa pulang sesuai dengan rencana. Pada tanggal 21 Juni subuh, aku menerima interlokal yang menyebutkan bahwa Ie Mieng tiba-tiba sakit gawat dan meminta aku segera pulang. Melihat situasi yang gawat, maka dengan pesawat sore aku kembali, tapi siapa sangka delapan jam sebelum aku tiba, anakku sudah meninggalkan dunia yang fana ini.

Peristiwa ini, bagaikan halilintar di siang hari bolong bagiku. Tanpa disadari, aku menunjukkan kemarahan kepada Tuhan dengan menuduh-Nya tak berperasaan, karena Ia sampai hati mengambil anak yang baru saja bertumbuh dewasa dariku. Dari barang-barang peninggalannya, aku menemukan kesaksian yang ditulis 47 hari sebelum ia meninggal. Melalui tulisan ini, baru aku sadar dan kesedihanku berubah menjadi penghiburan. Kesaksian yang ditulis berbunyi demikian:

Aku merasa menyesal dan merasa bersalah, dalam waktu empat tahun ini, aku baru pertama kali berdiri dihadapan teman-teman sekolah bersaksi bagi Tuhan. Jika bukan bersandar pada kekuatan Tuhan, aku sungguh tidak berani bersaksi demikian dihadapan teman-teman. Aku melandasi kesaksian dengan pembacaan firman Tuhan yang terdapat dalam Amsal 21:2, "Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati. Aku benar-benar yakin perkataan Tuhan ini, jika bukan pimpinan Tuhan, melainkan kesenangan sendiri, tidak mungkin aku mau masuk Perguruan Tinggi Kristen di tempat ini. Baiklah aku sekarang mau menyaksikan keajaiban Tuhan memimpin aku masuk di sini.

Sejak dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, aku dengan lancar dapat menyelesaikannya. Selama ini aku tidak mengetahui apa yang dinamakan kuatir, apa yang dinamakan putus asa, dan sebagainya. Mungkin hal ini disebabkan, aku di rumah disayangi orang tua, di sekolah karena aku paling muda di antara siswa lainnya, maka guru dan teman sangat baik padaku. Selama ini nilai raporku sangat baik,dan kebutuhan biaya sekolah dicukupi orang tua. Kondisi yang demikian, tanpa sadar membuatku menjadi agak sombong. Seusai di SMA, aku mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Pada waktu mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi, orang tua dan guru-guru memunyai pengharapan besar atas diriku dan aku sendiri memunyai keyakinan bahwa ujian tersebut tidak akan mempersulit aku. Tapi siapa sangka, aku mengalami kegagalan. Baru sekarang aku merasakan apa yang dinamakan kekecewaan itu, aku berubah menjadi uring-uringan. Syukurlah atas nasihat dan dorongan orang tua dan teman-teman, maka aku memutuskan untuk mengikuti ujian lagi tahun depan.

Persiapan permulaan berjalan dengan lancar, tiap hari aku membaca, belajar untuk mengikuti ujian tahun depan, tapi lama-kelamaan, karena di rumah tidak ada guru sebagai pembimbing, maka aku mulai kehilangan ketekunan. Meskipun tiap hari di tangan memegang buku, tapi bukan hanya buku pelajaran, dan juga buku-buku lain. Di antaranya, buku cerpen, buku cerita, dan sebagainya. Ayah ibu yang melihat aku terus membaca dan berusaha menasihati agar jangan karena belajar sampai merugikan kesehatan, tapi aku sendiri tahu bagaimana mengatur diri sendiri.

Tahun kedua mengikuti ujian, aku tahu tidak ada harapan, tapi masih mengikuti dengan memilih sekolah-sekolah yang cukup ternama. Akhirnya, meskipun nilainya cukup baik, tapi tidak memenuhi persyaratan, sehingga aku gagal. Dalam kemarahan, aku merobek-robek hasil ujian tersebut. Hatiku sangat sedih sekali, aku merasa bersalah kepada orang tuaku, karena mengecewakan mereka. Orang tua takut aku terlalu sedih, sering menasihati dan menganjurkan aku keluar untuk menghilangkan kerisauan hati. Jika teman-teman datang di rumah, orang tuaku berusaha agar mereka mengajak aku keluar bersenang-senang, tapi semuanya itu, tidak dapat menghibur aku.

