Bebas Dari Jerat Narkoba
Ketika badai krisis moneter menerpa negeri ini, pada tanggal 5 Juni 1997, kami memutuskan untuk pindah dari kota Medan dan meneruskan kembali bisnis properti dan jual beli mobil di kota kelahiran saya, Surabaya. Ketika usaha tersebut sudah berjalan dengan baik, saya menyerahkannya kepada anak dan istri untuk mereka kelola, sehingga saya mulai memunyai banyak waktu senggang. Saat itu, salah seorang saudara dari istri mengajak saya untuk pergi ke gereja. Namun, setelah berada di ruang ibadah, saya melihat orang-orang di situ bernyanyi sambil berdiri dan bertepuk tangan penuh sorak-sorai. Sambil tertawa kecut, hati saya mulai mengatakan bahwa tempat ini bukanlah tempat yang cocok bagi saya. Maka, saya mengurungkan niat untuk percaya pada Tuhan Yesus dan tidak pernah menginjak gereja itu lagi.
Pada tahun 2000 yang lalu, karena memunyai waktu senggang, saya mulai melakukan lagi kebiasaan-kebiasaan jelek yang pernah saya lakukan bersama dengan teman-teman waktu masih tinggal di Medan, sekitar tahun 1993-1995. Berjudi sambil bersenang-senang di diskotek dan menikmati alunan musik ingar-bingar di ruangan yang remang-remang, ternyata jauh lebih menarik bila dibandingkan dengan alunan musik di gereja.
Setelah berkali-kali menggunakan ekstasi, kawan-kawan saya mulai menawarkan untuk mencoba mengisap sabu-sabu. Tetapi karena badan saya agak besar, mengisapnya 5 kali tidaklah terlalu terasa dampaknya. Oleh karena itu, saya dianjurkan untuk mengisapnya sebanyak 10 kali. Mula- mula, menggunakan obat-obat tersebut hanyalah sebagai pemacu semangat kerja saya. Namun beberapa bulan kemudian, obat-obatan itu mulai menjerat saya, terutama jika terjadi masalah di rumah atau pada bisnis saya. Pilihan saya hanya tertuju pada barang haram itu, mengisapnya lagi dan lagi, sampai akhirnya menjadi ketergantungan dan tidak bisa terlepas darinya.
Sebenarnya, saya ingin berhenti dari obat-obatan itu. Saya dan istri saya mulai mencari jalan keluar dengan mendatangi dukun-dukun, bahkan meminta pertolongan pada berhala-berhala kami. Seperti anjuran para dukun tersebut, saya pun mulai mencoba untuk tidak mengonsumsi obat- obatan itu. Namun, badan saya mulai sakit dan tulang-tulang saya terasa ngilu seperti ditusuk ribuan jarum. Karena tidak dapat menahan rasa sakit tersebut, saya mengisap sabu-sabu lagi untuk membuat badan saya fit kembali.
Kalau batang itu tidak masuk ke dalam tubuh saya, saya akan menderita `sakau` (ketagihan) dan kalau hal itu dibiarkan, saya akan mengalami paranoid. Apabila saya terserang paranoid, maka akan mudah tersinggung dan curiga pada semua orang, akibatnya istri dan anak-anak sayalah yang menjadi sasarannya.
Suatu hari, setelah semalaman berpesta ekstasi dan sabu-sabu dengan kawan-kawan di diskotek, pagi harinya saya tidak langsung kembali ke rumah. Tanpa berpamitan terlebih dulu pada istri, saya bersama teman- teman berangkat untuk bersenang-senang di salah satu diskotek di Jakarta. Karena hingga malam saya belum kembali ke rumah, istri dan anak-anak saya mencoba menghubungi teman-teman saya. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mengetahui keberadaan saya. Maka, mereka mulai mencari-cari saya ke setiap diskotek yang ada di Surabaya. Pada hari yang ketiga setelah segala upaya yang dilakukan untuk mencari saya tidak berhasil, istri saya mulai khawatir dan stres. Akhirnya, ia pun jatuh sakit. Anak-anak yang memerhatikan ibunya dalam keadaan seperti itu, segera melarikannya ke Rumah Sakit Mitra di Surabaya.
