Penolongku Yang Sungguh

Awalnya, tidak ada sakit yang saya rasakan, hanya kebiasaan bersendawa. Dokter pun hanya memberikan resep obat maag biasa dan segera sembuh. Namun, sebulan berikutnya muncul lagi, begitu seterusnya. Diagnosis dokter mengatakan bahwa lambung saya terlalu banyak menghasilkan gas, dikatakan hal itu bukan suatu masalah dan tidak membahayakan.

Awal bulan April 2008, saya dan istri merencanakan untuk pergi jalan-jalan ke luar negeri, mengajak anak dan menantu. Sambil jalan-jalan, saya berencana pergi ke Penang, Malaysia untuk "check up" kesehatan karena saya dengar beberapa rekan mengatakan bahwa rumah sakit di sana memiliki peralatan yang lengkap, serta tenaga medis yang tidak kalah dibandingkan dengan Singapura.

Setelah hotel kami "booking" dan segala persiapan diselesaikan, kami berangkat menuju Penang, Malaysia dan tiba di sana sore hari. Baru keesokan harinya, kami pergi ke rumah sakit yang letaknya berseberangan jalan dengan hotel tempat kami menginap.

Kami menjalani "general check up" satu per satu dan tak sampai setengah hari, kami telah menerima hasil pemeriksaan. Dari seluruh rombongan semua dinyatakan sehat, hanya saya sendiri yang memperoleh catatan untuk menemui dokter spesialis jantung.

Saya bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan dengan saya. Selama ini, saya merasa sangat sehat, tidak ada tanda-tanda nyeri atau sesak napas seperti yang biasa dialami oleh penderita jantung. Tak berapa lama, saya masuk ke ruang praktek. Di situ, dokter sedang mempelajari catatan kesehatan saya. "Pak Yanuar, Anda harus segera dikateter untuk melihat berapa persen penyumbatan yang terjadi." Lalu, saya diantar ke ruangan sterilisasi untuk berganti pakaian. Saya menggigil kedinginan bukan karena ruangan yang ber-AC, melainkan karena muncul rasa takut yang belum pernah saya alami sebelumnya. Menuju ruangan operasi, pikiran saya bertambah kacau. Namun, dalam keadaan seperti ini, saya malah melupakan Tuhan dan hanya mengandalkan kekuatan sendiri.

Pergelangan saya dimasukkan selang kecil untuk kemudian didorong menuju jantung, lalu keadaan jantung saya dapat terlihat dari layar monitor. Ketika diperlihatkan jantung sebelah kiri, dokter terkejut karena terdengar suara dari jantung itu. Selanjutnya, diperlihatkan sebelah kanan dan kembali terdengar suara yang sama. "Bagaimana Dok, kondisi jantung saya?" Sambil melepaskan selang kateter dari pergelangan tangan saya, dokter hanya menjawab singkat, "Bypass! Anda ketemu saya kembali nanti pukul 18.00."

Begitu mendengar vonis dokter agar menjalani operasi 'bypass', rasa takut saya kembali datang. Saya semakin takut saat ranjang saya mulai didorong oleh salah seorang asisten dokter yang menangani saya tadi. Sambil terus mendorong, dia menanyakan usia saya. "48 tahun," jawab saya. Wajahnya tampak terkejut begitu mendengar jawaban itu. Mungkin dia menduga saya sudah berusia lebih di atas itu. "Memangnya kenapa, Dok?" tanya saya ingin tahu. "Ah, tidak apa-apa, Pak." Mendengar jawaban seperti itu membuat saya bertambah takut.

Waktu menunjukkan pukul 18.00. Kami sekeluarga sudah berkumpul di ruangan dokter dan saya juga sudah dibawa ke ruangan tersebut. Terlihat wajah-wajah yang ingin tahu apa kira-kira hasil diagnosis dokter atas keadaan saya. Benar saja, anak saya yang pertama kalinya bertanya, "Bagaimana Pa hasilnya, apa kata dokter?" Melihat wajah mereka, saya jadi tidak tega mengatakan yang sebenarnya. Namun, dengan sepenuh hati saya katakan, "Papa harus 'bypass'." Bagai disambar petir, semua terkejut dan tidak percaya. "Tidak mungkin, gejala dan tanda-tanda sakit jantung saja Papa tidak ada. Mengapa sekarang malah mau di'bypass'?"