Pada suatu hari, teman kakakku datang dan menceritakan tentang Perguruan Tinggi Kristen dan orang tuaku menanyakan pendapatku tentang sekolah tersebut, dan kemudian mendaftarkan dan betapa senangnya hatiku tatkala mengetahui bahwa di sekolah ini aku lulus ujian masuk. Hari pertama datang kuliah, meskipun pemandangannya cukup indah, tapi tidak mengurangi perasaan sedihku. Di kelas, tidak ada satupun muka-muka yang kukenal, semuanya serba asing. Tapi kakak-kakak kelas begitu baiknya, banyak memberi penghiburan, dan membantu secara aktif untuk kesulitan yang kuhadapi. Secara perlahan-lahan aku merasa kehangatan kasih dan mulai menyenangi sekolah ini.

Tidak berapa lama mengikuti pelajaran, tiba-tiba aku melihat iklan yang menyebutkan bahwa sebuah sekolah yang cukup ternama, masih menerima murid baru dan nilai ujianku mencukupi syarat untuk diterima. Tapi hasil ujianku yang lalu, dalam kemarahan aku telah merobeknya. Aku sangat menyesal sekali, tapi apa boleh buat, seperti bunyi pepatah mengatakan, "menyesal dahulu berpendapatan, menyesal kemudian apa gunanya." Waktu itu, aku tidak mengetahui bahwa hal ini adalah pengaturan Tuhan, tapi sekarang aku jelas mengetahui semua ini di atur oleh Tuhan. Aku yang tidak memunyai kebiasaan merobek-robek rapor atau hasil ujian, tapi kali ini justru aku lakukan. Tapi siapa tahu, karena aku merobek hasil ujian, sehingga aku masuk di Perguruan Tinggi Kristen ini dan mengenal Tuhan. Yang patut kusesalkan, adalah pertobatanku baru terjadi akhir semester ini.

Pada waktu di tingkat pertama, penatua Go datang untuk memimpin Kebangunan Rohani. Waktu itu hatiku merasa tertarik, seolah-olah aku dibawa kepada persimpangan jalan, sehingga tidak mengetahui harus memilih jalan yang mana. Aku menyadari bahwa jalan Tuhan adalah paling terindah, tapi dunia dan segalanya masih menarik aku, sehingga aku masih mau berjalan di dalam kedua jalan ini. Tahun kedua, aku percaya Yesus Kristus dan menerima baptisan kudus, tapi pada waktu itu aku tidak menyerahkan seantero hidupku pada Tuhan, karena masih menyimpan sedikit untuk diriku. Meskipun aku sudah percaya Tuhan, tapi kehidupanku tidak ada perubahan. Aku sama sekali tidak memikirkan dan mencemaskan hidup rohaniku dan tentu tidak pula memikirkan dan memperhatikan hidup rohani orang lain. Yang paling kutakuti adalah jika ada orang yang mau membicarakan tentang kekristenan. Aku sangat membenci doa bersama, karena aku sangat takut mendengar suara atau tangisan dari mereka yang berdoa. Boleh dikatakan, aku hanyalah Kristen kartu penduduk saja.