Ketika istri saya sedang dirawat intensif di ruang ICU, telepon genggam yang baru saja saya aktifkan malam itu, tiba-tiba berbunyi. Karena hanya teman-teman yang menelepon dan mengabarkan bahwa istri saya sakit, saya tidak memercayainya. Saya berpikir itu hanyalah upaya untuk membuat saya segera pulang ke Surabaya. Tetapi tidak lama kemudian, seorang tetangga kami, Dokter Hendro Gunawan, yang merawat istri saya di rumah sakit, menelepon dan mengatakan bahwa istri saya sedang dirawat di rumah sakit, bahkan sekarang ini sedang ditangani secara serius di ICU.
Setelah saya meyakini bahwa seorang dokter tak mungkin berbohong, maka saya segera membeli tiket pesawat untuk keberangkatan pada jam pertama besok pagi. Sesampainya di Surabaya, saya segera mencari istri saya ke rumah. Tetapi, saya tidak menemukannya sehingga saya segera menuju rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, saya menemukan istri saya sedang didoakan oleh beberapa orang pria. Sebenarnya, saya tidak setuju dengan itu. Bahkan, hati saya sangat jengkel kepada mereka karena saya pikir cara itu tidak mungkin dapat membuat istri saya sembuh dan sadar kembali.
Setelah didoakan oleh orang-orang tersebut, yang belakangan saya ketahui bahwa mereka adalah anggota dari FGBMFI Surabaya, Kertajaya Chapter, tak lama kemudian istri saya benar-benar sadar dan siuman. Sejak saat itulah, istri saya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Sejak hari itu pulalah, istri saya mendoakan saya secara terus-menerus, agar saya bertobat dan berhenti dari narkoba.
Seminggu kemudian, ketika saya tetap meneruskan petualangan saya di dunia remang-remang diskotek, sekitar pukul 01.00 pagi, saya sedang triping berat. Tetapi tiba-tiba, kepala saya berhenti bergeleng- geleng, seolah menginjak rem. Tiba-tiba saya merasakan kesepian yang luar biasa dan langsung teringat pada Tuhan Yesus yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Saya mengatakan kepada Tuhan bahwa jika saya bisa berhenti dari ekstasi, sabu-sabu, dan obat-obatan lainnya, saya akan bertobat dan menerima Dia masuk ke dalam hati saya. Saya akan beribadah kepada-Nya di gereja.
Sekitar lima sampai sepuluh menit kemudian, saya melihat wajah orang- orang yang sedang menari di depan saya menjadi seperti hantu. Ada juga yang berwajah polos dan hitam, seperti katak yang sedang melompat- lompat, atau seperti binatang yang seram, yang akan menerkam saya.
Ketika saya berdiri, saya melihat pelayan-pelayan yang sedang membawa nampan minuman, berjalan tanpa wajah. Ketika saya menengok ke kiri, saya melihat beberapa pelayan perempuan yang membawa minuman tetapi tidak berjalan, seperti melompat-lompat. Karena sangat ketakutan, saya segera melarikan diri ke luar ruangan. Para satpam yang mencegat saya terlihat bertanya-tanya, tetapi karena tak berani mengatakan bahwa saya baru saja melihat setan, maka saya hanya mengatakan bahwa saya sedang kurang sehat. Teman-teman yang menyusul saya ke luar ruangan melihat bahwa wajah saya masih merah padam karena pengaruh obat. Jika saya pulang dalam keadaan seperti itu, maka bisa dipastikan bahwa saya akan over dosis, kemudian sesak napas, dan meninggal. Sejak saya terikat dengan narkoba, istri dan anak-anak saya telah melarang saya untuk menyetir sendiri. Tetapi malam itu, saya mengatakan kepada teman-teman bahwa saya harus pulang saat itu juga.
Sesampainya di rumah, istri saya yang membukakan pintu. Sambil melihat wajah saya yang masih merah padam, ia menanyakan tentang kepulangan saya, yang kurang lebih pukul 01.30 itu. Saya menjelaskan peristiwa yang saya alami dan janji yang saya ucapkan kepada Tuhan di diskotek tadi. Dengan tidak percaya, istri saya mengatakan bahwa saya sudah gila atau sedang mengalami paranoid. Biasanya, saya bisa fit selama tiga sampai empat hari hanya dengan tidur selama satu hari karena pengaruh obat. Tetapi pada subuh itu, saya langsung merebahkan diri di tempat tidur dan terlelap.
