"The Bulldog"

Gambar: KISAH_bulldog.jpg

Saya (Dr. Stephen Abdul Ganiyu Adewale) dilahirkan pada 9 Agustus 1965 dalam keluarga poligami, sehingga saya selalu kebingungan saat harus menjelaskan hubungan keluarga saya kepada saudara saya yang lain. Itu terjadi karena saya lahir bukan dari latar belakang Kristen, namun penentang kekristenan. Saya anak sulung dari dua puluh bersaudara dalam satu ayah. Ayah saya adalah seorang polisi yang selalu ditempatkan di daerah yang berbeda-beda sesuai tugas, sehingga hidup saya selalu berpindah-pindah, tidak pernah menetap. Dengan adik yang banyak dan hidup yang berpindah-pindah, saya hidup dalam situasi ekonomi yang sangat sulit. Sekolah tidak pernah tetap, bisa tiap tahun saya berpindah sekolah. Ayah biasa menitipkan saya pada kenalannya karena tidak mampu mengurusi saya. Kenalan-kenalan ayah tersebut jelas tidak menyayangi saya karena hanya terpaksa saja menerima saya.

Saya pernah tinggal dengan seorang ibu yang memiliki usaha kantin. Saya dipaksa bekerja sendirian dalam memasak, melayani tamu, sampai mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mungkin alasannya mau menerima saya adalah karena ia mendapatkan pekerja tanpa harus membayar. Saat ayah harus pindah lagi, kali ini saya dititipkan pada temannya yang seorang tukang roti. Saya mendapatkan perlakuan yang lebih buruk dari sebelumnya, ia sering memukuli saya hanya untuk melampiaskan kemarahannya. Saya harus mengalami kerja paksa; bangun pagi-pagi sekali, sampai hari menjelang siang, ia baru membiarkan saya pergi sekolah. Karena sudah terlalu siang, saya tidak berani masuk sekolah. Saya hanya berputar-putar di sekitar sekolahan sambil bersembunyi, takut mendapat hukuman dari sekolah. Hal ini tentu saja membuat saya tidak naik kelas. Sebaliknya, saya malah masuk dalam pergaulan yang salah.

Semua itu saya lakukan dengan sungguh-sungguh dan bersukacita.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Keterlibatan saya yang semakin jauh dalam pergaulan geng, membuat masa depan saya semakin kelam. Saya melakukan segala macam kejahatan geng, mulai dari pemerasan, teror, pencurian, sampai perampokan. Di kalangan kriminal, saya cukup ditakuti. Mereka menjuluki saya "Bulldog". Itulah panggilan saya sehari-hari -- punya banyak musuh. Saya dikejar-kejar polisi dan masuk dalam daftar pencarian orang, sehingga saya harus melarikan diri berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Kadang saya juga takut dosa kalau teringat agama. Walaupun saya orang jahat, saya masih rajin bersembahyang seperti yang agama saya ajarkan. Untuk itu, saya mencoba bertobat; berhenti melakukan hal jahat dan melakukan pekerjaan lain yang baik. Saya melakukan pekerjaan apa saja, mulai dari kondektur bus, pekerja bangunan, pemotong kayu, buruh kasar, dan sebagainya.

Namun, hidup sepertinya tetap tidak berpihak pada saya, pekerjaan-pekerjaan tersebut tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan saya. Untuk makan, saya masih sering kelaparan. Hanya untuk mengganjal perut, saya sering makan dedaunan atau minum air mentah yang banyak sampai perut saya terasa penuh. Saya tidak tahan lagi. Suatu hari, saat saya kembali merampok sebuah toko, rupanya ada yang melihat dan melapor polisi. Polisi langsung mengepung tempat itu dan mencari-cari saya. Untungnya saya masih sempat lolos dan lari sejauh mungkin. Dalam pelarian, saya hidup luntang-lantung dan kelaparan, namun saya tidak mau berbuat jahat lagi. Suatu hari, saya melewati halaman sebuah sekolah Kristen. Di balik pagar sekolah itu, saya mendengarkan murid-murid yang sedang berlatih paduan suara. Begitu indahnya lagu yang mereka nyanyikan, saya berdiri diam di sana dan menikmati nyanyian itu. Ada sebuah kedamaian meresap ke dalam hati saya.