Tapi bersyukur pada Tuhan, pada akhirnya aku sadar. Pada permulaan semester ini, dalam hatiku terjadi suatu perubahan, aku mulai rindu untuk ikut kebaktian doa, tapi setiap kali mau pergi, tentu mendapat banyak halangan. Pada suatu hari, aku membulatkan tekat untuk mengikuti kebaktian doa dan menyatakan niatku pada teman dekatku. Ia merasa kaget dan gembira dan dengan senang hati mengajak aku pergi. Hari kedua, aku pergi lagi mengikuti kebaktian doa. Waktu kebaktian berjalan, pemimpin meminta para peserta yang digerakkan oleh Roh Kudus untuk memimpin doa. Sungguh heran, tubuhku mulai menggigil, dan tentu saja pada permulaan aku tidak berani membuka mulut, tapi seolah-olah ada suara yang berkata, "Jika hari ini kamu tidak membuka mulut berdoa, maka hatimu tidak akan merasa damai." Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara berdoa. Setelah berdoa, tubuhku tidak menggigil lagi, hatiku dipenuhi oleh rasa damai dan merasakan bahwa Tuhan benar-benar menyertai aku. Mulai sejak itu, aku lebih rajin mengikuti kebaktian doa, membaca Alkitab, dan membaca buku-buku rohani. Makin membaca banyak, makin merasa kehampaan rohani dan makin melihat kenajisan diri sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Khow minggu lalu dalam ibadah sekolah, bahwa meskipun dosa tidak bisa dilihat melalui perbuatan, tapi dapat terlihat dalam pikiran.

Oleh karena sifat manusia yang bobrok, sehingga dapat membenci, iri, dan cemburu pada orang lain. Aku teringat pada waktu berusia empat tahun, ibu di rumah sakit sedang melahirkan anak keempat. Ayah bersama aku dan dua kakak di rumah dan kami membicarakan tentang adik yang akan lahir ini. Oleh karena di rumah, aku adalah satu-satunya anak perempuan dan tentu merupakan anak kesayangan ayah dan ibu. Kedua kakakku sering jengkel karena ulahku yang selalu mau menang sendiri, sebab itu mereka mengatakan bahwa adik yang akan lahir pasti perempuan, sehingga aku tidak lagi disayangi ayah dan ibu. Aku bersikeras mengatakan bahwa yang lahir pasti laki-laki dan bukan perempuan. Tapi siapa sangka, ayah membawa berita bahwa yang lahir adalah bayi perempuan, maka aku menangis dengan keras. Ayah cepat menggendongku dan mengatakan bahwa ia lebih mencintai aku daripada adik. Setelah mendengar kata-kata ayah, aku berhenti menangis dan mulai tertawa. Lihatlah dosa merusak manusia, sehingga aku yang baru berusia empat tahun, sudah tahu cemburu dan iri, apalagi setelah dewasa.

Dulu aku menganggap apa yang kubuat pasti benar, tapi setelah percaya Tuhan dengan sungguh, baru aku tahu bahwa dalam diriku masih banyak sekali dosa-dosa yang tersembunyi. Pengalaman memberitahukan bahwa cara yang terbaik untuk melepaskan diri dari dosa adalah datang kehadapan Tuhan dan bertobat. Sejak aku datang kehadapan Tuhan dan mengakui dosaku, dalam hati timbul rasa damai yang belum pernah kurasakan. Rasa benciku secara perlahan-lahan hilang dari hatiku. Jika dulu ada orang bersalah padaku, meskipun secara lahiriah aku tidak menunjukkan kebencian, tapi aku menyimpannya dalam hati. Tapi sekarang terjadi perubahan, aku bukan saja tidak membenci orang yang bersalah padaku, bahkan aku bisa bersimpatik padanya. Perbuatan yang mereka lakukan, mungkin karena kekesalan hatinya atau ada sebab lainnya. Dengan demikian, tanpa sadar, aku dapat memaafkan mereka.

Teman-teman seasrama pernah berkata bahwa aku ini orang yang paling mudah memaafkan orang lain. Pada mulanya aku sendiripun heran, mengapa dapat bersikap dan berbuat demikian? Tapi kemudian aku tahu, semua ini bukan karena aku, melainkan karena Tuhan memberiku kekuatan. Secara manusia aku tidak luput dari kelemahan dan adakalanya melakukan hal-hal yang tidak diperkenan Tuhan, untuk itu aku tetap mengharapkan teman-teman dapat mengingat aku dalam doa. Setelah di wisuda nanti, kita semua akan terjun ke masyarakarat dan mungkin karena keadaan atau pengaruh lainnya, kita bisa meninggalkan Tuhan. Untuk itu maka perlu kita terus saling mendoakan.