Begitu dokter datang dan membuka komputer, tampaklah di layar monitor jantung saya beserta pembuluh-pembuluh yang kecil dan rumit. Lalu, dokter mengatakan bahwa jantung saya ada yang buntu atau penyumbatan di delapan titik. Saya langsung bertanya, "Kalau ada buntu sebanyak itu, mengapa selama ini saya tidak merasakan sakit apa-apa dok?" Dokternya menjelaskan bahwa saya bisa sampai di tempat ini dengan kondisi yang baik tanpa ada gejala seperti orang sakit jantung umumnya, adalah karena (sambil jarinya menunjuk ke layar monitor) ada saluran baru telah terbentuk, yang menurut ilmu kedokteran saluran tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Ini jelas pertolongan dari Tuhan, dan seluruh peredaran darah saya mengalir melalui saluran baru tersebut. "Makanya, Bapak tidak merasakan sakit seperti orang sakit jantung pada umumnya. Dan, menurut saya, Bapak harus cepat-cepat di'bypass', sebab kalau terlalu lama dibiarkan saya khawatir saluran tersebut akan pecah dan tidak ada lagi jalan keluar."

Pada saat itu, saya masih belum menyadari bahwa segala kejadian itu adalah pertolongan dari Tuhan Yesus, dan saya diberi waktu sampai besok untuk memberi jawaban. Keesokan harinya, kami kembali ke rumah sakit, dan seperti biasanya kami menunggu giliran. Hari itu lebih ramai dari biasanya sehingga kami menunggu lebih lama, hingga saya tertidur di kursi ruang tunggu. Tiba-tiba, terdengar suara di telinga saya, "Tengoklah ke sebelah kananmu." Saya terbangun dan menoleh ke sebelah kanan seperti apa yang saya dengar. Saya amati satu persatu, ternyata di seberang ruangan tunggu ada satu pigura besar yang bergambar Tuhan Yesus. Saya berdiri dan berjalan ke arah pigura itu, sedangkan rombongan saya hanya terdiam sambil melihat apa yang saya lakukan.

Sesampai di depan pigura itu, saya pandangi gambar Tuhan Yesus, saya pandangi wajah itu hingga tiba-tiba saya menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli orang hilir mudik, saya tetap menangis sambil berkeluh kesah dengan Tuhan Yesus. Banyak kata yang saya curahkan hingga istri saya datang menghampiri sambil berkata, "Sudahlah Pa, ini semua rencana Tuhan dan di balik semua ini pasti ada rencana Tuhan yang indah."

Tangisan saya semakin menjadi, "Rencana indah yang bagaimana, sekarang saja saya sudah divonis jantung, 'kok' bisa-bisanya kamu omong bahwa ini adalah rencana indah?" seru saya. Namun, istri saya diam saja, dan rombongan kami hanya melihat dari kejauhan dengan wajah sedih, susah, dan sebagainya.

Tiba giliran saya untuk dipanggil. Setelah bergumul di dalam doa malam hari sebelumnya, akhirnya saya, istri, anak, dan menantu telah bersepakat dan menyetujui untuk saya melakukan operasi 'bypass'. Dokter pun memberi jadwal dan memberi obat untuk dua hari sebelum operasi dilaksanakan.