Saya keluarkan sebuah kitab Injil kecil yang kumuh dan lusuh dari balik baju saya. Kitab kecil itu adalah pemberian seorang teman saya waktu bekerja dahulu. Menurutnya, itu adalah harta yang paling berharga baginya, dan dia memberikan pada saya karena katanya buku itu bisa melindungi saya. Bahkan, ia mengajarkan beberapa doa dari kitab Mazmur, katanya untuk perlindungan dan kekuatan. Memang saya masih rajin bersembahyang, namun kadang-kadang saya tergoda untuk berdoa dengan cara teman saya karena merasakan kemanjuran dari doa-doa tersebut. Saya merasakan pikiran saya menjadi lebih tenang dan memiliki kekuatan untuk tetap bertahan. Kemudian, saya naik gunung, menyendiri, berdoa, dan bertapa. Hal ini biasa dilakukan oleh orang pemeluk agama saya untuk mencari pencerahan. Saya minta petunjuk atas hidup saya yang tidak pantas dijalani ini. Berdoa dengan tasbih, mengulangi doa-doa yang sama. Namun, terkadang saya membaca Injil dan turut berdoa dengan kalimat-kalimat dalam Mazmur.

Saya merasa mendapatkan kekuatan karena doa-doa itu, dan kemudian turun gunung. Saya menumpang pada seorang Kristen yang saya kenal begitu saja di jalan. Dia begitu baik, menyediakan segala yang saya perlukan setiap hari. Suatu hari, tanpa sengaja saya pergi mengikuti kebaktiannya. Saya pikir tidak ada salahnya, toh saya juga sudah membaca Mazmur dan doa-doa dalam kitab itu juga sudah menjadi doa saya. Namun kemudian, yang terjadi tidak disangka-sangka, ada semacam aliran yang terasa begitu hebat menjamah saya. Saya bertobat dan menyerahkan hidup saya pada Kristus. Setelah itu, saya kembali ke kampung halaman. Karena tidak enak pada saudara-saudara, saya tetap meneruskan sembahyang dengan cara mereka, walaupun saya gelisah dan tidak menemukan damai saat melakukannya. Saya masuk dalam pergumulan yang berat, mana yang harus saya pilih, keyakinan saya yang lama atau Kristus? Bermalam-malam saya tidak bisa tidur dan terus memikirkannya.

Sampai suatu malam saya bermimpi. Mimpi itu jelas sekali. Saya bermimpi ada di sebuah persimpangan dengan banyak jalan. Saya kebingungan dan menimbang-nimbang, jalan mana yang harus saya pilih? Ada sesuatu mendekati saya, walau saya tidak dapat melihat wujudnya, namun saya dapat mendengar suaranya. Ia berkata, "Ikutlah jalan ke mana engkau telah mulai melangkahkan kakimu ke situ, dan kau akan melihat ke mana jalan itu akan membawamu." Saya mematuhi suara itu dan mulai berjalan. Walaupun saya tidak melihatnya, saya tahu Ia mengikuti saya. Tidak lama kemudian, saya tiba di sebuah tempat yang sangat indah, tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Saya katakan pada sosok itu, saya ingin tinggal di tempat yang indah itu dan tidak ingin kembali lagi. Ia menjawab, "Terserah padamu untuk memilih datang ke sini atau tidak, tapi untuk sekarang, mari kita pergi." Dan saya pun terbangun dari mimpi itu.

Saya mulai berdoa, Tuhan saya ingin sampai di tempat itu dan tinggal di sana, apapun yang terjadi. Perjumpaan saya dengan Kristus telah membulatkan tekad saya. Orang-orang sekitar saya mulai mengetahui perubahan keyakinan saya dan mereka mulai membenci, melecehkan, dan menindas saya. Hal itu juga sampai ke telinga ayah, dan ia pun memanggil saya. Walaupun takut, saya memberanikan diri menjumpainya. Ia bertanya, apa betul apa yang telah ia dengar, apa ada yang salah dengan saya? Saya katakan padanya betul, saya telah berjumpa dengan Yesus. Reaksinya akan jawaban saya, sudah saya duga sebelumnya. Ia menjadi sangat marah dan memukuli saya, kemudian mengusir saya keluar dari rumah. Sambil bersumpah, siapapun yang menerima saya menumpang di rumahnya, ia akan membakar habis rumah tersebut. Pada kemudian hari, ia mengurus di pengadilan dan menyatakan saya secara resmi bukan anaknya lagi.