Ie Mieng, anakku sudah menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya dan sekarang ia telah dipanggil untuk pergi ke surga, tempat yang suci, damai, dan kekal itu. Hatiku yang sedih, karena tulisan anakku itu, mendapat penghiburan. Hati yang bergejolak mulai tenang. Memang benar, Ie Mieng adalah anak yang paling ku sayang. Aku sangat menyayanginya, tapi sekarang aku kehilangan dia, tentu aku sangat sedih. Tapi tatkala aku memikirkan kata-kata yang terdapat dalam tulisannya, aku memunyai pengharapan. Asal kami memiliki iman yang sama dengannya, maka tidak berapa lama lagi, tatkala aku meninggalkan dunia yang penuh dosa ini, dan diterima Tuhan ke surga yang penuh damai, dan tertemu dengan anakku Ie Mieng. Ketika memikirkan suasana yang bahagia waktu itu, maka kesedihanku berubah menjadi sukacita. Anakku hanya berjalan lebih dulu dariku, perpisahan kami hanya bersifat sementara, karena pada suatu kali kami akan bertemu kembali. Puji Tuhan, hatiku dipenuhi oleh damai sejahtera, aku diyakinkan, pada suatu hari aku dapat bertemu kembali dengan anak yang kusayangi itu.

Dalam perasaanku, Ie Mieng hanya seorang anak yang berbakti dan anak yang tahu mengambil hati orang tua, tapi sekarang aku menyadari benar bahwa ia adalah umat yang saleh dan yang sekarang berada bersama-sama dengan Tuhan. Kesalehan hidupnya, sehingga tidak heran tatkala rektor dan para mahasiswa mengadakan rapat, secara aklamasi menyetujui agar jenazah Ie Mieng dimakamkan di taman sekolah. Melihat sikap para dosen dan teman-teman sekolahnya terhadap Ie Mieng, aku baru merasakan bahwa anakku sudah berubah, tidak sama seperti dulu. Hatinya tidak lagi dipenuhi oleh kemanjaan, kecemburuan, kekuatiran, melainkan dipenuhi oleh cinta kasih.

Seusai mengikuti Kebaktian Pengucapan Syukur, dalam perjalanan pulang Ie Mieng secara tiba-tiba kesakitan, temannya dengan cepat membawanya ke rumah sakit. Menurut dokter penyakit yang diderita cukup gawat, sebab itu dikirim ke rumah sakit pusat untuk dirawat lebih lanjut. Dalam penderitaan sakit, Ie Mieng masih bisa meminta teman-temannya berdoa baginya, terlihat betapa dekatnya ia dengan Tuhan. Dua jam setelah masuk rumah sakit, ia sudah tidak lagi merasa sakit. Tapi menjelang subuh, tiba-tiba ia memberitahu kakak ipar yang menjaganya bahwa ia merasa akan segera meninggalkan dunia yang fana ini. Pada waktu mengucapkan kata-kata ini, ia sangat tenang, tidak kelihatan kecemasan hatinya. Ia tidak mengalirkan air mata, tidak pula merengek-rengek pada ayah dan ibunya. Dengan tenang dan damai ia menunggu jemputan dari Tuhan untuk memasuki taman yang indah yang telah disediakan Tuhan baginya.

Dalam keluarga kami yang berjumlah delapan jiwa, hanya aku dan Ie Mieng saja yang Kristen. Selama ini anggota keluarga yang belum percaya belum pernah memikirkan tentang masalah hidup, tetapi melalui kesaksian nyata dari Ie Mieng, mereka semuanya ikut percaya dengan menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat. Aku sendiri percaya, baik sanak famili maupun teman-teman yang kenal dengan Ie Mieng, bahwa kepergian Ie Mieng hanya bersifat sementara. Asal saja dengan kesungguhan kita percaya, pasti pada suatu kali kita akan bertemu dengan dia di rumah Bapa. Untuk semuanya ini, sepatutnya kita bersukacita dengan kepergiannya. Sebagaimana dikatakan oleh firman Tuhan, "Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu. Sekiranya kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan bersukacita karena Aku pergi kepada BapaKu, ..." (Yohanes 14:28)