Keesokan harinya, menjelang operasi, saya mendapat sms dari rekan sepelayanan di FGBMFI yang isinya, "Sun, kamu habis marah sama Tuhan ya?" (nama mandarin saya Liem Gwan Soen). Saya tidak langsung mengiyakan, tetapi malah balik bertanya, "Apa maksudmu?" Ia kembali membalas, "Enggak tahu, Tuhan bilang sama saya bahwa kamu habis marah sama Tuhan, dan Tuhan memberikan ayat di Yesaya 37:28-29." Setelah membaca ayat tersebut, bulu roma saya berdiri dan langsung minta ampun pada Tuhan Yesus. Saya sadar bahwa Tuhan Yesus sudah banyak menolong saya selama ini, bagaimana Dia menyelamatkan anak saya yang ketiga dari kematian, bahkan kini selama operasi 'bypass' dilakukan, semuanya berjalan dengan lancar. Pada umumnya, operasi semacam itu bisa berlangsung kurang lebih 5 -- 6 jam, tetapi puji Tuhan, saya bisa menjalaninya hanya dalam waktu 4 jam dan hanya dalam waktu sembilan hari saya sudah boleh pulang ke Indonesia.

Sebenarnya, saya bukan seorang Kristen yang tulen, maksudnya sejak kecil sampai usia 33 tahun saya adalah seorang penyembah berhala. Ketika itu, istri saya sedang mengandung anak ketiga. Pada saat itu, sebenarnya Tuhan sudah berusaha memanggil saya untuk bertobat. Saya katakan demikian karena ketika sedang hamil muda hingga melahirkan, istri selalu menemui masalah dalam kandungannya. Salah satu contohnya, anak kami yang ketiga ini melalui diagnosis oleh dua orang dokter, scan USG maupun pengobatan tradisional dinyatakan laki-laki. Tetapi kenyataannya, begitu hari kelahirannya tiba ternyata anak kami lahir perempuan. Bagi saya, anak laki-laki atau perempuan tidak masalah yang penting sehat dan sempurna. Dalam kejadian tersebut, saya masih belum mengerti bahwa itu adalah keajaiban Tuhan.

Hari demi hari, kesehatan anak saya selalu saja bermasalah hingga usia dua tahun, dia sering kejang-kejang. Sudah bermacam-macam usaha saya lakukan, mulai ilmu kedokteran hingga pengobatan spiritual. Pada suatu hari, saya hendak berangkat kerja, tiba-tiba anak saya kejang-kejang, dan segera saja kami larikan dia ke dokter. Saat anak ketiga saya itu ada dalam gendongan saya, kejangnya berhenti dan sekujur tubuhnya membiru, tangannya jatuh lunglai seperti orang pingsan. Setelah saya amati dan saya periksa pernapasannya ternyata sudah tidak ada, dia meninggal. Begitu istri saya tahu bahwa anak kami sudah mati, dia menjerit histeris, saya bertambah bingung. Anak yang masih dalam gendongan itu, dalam kepanikan, segera saya bawa ke luar rumah dan masuk rumah lagi sampai tiga kali, dan tiga kali juga saya berseru, "Yesus, tolong saya!" Tiba-tiba, pada teriakan yang ketiga, anak saya yang tadinya sudah mati bisa bergerak lagi, dia hidup kembali!

Setelah kejadian itu, saya berpikir mengapa saya bisa memanggil nama Yesus? Entah dorongan dari mana saya bisa berseru seperti itu. Padahal, saya adalah orang yang paling tidak suka dengan orang Kristen. Saya hanya teringat satu hal, saya harus berterima kasih kepada Tuhan Yesus dan saya harus menjadi orang Kristen dan melayani Tuhan Yesus. Mukjizat Tuhan setiap hari saya rasakan, kami sekeluarga merasakan damai sejahtera dan sukacita dalam melayani Tuhan, baik itu pelayanan di gereja ataupun di dalam wadah FGBMFI. Hari ini, saya ingin berbagi berkat untuk Anda, jangan pernah main-main dengan Tuhan, sebab Dia tidak pernah main-main dengan kehidupan Anda dan Dia punya rencana yang indah bagi Anda.

Diambil dari:

Judul buletin : SUARA (Full Gospel Business Men's VOICE Indonesia), Volume 96 - 2009
Penulis : Stefanus Yanuar
Penerbit : Yayasan Persekutuan Usahawan Injil Sepenuh Internasional (PUISI), Jakarta
Halaman : 9 -- 14

"Mengucap syukurlah dalam segala hal sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu."

(1 Tesalonika 5:18)

Tinggalkan Komentar