Selama setahun, saya menjadi tunawisma dan bekerja apa saja untuk memperoleh makan. Namun, kali ini lebih sulit daripada yang dahulu. Semua orang yang saya kenal tidak mau menerima saya, bahkan kalau tidak kenal pun, ayah saya akan datang pada pemilik usaha itu dengan seragam polisinya, memerintahkan agar saya segera dikeluarkan. Pengusaha itu pasti mengikuti perintah ayah saya karena dia tidak mau terlibat masalah. Bila itu terjadi, saya hanya tersenyum. Saya tahu semua yang terjadi ini hanya sementara, dibanding nanti saya akan tinggal selamanya di tempat indah yang telah saya lihat itu. Saya mencoba menumpang pada sebuah gereja dan saya mau melakukan apa saja asal diberikan tempat berteduh. Walau awalnya curiga, mereka mau menerima saya. Hidup saya berpindah-pindah dari satu jemaat ke jemaat lain. Saya tak mau menetap dan mendatangkan masalah pada keluarga di mana saya tinggal karena ayah mungkin akan mendatangi mereka. Saya melakukan apa saja untuk menolong mereka tanpa dibayar, asal mendapat tempat berteduh dan sedikit makan -- memotong rumput, membelah kayu, membangun rumah, dan berbagai macam pekerjaan kasar yang lain. Semua itu saya lakukan dengan sungguh-sungguh dan bersukacita.

Dalam waktu beberapa tahun, saya mulai dikenal baik oleh jemaat gereja tersebut sebagai seorang Kristen muda yang rajin dan sungguh-sungguh. Para jemaat menjadi tertarik untuk membiayai sekolah saya -- mereka bergantian membiayai saya. Yang satu memberikan biaya masuk, yang lain biaya buku-buku, yang lain lagi biaya ujian, begitu seterusnya. Dan Tuhan sungguh baik, tiap kali saya memerlukan sesuatu, Dia menyediakan tepat pada waktunya. Anugerah ini sungguh tidak saya sia-siakan, walaupun saya begitu bodoh dan ketinggalan jauh sekali dalam pelajaran, Tuhan membantu saya menjadi mudah mengingat semuanya. Saya menjadi berprestasi, lulus dengan baik, bahkan kemudian universitas meminta saya sebagai dosen di tempat itu. Saya yang begitu bodoh, telah Tuhan buat menjadi pengajar orang lain. Lihat apa yang telah Tuhan Yesus lakukan dalam kehidupan saya. Ia telah menggenapi firman-Nya dalam Mazmur, kitab kecintaan saya. Banyak buku yang sudah saya tulis telah diterbitkan dan dibaca kalangan luas, sekali lagi itu bukan kepintaran saya, melainkan hikmat dari Tuhan.

Saya dihormati di kalangan petinggi dan raja-raja, persis seperti yang dikatakan dalam Mazmur. Semuanya datang begitu saja, penghargaan-penghargaan itu saya gantung berderet di dinding rumah, bukan untuk memegahkan diri, melainkan untuk menjadi kesaksian, bagaimana seorang pengemis dan penjahat yang hancur dan tidak punya harapan seperti saya, Tuhan angkat tinggi menjadi seperti sekarang. Terpujilah nama Tuhan Yesus.

Download Audio

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama majalah : VOICE Indonesia, Edisi 86, Tahun 2006
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Communication Department -- Full Gospel Business's Men Fellowship International -- Indonesia: Yayasan Usahawan Injil Sepenuhnya Internasional (PUISI), Jakarta 2006
Halaman : 17 -- 21
Kategori: 

Tinggalkan Komentar