Semua tamu sudah pulang, sekarang aku seorang diri duduk memandang lukisan gambar wajahmu. Hanya lukisan ini sekarang menemaniku. Tanpa terasa, kelopak mataku menjadi basah, air mataku bagaikan air bah terus mengalir keluar. Memang ada hal yang tidak bisa dilupakan untuk selamanya. Senyuman yang khas dan penuh keramahan yang terdapat dilukisan itu akan dikenang sepanjang masa. Tanpa terasa waktu berjalan terus, aku sungguh hampir tidak percaya, anakku yang tersayang sudah meninggalkan aku selama sembilan tahun. "Hidup bagaikan sebuah karangan, keindahannya bukan terletak pada panjang atau pendeknya, melainkan terletak pada isinya." Dalam Kebaktian Peringatan sembilan tahun engkau meninggaikan kami, saudara Liem dengan mantap mengumumkan, "Kematian Ie Mieng sembilan tahun yang lalu, hanyalah kematian tubuh saja, tapi membawa kebangkitan banyak jiwa roh orang. Ia bagaikan sebiji gandum jika tidak jatuh di tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Memang benar bahwa hidup bagaikan sebuah karangan, nilainya bukan terletak panjang pendeknya, melainkan pada isinya. Hidupmu di dunia, meskipun hanya singkat saja, tapi dapat menjelaskan maksud dari perkataan ini.

Bulan Mei tahun 1965 adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Setelah melalui pendidikan empat tahun lamanya, akhirnya Ie Mieng menyelesaikan studinya dengan predikat sebagai mahasiswa teladan. Anakku Ie Mieng yang kecil mungil yang sering dengan manja bersandar pada bahuku, sekarang sudah dewasa, sudah menjadi sarjana, hal ini bagaikan mimpin saja! Sejak tahun 1961, engkau masuk ke Perguruan Tinggi, maka kampusmu menjadi langganan tempat aku berkunjung. Setiap minggu satu kali, dengan membawa bungkusan kecil maupun besar aku melepaskan rindu dengan melihatmu. Usia yang sudah 60-an, usaha yang menyita waktu cukup banyak, tidak menghalangi aku mendaki bukit untuk bertemu denganmu. Teman sekamarmu, karena seringnya aku berkunjung, sehingga di antara kami terjalin hubungan antara ayah dan anak. Engkau anak yang baik, penuh simpatik dan perhatian terhadap keperluan orang lain.

Aku teringat pada suatu kali hari Natal, temanmu Liu Le pernah berkata padaku, "Empek Go, Ie Mieng sangat baik terhadapku. Kemarin malam waktu mau tidur, aku menemukan di bawah bantal terdapat kartu ucapan selamat, sepasang sepatu dengan ukuran yang pas dan model yang paling kusukai. Ie Mieng bukan memberi begitu saja, melainkan juga memberi dengan memperhatikan kebutuhan orang lain. Aku sungguh merasakan di dunia ini, hanya dialah yang paling memperhatikan aku." Teman sekamarmu Liu Yong Yong, sering mengungkapkan tentang perbuatan baikmu dan perhatianmu kepada orang lain. Sikapmu yang ramah dan tenang, pergaulan yang luwes, sehingga engkau diterima semua orang. Dia berkata, "Ie Mieng, orangnya pintar, lincah tapi mantap. Ia tulus, bersih, sehat, dan jujur. Yang paling berharga adalah perhatian dan simpatiknya pada orang lain, menyebabkan semua orang sangat baik terhadapnya."

