Semua Kebagian

Beberapa tahun lalu, nenek saya menceritakan sebuah kisah tentang masa lalunya yang selalu saya ingat ketika hendak memberikan hadiah, terutama saat Natal. Saya ingat duduk di pangkuannya saat mata kecil dan gelap Sue Belle Johnson, nenek saya, menjelaskan betapa tak lama setelah pergantian abad, di tempat-tempat yang jauh dan terpencil di seluruh Amerika Serikat dan segala penjuru dunia, para misionaris dan keluarganya harus bekerja keras, terpisah dari keluarga, dan terisolasi dalam usaha mereka memberitakan Injil kepada orang-orang yang mungkin sebagian besar dari kita tidak akan pernah tahu atau lihat.

Mungkin perasaan terisolasi dan kesendirian mereka akan lebih terasa lagi saat Natal tiba. Untuk mengingat mereka pada hari Natal, tradisi pada masa itu adalah gereja-gereja mengirimkan apa yang disebut sebagai "kotak misionaris" kepada para misionaris di daerah-daerah terpencil.

Para misionaris dan istri beserta keluarga mereka akan membuat daftar hal-hal yang mereka inginkan untuk Natal. Bisa berupa pakaian, mainan, mungkin buku-buku atau perlengkapan rumah, atau apa saja yang benar-benar mereka butuhkan, tetapi tidak mampu mereka beli atau memang tidak dapat ditemukan. Daftar tersebut juga memuat usia setiap anak dan ukuran pakaian mereka.

Setelah selesai, daftar tersebut dikirim ke organisasi misionaris yang mensponsori mereka. Kemudian organisasi tersebut akan mengirimkan daftar tersebut ke sebuah gereja di mana jemaatnya kemudian akan berusaha untuk memenuhi daftar permintaan tersebut.

Gereja nenek saya yang ada di Hattiesburg, Mississippi, adalah salah satu gereja yang menerima daftar natal semacam itu. Suatu kali, daftar tersebut datang dari sebuah keluarga misionaris yang tinggal di daerah yang saat itu disebut Teritori Indian (daerah tempat tinggal orang Indian). Banyak perempuan yang tergabung dalam Kaum Ibu di gereja nenek yang memandang tugas untuk memilih sebuah barang dan membelikannya atau menyumbang uang, sebagai tugas kudus.

Pada hari yang ditentukan, semua barang yang diminta dibawa ke gereja, dan para ibu itu pun mulai memeriksa barang yang ada untuk dibandingkan dengan daftar, kemudian membungkus barang-barang tersebut dan memasukkan semuanya ke dalam sebuah kotak kayu yang besar. Kotak tersebut nantinya akan dikirimkan agar tiba di rumah sang misionaris, tepat saat Natal.

Tetapi, tidak semua orang di gereja nenek ikut bekerja sama. Sementara para kaum ibu menyiapkan kotak sang misionaris, salah seorang jemaat -- seorang ibu yang dikenal kaya -- masuk ke ruangan tersebut sambil membawa sebuah jas. "Saya membawakan jas bekas milik suami saya untuk diberikan kepada kalian," ujarnya santai. "Saya akan membelikan jas yang baru untuk suami saya."

Nenek gusar. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi pikirannya terus berkecamuk. Mereka semua telah berusaha keras untuk memenuhi daftar tersebut, bahkan sebagian dari mereka telah berkorban. Tetapi, ibu ini malah datang dengan segala kesombongannya. "Saya sangat kaya sehingga saya dapat membeli jas yang baru."

Semakin nenek memikirkan kesombongan ibu tersebut, semakin gusarlah perasaannya. Ibu itu "membersihkan" dirinya dari sesuatu yang menurutnya sudah tidak berguna, pikir nenek. Sikap natal macam apa itu? Amarah nenek bangkit terhadap jas dan ibu tersebut.

Keluarga misionaris tersebut tidak memasukkan jas dalam daftar mereka, dan para ibu pun tidak berniat memasukkan jas tersebut ke dalam kotak. Tetapi, sekalipun semua barang yang diminta telah dimasukkan, masih ada ruang kosong dalam kotak tersebut.

"Yah," ujar salah satu ibu, "kita masukkan saja jas ini. Dengan demikian, semua barang akan tersusun rapi dan tidak terlempar ke sana kemari yang dapat membuatnya pecah."

Jadi, mereka pun melipat jas tersebut, memasukkannya, dan menutup kotak. Kemudian mereka mengirimkan kotak tersebut kepada keluarga misionaris di Teritori Indian.

Beberapa minggu berlalu. Natal pun datang dan pergi. Kemudian, sebuah surat tiba di gereja. Itu adalah surat ucapan terima kasih dari keluarga misionaris yang ditulis oleh istri sang misionaris. "Teman-teman sekalian yang baik," ia memulai surat tersebut, "kami ingin berterima kasih atas kotak yang Anda kirim."

Kemudian istri misionaris itu menceritakan bagaimana ia dan suami beserta ketiga anaknya datang ke stasiun kereta untuk mengambil kotak tersebut, membawanya pulang, dan meletakkannya dengan posisi berdiri di tengah ruang keluarga di pondokan mereka yang kecil, sambil menantikan Natal. Anak-anak begitu bersemangat sehingga mereka menari-nari mengelilingi kotak tersebut, penuh pengharapan.