Biasanya, sarapan pagi saya adalah sabu-sabu yang sudah siap untuk diisap, tetapi pagi itu saya tidak ingin mengisapnya lagi. Sepanjang hari itu, lebih dari lima kali saya keluar masuk karaoke untuk mengisap sabu-sabu, tetapi setiap kali saya berusaha melakukannya, saya tidak ingin memakainya lagi. Biasanya, jika tidak mengonsumsi sabu-sabu dalam dua hari, badan saya akan terasa tidak enak dan tulang-tulang saya terasa sangat sakit. Tetapi anehnya, saat itu sudah hari keempat saya tidak mengonsumsi sabu-sabu dan badan saya tidak terasa sakit seperti biasanya.
Beberapa hari kemudian, istri saya mengajak saya pergi ke rumah sakit untuk direhabilitasi (cuci darah-urine). Setelah disuntik dan diinfus, saya tidak sadarkan diri selama tiga hari. Pada hari yang keempat, saya mulai siuman, tetapi seperti terkena parkinson. Kaki dan tangan saya tak berhenti bergetar.
Melihat keadaan saya yang seperti itu, keluarga membawa saya untuk diperiksa oleh dokter saraf dan psikiater. Setelah diberikan terapi namun belum mendapat kesembuhan juga, pada akhir Desember 2000 saya dibawa oleh anak dan istri saya berjalan-jalan ke Eropa. Sebenarnya, saya tidak ingin ikut bersama mereka karena keadaan badan saya yang belum sembuh. Tetapi karena mereka sudah membeli tiket dan saya tak ingin mengecewakan mereka, akhirnya saya ikut juga. Pada hari pertama tiba di Eropa, saya dibawa untuk melihat-lihat bangunan gereja. Saya sempat menggerutu bahwa kalau hanya ingin melihat gereja, di Surabaya pun banyak gereja dan bangunannya jauh lebih bagus daripada di situ. Keesokan harinya, walaupun saya menggerutu, ketika mereka kembali membawa saya melihat suatu gereja, saya ingin berlama-lama tinggal di gereja itu. Setelah satu jam berlalu, istri dan anak-anak mengajak saya keluar dari gereja itu. Karena masih ingin berada di gereja itu, saya mengatakan kepada istri saya dan pemimpin rombongan untuk keluar terlebih dulu, dan saya akan menyusul mereka lima menit kemudian. Dalam waktu lima menit itu, tiba-tiba Tuhan mengingatkan saya pada janji yang saya ucapkan pada Tuhan, bahwa saya akan bertobat dan datang ke gereja.
Di dalam gereja itu, saya berjanji bahwa sepulangnya dari Eropa, saya akan bertobat dan mau ke gereja. Saya juga mau dibaptis. Tiga sampai empat hari kemudian, istri dan anak-anak saya mengatakan pada saya bahwa badan saya sudah tidak bergetar-getar lagi. Saya menjawab mereka bahwa Tuhan Yesus-lah yang telah menyembuhkan saya.
Saat berada di Surabaya, kami sekeluarga menyerahkan diri pada Kristus dan telah dibaptis dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Seiring dengan pertobatan tersebut, Dr. Hendro Gunawan dan kawan-kawan dari FGBMFI Kertajaya Chapter Surabaya membimbing kerohanian saya. Dalam sebuah outreach meeting, mereka mengajak saya untuk bergabung menjadi anggota FGBMFI. Sekarang, bukan hati saya saja yang semakin dipenuhi dengan sukacita dan damai sejahtera oleh Tuhan, melainkan bisnis dan keluarga kami pun dipulihkan hingga bertambah harmonis.
Soedono Wijaya sekarang menjadi anggota FGBMFI Chapter Surabaya. Pengusaha otomotif dan garmen di Jasmin Jaya ini, bersama istrinya, Christina Irani, serta anak-anaknya, Tommy W., Fera Carolina W., Hendry W., Denny W., dan Jeanifer Yasmin W., bergereja di Mawar Sharon Surabaya.
Diambil dari: | ||
Judul buletin | : | SUARA (Full Gospel Business Men`s VOICE Indonesia), Edisi Khusus No.1 - 2004 |
Penulis | : | Soedono Wijaya |
Penerbit | : | Yayasan Persekutuan Usahawan Injil Sepenuh Internasional (PUISI) - Jakarta |
Halaman | : | 12 -- 15 |