Anakku, pujian yang di alamatkan padamu itu, bagi aku sebagai ayahmu, bagaikan musik yang merdu di telingaku. Pada waktu itu, aku merasa di dunia ini hanya aku adalah ayah yang paling gembira, paling puas, paling bangga. Aku sangat senang, engkau bersandar di bahuku dan membiarkan aku memegang bahumu untuk diphoto. Betapa inginnya aku berteriak kepada dunia dan mengatakan, "lihatlah, ini anakku yang tercinta!" "Ayah, dengan manjanya engkau memegang tanganku dan berkata, "Jangan lupa, ayah harus cepat pulang! Ingat, tanggal 26 Juni. Meskipun ayah bagaimanapun sibuknya, jangan sekali-kali lupa untuk hadir pada hari wisudaku. Biarlah ayah melihat, anakmu memperoleh hadiah rangking satu dan mewakili teman-teman untuk menyampaikan kata sambutan dan ucapan terima kasih."

Aku masih jelas mengingat kata-kata ini engkau ucapkan pada pertengahan bulan Mei, sebelum aku meninggalkan Taiwan menuju ke Hong Kong. Oh, anakku, bagaimana aku bisa melupakan hari yang penting itu? Aku akan mengiringi dengan pandanganku, tatkata engkau ke pentas, menerima hadiah. Dengan telingaku yang mulai agak tuli ini akan berusaha mendengarkan apa yang engkau akan katakan dari mulutmu. Waktu itu, alangkah bahagianya aku ini. Dengan perasaan yang demikian ini, aku berangkat ke Hong Kong. Selain mengurusi usaha, aku sudah bersiap untuk membeli hadiah yang istimewa untukmu. "Hadiah apakah yang harus kubeli?" Pertanyaan ini terus berada diotakku setiap hari. Tapi siapa sangka, pagi hari tanggal 21 Juni secara beruntun aku menerima interlokal dan mengetahui bahwa engkau menderita sakit yang cukup berat dan perlu dirawat secara intensif. Aku segera meninggalkan urusanku dan berangkat dengan pesawat pada sore harinya, tapi delapan jam sebelum aku sampai, engkau sudah meninggalkan aku untuk selamanya. Dengan hati yang penuh pedih dan hancur aku turun dari pesawat. Tatkala melihat teman-temanmu datang menjemput aku, tanpa tertahan lagi aku menangis dengan suara keras. Ie Mieng, Ie Mieng anakku, mengapa? mengapa, engkau pergi demikian cepatnya? Apakah engkau lupa akan janjimu terhadap ayahmu ini?

Dari teman-teman dan iparmu, aku mengetahui keadaan sebelum engkau meninggal dunia. Tanggal 20 Juni engkau dan teman-temanmu mengadakan persiapan untuk hari wisuda dan juga mengadakan Kebaktian Pengucapan syukur. Pagi-pagi sekali engkau sudah naik gunung, tapi tidak lupa makanan yang cukup banyak untuk diberikan kepada adik-adik kelas yang sedang menghadapi ujian. Tengah hari engkau bersama-sama delapan temanmu turun kembali dengan naik bus, tapi siapa sangka secara tiba-tiba engkau merasa perutmu sakit sekali. Karena tidak tahannya, maka segera kawan-kawanmu membawa engkau masuk ke rumah sakit. Pada waktu teman-temanmu bertanya, "Apa yang engkau perlu?" tapi engkau hanya menjawab, "Tolong doakan aku!" Tanggal 21 Juni subuh, engkau bangun dari tidurmu dan memohon iparmu untuk menggantikan bajumu dengan yang baru. Pada waktu pukul 5 subuh, engkau berkata pada iparmu dan perawat yang menjaga dengan berkata, "Aku akan mati!" Setelah itu, engkau tidur dengan nyenyak. Puku 16.20, dengan menarik nafas panjang, engkau benar-benar meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Siapapun tidak percaya mendengar bahwa engkau dengan tenang dan berani menghadapi maut!