Kemudian, sehari sebelum Natal, badai salju datang. Badai tersebut semakin besar, dengan salju yang begitu tebal dan angin yang sangat menakutkan sehingga di luar terlihat seperti lautan putih. Beberapa saat sebelum makan malam, dalam badai, tiba-tiba ada orang yang menggedor pintu depan. Dan, saat sang misionaris membuka pintu untuk melihat siapa yang menggedor pintu, nampaklah seorang pria tua beruban yang menggigil karena suhu yang dingin. Tubuhnya penuh salju.

"Saya tersesat," ucap pria tersebut. "Dapatkah saya masuk sejenak?"

Sang misionaris pun menjawab, "Tentu saja. Masuklah!"

Setelah makan malam, sudah hampir tidak mungkin untuk menahan keinginan anak-anak membuka kotak tersebut. Tetapi, ibu mereka berhasil menidurkan mereka, menerangkan bahwa mereka harus menunggu lebih lama lagi, karena tidaklah sopan untuk membuka kotak, mengeluarkan semua hadiah, dan membagikannya selagi pria tua tersebut masih ada di rumah mereka. "Tidak ada hadiah untuknya," ujar Ibu, "Kotak tersebut hanya berisi barang-barang yang kita minta. Kita harus menunggu sampai bapak itu pergi."

Pagi harinya, Natal. Keluarga tersebut bangun dan menyadari bahwa badai belum mereda. Angin masih bertiup sama kencangnya dengan tadi malam. Ibu menyiapkan sarapan untuk setiap orang. Dan, setelah sarapan, mereka menanti-nanti badai berhenti agar pria tua tersebut dapat melanjutkan perjalanannya dan mereka pun dapat membuka kotak.

Hari telah siang, tetapi badai tak kunjung reda. Anak-anak sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Jadi, sang misionaris dan istrinya menerangkan kepada sang pria tua bahwa kotak tersebut telah disiapkan beberapa minggu sebelumnya dan berisi hadiah-hadiah natal yang hanya ditujukan bagi keluarga mereka. Sang misionaris dan istrinya meminta maaf sedalam-dalamnya. Dan, setelah sang pria tua berkata bahwa ia mengerti, sang misionaris pun membalik kotak tersebut dan mulai membuka bagian atasnya.

Keluarga tersebut pun mulai mengeluarkan satu persatu bingkisan-bingkisan yang mereka pinta sesuai daftar natal. Setiap bingkisan telah diberi tanda, jadi mereka tahu milik siapa bingkisan tersebut. Setiap orang sangat senang. Pakaian-pakaian, mainan, semua tepat sesuai permintaan setiap anggota keluarga. Semua sangat senang dan gembira, sementara sang pria tua hanya duduk dan memerhatikan.

Akhirnya mereka sampai ke bagian bawah kotak. Di situ, tepat di ujung paling bawah kotak, yang berada di paling atas saat para ibu menyiapkannya, terdapat sebuah barang yang tidak dikenali keluarga tersebut. Itu adalah barang yang tidak mereka minta. Ketika sang misionaris memasukkan tangannya dan mengeluarkan barang tersebut, ia tahu bahwa itu adalah sebuah jas pria. Ia mengangkatnya. Sepertinya ukuran jas tersebut cocok untuk sang pria tua. "Cobalah!" Sang pria tua mengambil jas tersebut dan mengenakannya. Ukurannya sangat tepat. "Jas ini pasti memang untuk Anda," ujar sang misionaris sambil tersenyum.

"Bagaimana Anda semua bisa tahu?" sang istri misionaris mengakhiri suratnya, "bahwa kami akan memerlukan sebuah jas pria untuk Natal? Terima kasih banyak!"

Pada saat nenek selesai membaca surat tersebut, ia berkata dirinya hampir pingsan dalam kekaguman. Jas terbuang yang memerlukan pemilik baru telah menemukannya. Seorang pria tua yang memerlukan jas penghangat telah memerolehnya. Sebuah keluarga yang telah menerima seseorang yang tersesat dan membutuhkan hadiah khusus telah disediakan. Semua itu terlalu dahsyat. Tuhan telah mewujudkan sebuah mukjizat melalui sebuah hadiah yang nenek kira tidak berharga.

Setelah usai bercerita, nenek menggenggam tangan saya dan berkata, "Hari itu nenek belajar bahwa nenek telah salah, dan nenek tidak boleh meremehkan sebuah hadiah yang dapat digunakan Tuhan."

Saat Natal kembali menjelang, saya mengingat kembali kisah nenek. Saat saya memilih hadiah-hadiah untuk diberikan pada Natal kali ini, saya berharap bahwa hadiah-hadiah tersebut akan membuat para penerimanya bahagia dan saya bangga memberikannya. Tetapi, lebih dari semua itu, saya berdoa agar apa pun hadiah tersebut, bagi siapa pun hadiah tersebut, ia akan benar-benar menjadi hadiah yang dapat dipakai oleh Tuhan.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Guideposts bagi Jiwa: Kisah-Kisah Iman Natal
Judul asli buku : Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith
Penulis : Jacqueline Hewitt Allen
Penerjemah : Mary N. Rondonuwu
Penerbit : Gospel Press, Batam 2006
Halaman : 18 -- 26
Kategori: 

Tinggalkan Komentar