Sepuluh Tahun Menyelesaikan Kuliah Strata 1

Ditulis oleh: Mata Kristina

Pernahkah Anda berpikir, dalam kurun waktu 10 tahun, berapa strata pendidikan yang dapat kita selesaikan? Mungkinkah itu S1? S2? atau S3? Apabila dilakukan dengan sebaik mungkin, 10 tahun rasanya adalah waktu yang dapat dicapai untuk menyelesaikan program Pascasarjana. Terlebih lagi, jika tidak ada kendala, waktu 10 tahun dapat dimanfaatkan seseorang untuk belajar hingga Strata 3. Akan tetapi, yang aku alami adalah aku membutuhkan waktu 10 tahun hanya untuk menyelesaikan program S1!

Beberapa pertanyaan sering sekali aku dengar, "Kapan kuliahmu akan selesai?" "Kuliahmu kok lama sekali, jangan-jangan kamu pacaran terus di sana!" "Judul Skripsimu apa sih? Makanya, jangan mengambil judul yang susah-susah." Pertanyaan dan pernyataan seperti itu sering sekali aku dengar. Setiap mahasiswa pasti tidak ingin berlama-lama menyelesaikan kuliahnya, begitu juga denganku. Aku tidak ingin berlama-lama untuk menyelesaikan kuliahku. Namun, rasanya aku belum seberuntung teman-temanku yang bisa lulus lebih cepat dariku.

Aku datang ke kota Salatiga dengan harapan besar dari orangtua dan keluarga di kampung halaman. Pada bulan Agustus 2005, aku mendaftar di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Setelah mendaftar dan menjalani masa-masa kuliah, rasanya aku tidak menemukan satu pun kendala yang berarti. Aku bisa menyelesaikan SKS perkuliahan dan mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif dengan cukup baik. Banyak orang tidak percaya, melihat seorang anak dengan transkrip nilai yang cukup baik baru mampu menyelesaikan skripsinya dalam waktu 7 tahun.

Itulah kenyataannya. Aku mengalami sendiri bagaimana aku harus menyelesaikan skripsiku dalam waktu 7 tahun. Proses skripsiku berjalan lambat bagaikan siput. Padahal judul yang aku ambil juga tidak sesulit judul-judul penelitian para profesor. Akan tetapi, aku mendapat "berkat" tersendiri. Berkat yang aku terima adalah aku mendapat dosen pembimbing yang terkenal susah. Dari awal bimbingan, aku merasakan bahwa proses ini tidak berjalan lancar. Jarang sekali ada jalinan pemikiran yang harmonis antara aku dengan dosen pembimbing. Aku masih merasakan indahnya proses bimbingan dan rumitnya skripsi saat aku masih bersama-sama teman seangkatanku. Seiring berjalannya waktu, satu per satu teman seangkatanku berhasil lulus. Mereka dapat menyelesaikan perjuangan di UKSW dan menyelesaikan skripsinya. Hanya aku yang tertinggal di kampus ini. Hal ini menjadi kesedihan tersendiri bagiku. Angkatan di bawahku mulai banyak yang berdatangan sehingga aku harus "ngampus" dengan adik-adik angkatan! Hal ini menjadi momok yang membuat aku menjadi malas untuk pergi ke kampus. Akhirnya, keputusan yang aku ambil adalah mengambil cuti akademik tanpa mengajukan formulir cuti ke kampus. Ya ... aku memilih cuti di tengah-tengah pengerjaan skripsiku.

Selama 7 tahun, aku merasa seperti "zombie". Hidup segan, mati tak mau. Bersyukur sekali karena aku ditempatkan Tuhan di tengah-tengah keluarga yang tetap mendukung dan menopangku meskipun aku ini lebih layak menjadi beban buat mereka. Sebagai anak sulung, aku tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adikku. Saat aku menghadiri acara wisuda adikku, hatiku hancur. Saat itu, Papa berkata kepadaku, "Tidak apa-apa adik yang lulus duluan, tetapi tahun depan kamu harus lulus!" Dalam hati, aku berkata, "Tidak!" Rasanya hatiku hampa dan aku tidak bersemangat untuk bangkit dan berjuang menyelesaikan skripsiku.