Biar bagaimanapun aku tidak bisa menerima kenyataan ini, karena aku tidak habis mengerti, mengapa anak yang manis ini harus lebih dulu dari aku, meninggalkan dunia yang fana ini? Dengan hati pilu, air mata yang bercucuran, hati yang penuh tanda tanya, dan kemarahan, aku membenahi barang peninggalanmu. Di antara barang peninggalanmu aku menemukan kesaksian yang engkau tulis 47 hari sebelum meninggal. Setelah membaca kesaksianmu itu, aku menjadi sadar, kesedihanku hilang. Dalam kesaksianmu, engkau mengatakan, "Oleh karena sifat manusia yang rusak, sehingga ia bisa membenci orang, menyalahkan orang, cemburu pada orang dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dalam diriku, pada waktu berusia empat tahun, ibu di rumah sakit melahirkan. Di rumah, aku hanya ditemani dua orang kakak dan ayahku. Mereka bertiga sedang berbincang-bincang tentang adik yang segera akan lahir. Oleh karena aku adalah anak perempuan satu-satunya, maka sangat disayangi ayah, sebab itu, sering-sering di rumah aku mau menang sendiri. Dalam pembicaraan itu, kakakku dengan suara mengejek mengatakan bahwa ibu pasti melahirkan anak perempuan, tapi aku bersikeras mengatakan bahwa anak yang akan dilahirkan pasti laki-laki.

Tapi akhirnya kami mendapat berita bahwa adik yang lahir adalah perempuan. Waktu aku mendengar, langsung menangis dengan sedihnya. Ayah cepat-cepat memeluk aku dan berkata, "Jangan nangis, adikmu terlalu kecil, ayah tidak menyukainya, yang ayah sukai hanya kamu seorang." Begitu mendengar kata-kata ayah, tangisanku berubah menjadi tawa. Coba lihat, anak berusia empat tahun saja bisa cemburu, apalagi orang dewasa. Dulu aku mengira, apa yang kulakukan pasti benar, tapi sejak percaya Tuhan, aku baru sadar bahwa masih banyak dosa-dosa yang tersembunyi yang belum muncul pada permukaan. Pengalaman memberitahukan bahwa cara yang terbaik untuk melepaskan diri dari belenggu dosa adalah datang kepada Tuhan dan bertobat. Sejak aku mengaku dosa di hadapan Tuhan, dalam hatiku muncul sukacita yang belum pernah ada selama ini. Rasa benci pada orang lain, sudah sirna dalam diriku.

Dulu, jika ada orang bersalah padaku, meskipun secara lahiriah tidak kelihatan, tapi hati dipenuhi oleh kebencian. Tapi sekarang aku sudah berubah! Pada waktu orang bersalah padaku, bukan saja aku tidak marah bahkan bersimpatik padanya. Mungkin ia berbuat demikian, karena hatinya susah, hatinya tidak memunyai damai. Tatkala berpikir demikian, maka secara wajar aku dapat memaafkan dia. Teman sekamarku pernah mengatakan bahwa aku ini paling gampang memaafkan orang. Mengapa aku bisa berbuat demikian? Hal ini bukan disebabkan aku bisa, melainkan karena Tuhan mau aku berbuat demikian! Dan tentu sebagai manusia yang penuh dengan kelemahan, aku bisa juga mulakukan hal-hal yang tidak diperkenankan Tuhan, sebab itu aku mengharapkan teman-teman sering mengingat aku dalam doa. Mungkin setelah meninggalkan sekolah ini, oleh karena keadaan dan beracam-macam pengaruh, kita akan tersesat. Sebab itu, dapatlah kiranya seusai di wisuda, kita sering saling mendoakan.

Kesaksianmu ini memberiku penghiburan yang sangat besar. Dalam perasaanku dulu, engkau hanya seorang anak yang berbakti pada orang tua, anak yang dapat menyenangkan hati orang tua saja, tapi sekarang aku menyadari bahwa engkau sudah berubah, tidak sama seperti dulu. Engkau sudah memunyai hidup baru dan hidup baru ini tidak akan binasa untuk selama-lamanya. Pada tanggal 26 Juni, aku mengikuti acara wisuda. Dengan tidak bersuara aku duduk di tengah-tengah para wisudawan. Tempat dudukku, sebenarnya adalah tempat yang harus engkau duduki; sebenarnya aku datang untuk menyaksikan dan menikmati kebahagiaan atas keberhasilanmu sebagai murid teladan dan terpandai, tapi siapa sangka, hari ini aku yang mewakili kamu untuk menerima semuanya ini.

Rektor Cia yang bertubuh agak gemuk dan suara dalam dan berwibawa mengatakan, "Go Ie Mieng, mahasiswi yang menduduki rangking I, dipeksilahkan maju ke depan. "Pada waktu itu, seluruh ruangan menjadi senyap. Dengan perlahan-lahan aku berdiri, dengan hati yang berdukacita dan sukacitaaku melangkahkan kaki menuju ke podium. Akhirnya dengan air mata dan tawa aku sampai ke podium, dengan tangan gemetaran aku menerima ijazah dan hadiahmu, tapi kepada siapakah aku akan menyerahkan semuanya ini? Setelah menerima ijazah dan hadiahmu, aku kembali ke tempat duduk. Aku melihat temanmu Cia Ie Chong mewakili engkau berbicara. Seolah-olah aku mendengar suaramu bergemah di aula yang luas ini: Air sungai mengalir ke laut, ombak di belakang mendorong ombak di depan, pada akhirnya semua akan mengalir sampai ke laut. Di dunia ini, tidak ada perjamuan yang tidak usai. Dengan hati gembira memulai kehidupan kampus, tapi dengan hati sedih kami meninggalkan kampus. Jangan sedih karena aku meninggalkan kamu, karena kepergianku hanya bersifat sementara saja, karena pada suatu hari kita akan berjumpa kembali di seberang sana ...."

Aku tidak akan melupakan suasana pada waktu itu, teman-temanmu dengan penuh kesedihan dan tangisan mengikuti acara wisuda itu. Aku tidak ketinggalan diliputi suasana sedih itu, tapi aku tahu di mana sekarang engkau berada. Dengan penuh percaya diri, engkau menghadapi maut, buat apa aku bersedih untuk kepergiaanmu? Sekarang aku berumur 65 tahun, hari untuk bertemu denganmu, makin dekat. Aku tahu engkau bukan berada di peti yang terpaku mati itu dan engkau bukan juga berada di tanah yang basah itu, melainkan engkau berada di tempat yang ... "tiada kematian, tiada kesedihan, tiada tangisan, tiada penderita ...." dan dengan senyumanmu yang khas dan abadi itu akan menungguku di seberang sana. Di seberang sana, "Allah akan tinggal bersama-sama kita, Allah akan menghapuskan air mata kita ..." Miengingat hal ini, membuatku merasa terhibur. Selamat tinggal anakku sayang! Kita pasti akan bertemu kembali, bukan?

Sekarang sudah sembilan tahun Ie Mieng meninggalkan aku, kematiannya menyadarkan aku akan arti dari hidup. Dari barang-barang peninggalannya, sehingga aku mengetahui pengharapan yang ada dalam lubuk hatinya dan aku sendiri juga sudah berubah. Dulu aku adalah pengusaha yang mengutamakan kenikmatan hidup, makan dan minum, dan berfoya-foya, tapi sekarang menjadi orang yang sibuk ke sana ke mari untuk mengabarkan Injil. Meskipun dulu aku kaya, tapi tidak memiliki damai sejahtera, hatiku penuh dengan kehampaan dan rasa takut, tapi sekarang aku baru mengerti perkataan Tuhan Yesus, "Apa gunakanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Matius 16:26)

Hari ini, dalam rangka memperingati sembilan tahun meninggalnya Ie Mieng, dengan hati penuh syukur, di sebuah tempat yang indah pemandangannya, aku mempersembahkan sebuah bangunan untuk pusat kegiatan pemuda dengan harapan lebih banyak pemuda, sama seperti anakku Ie Mieng mendapatkan hidup baru dan dengan mantap dan percaya diri, memunyai arah tujuan menempuh perjalanan hidup di dunia ini.

Kesaksian ini ditulis oleh K.J. Go pada tanggal 21 Juni 1974

Diambil dari:

Judul buku : Jalan Tuhan Terindah
Penulis : Pdt. Paulus Daun, M.Div., Th.M
Penerbit : Yayasan Daun Family, Manado 1996
Halaman : 113 -- 132

Tinggalkan Komentar