"Drop out" menjadi wacana yang terus aku kumandangkan di dalam pikiranku. Setiap kali otakku berpikir untuk memilih drop out, saat itu juga rasanya hatiku tidak rela. Hatiku sering berkata, "Kerjakan saja, pasti kamu lulus." Entah mengapa, menata hati dan memulihkan semangat pada diri sendiri itu sangat susah untuk dilakukan. Benar sekali yang dikatakan oleh penulis Amsal, "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah meremukkan tulang." Aku merasa kalau semua ini sungguh tidak menyenangkan. Hingga pada akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku untuk drop out kepada kedua orangtuaku.

Bak petir di siang bolong, itulah kenyataan yang harus didengar oleh kedua orangtuaku. Orangtuaku menerima keputusanku untuk berhenti memperjuangkan skripsi. Namun, aku melihat kesedihan dan kekecewaan di wajah dan mata mereka. Jelas sekali aku merasakan bahwa mereka tidak memberikan restu bagiku untuk mengambil jalan drop out. Hatiku tetap berkata, "Drop out, take it or leave it." Di tengah keputusasaanku, justru saat itulah Tuhan bekerja dan membuka jalan. Tiba-tiba, dosen pembimbingku meng-SMS aku dan menanyakan bagaimana progres skripsiku. Ya, aku jawab saja sesuai dengan fakta yang ada. Setelah itu, dosen pembimbing memintaku untuk ke kampus dan menemuinya.

Berbekal bahan tulisan yang persis sama dengan 3 tahun lalu, aku memberanikan diri untuk datang dan berkonsultasi dengan dosen pembimbingku secara tatap muka. Pertemuan pertama ini rasanya menjadi rekonsiliasi antara aku dengan dosen pembimbingku. Keajaiban selanjutnya yang terjadi adalah, dosen pembimbing menyetujui bahanku dan memberikan aku rekomendasi untuk ujian. Tentunya tidak instan, tetapi aku masih harus memperbaiki skripsiku di beberapa bagian, barulah rekomendasi ujian diberikan. Rasanya, ini adalah rencana Tuhan. Bahan yang sama harus menunggu 3 tahun untuk mendapat persetujuan dari dosen pembimbing.

Satu bulan, itulah waktu yang aku gunakan untuk memperbaiki skripsi hingga ujian pendadaran. Selama waktu itu, aku melihat betapa ajaibnya cara Tuhan bekerja. Dosen pembimbingku yang terkenal susah sekali untuk ditemui dan "moody", dalam sebulan ini ia berubah menjadi sosok yang bersahabat dan selalu ada setiap kali aku ingin berkonsultasi. Dulu, dosenku yang mencari-cari aku, atau sebaliknya, aku yang mencari-cari beliau. Kali ini, rasanya kami dapat bekerja sama dengan baik.

Sejujurnya, aku tidak pernah menangis untuk skripsiku. Akan tetapi, kali ini, aku menangis untuk orang-orang yang menangis untuk skripsiku. Ada papa, mama, saudara, kekasih, dan semua teman yang mendukung aku selama ini. Pada tanggal 12 Mei 2015, skripsiku sudah selesai, dan pada tanggal 1 Agustus 2015, aku telah diwisuda dari Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Tuhan tidak pernah menjanjikan hari yang selalu indah tanpa badai, tetapi Tuhan menjanjikan penyertaan-Nya kepada kita untuk melewati badai tersebut.

Biarlah kesaksian dan kisahku ini dapat memberikan kekuatan bagi semua saudara yang sedang menghadapi proses skripsi. Percayalah bahwa Tuhan turut bekerja pada saat yang tepat. Tangan-Nya bekerja tepat pada saat-Nya. Lakukan dan kerjakanlah bagian kita dengan bertanggung jawab dan tetap bersukacita.

"Sebab, Aku mengetahui rencana-rencana yang Aku miliki bagi kamu,' firman TUHAN, 'rencana-rencana untuk kesejahteraan dan bukan untuk kemalanganmu, untuk memberimu masa depan dan pengharapan." (Yeremia 29:11)

< http://alkitab.sabda.org/?yeremia+29:11>

Tinggalkan Komentar