Aset Miliaran Hilang Keselamatan Kekal Aku Peroleh
Saya sangat depresi. Stroke mengantar saya bolak-balik ke rumah sakit. Biaya rumah sakit yang mencapai ratusan juta rupiah makin membuat saya tertekan. Uang yang saya cari dengan susah payah cuma disetor ke rumah sakit. Karena itu, saya merasa nggak berguna, bikin susah suami dan anak-anak. Obsesi saya menjadi pengusaha terkemuka di bidang perkebunan hancur. Tiba-tiba saya terpikir lebih baik mati. Bunuh diri! Saya mencoba berulang kali tapi gagal. Beberapa tahun kemudian saya bisa mengucap syukur karena Tuhan menjagai jiwa saya." kisah Ruth Yulianti Naftali (57 th). Ia adalah mantan pemilik Taman Rekreasi, Perikanan, Pertanian Tirto Unggul Semarang, istri Eddy Soesanto, bos Hosana Record.
Obsesi: Sukses dan Makin Kaya
Sore hari usai dari perkebunan Ruth bergegas pulang. Mobil pick up bak terbuka yang dikendarainya bermuatan jagung manis yang segera dikemas untuk dikirim ke supermarket. Sebenarnya sangat mudah bagi Ruth, melimpahkan pekerjaan itu kepada karyawan tetapi ia memilih melakukan sendiri.
Ruth pekerja keras. Saking doyan kerja, kadang ia tak pulang, tidur di mes karyawan di perkebunan. Padahal ia tidak hanya pengelola lahan seluas 12 hektar dengan aset 7M, tapi ia juga pemiliknya. Sementara Eddy mengurus Percetakan Indraprasta Offset sambil merintis perusahaan rekaman, Hosana Record.
Sampai di rumah, Ruth mandi. Kelelahan yang telah bertumpuk selama berhari-hari akan dihempaskan di tempat tidur. Namun belum sampai terbaring, badan Ruth tiba-tiba terhempas di lantai dan pingsan. "Tahun 1989 itulah stroke pertama saya. Saya dilarikan ke RS Telagareja, Semarang," kenang Ruth, ibu Maria Dewi Anggriani dan Magdalena Dewi Kartika serta nenek dua cucu.
Setelah hampir satu bulan di ruang ICU, kondisi Ruth belum juga membaik. Ruth pulang, memilih berobat jalan. Beberapa lama setelah terapi, meski belum sempurna ia kembali bekerja, memimpin berbagai bisnis di tanah yang sangat luas itu. "Untuk mengurus perkebunan itu, saya dibantu tenaga ahli lulusan Universitas Kristen Satya Wacana. Kami menanam buah dan sayur-sayuran dari Taiwan seperti durian montong, semangka kuning, melon, pare putih, dan lain-lain. Kala itu, buah dan sayuran tersebut sangat langka. Saya juga membuat arena pemancingan berhadiah mobil dan motor. Kalau malam minggu, ada hiburan dangdutan dengan tiket masuk. Saya juga membangun tempat bermain anak-anak. Karyawan saya banyak, sekitar 300 orang, daripada uang makan karyawan lari ke orang lain, saya juga membuat rumah makan. Jadi uangnya kembali ke saya. Dalam pikiran saya, duit, duit, duit. Apa yang bisa jadi duit, saya kerjakan. Saya ingin lebih sukses. Waktu itu, saya benar-benar mendewakan uang."
Kepada kedua anaknya, Ruth juga kerap jengkel kalau hari Minggu mereka terlalu lama di gereja. "Saya suka bilang begini, "perkebunan ini masa depanmu, bantu mama, ikut kerja." Saya sendiri kerap meningalkan kebaktian kalau kotbah terlalu lama. Padahal saya anak pendeta. Pikiran saya terus ke pekerjaan, pokoknya ngitungi duit terus."
Sebenarnya, kala itu, banyak orang yang memerhatikan kesibukan Ruth. Selain keluarga, Pdt. Ir. Timotius Subekti dan istrinya, Ibu Susan, kerap menasihatinya. "Dari bangun tidur sampai mau tidur, di pikiran saya cuma kerjaan, kerjaan, kerjaan. Uang!"
Setengah tahun kemudian, stroke kembali menyerang. Kala itu, Ruth sendirian menyetir mobil membawa uang puluhan juta untuk membebaskan tanah. Ia kemudian dirawat di RS Elisabeth Semarang. Stroke kedua ini terasa lebih berat. Untuk penanganan lebih baik, Ruth dibawa berobat ke ahli saraf, dr. Sidarta Gautama di Jakarta. Dengan setia, Eddy mengantar Ruth, bolak-balik Semarang-Jakarta untuk pengobatan.
Eddy, sang suami yang mendampingi Ruth berobat ke Jakarta mau tidak mau kerap meninggalkan bisnisnya di Semarang. Akibatnya, pekerjaan tak terurus dengan baik. Lambat laun, situasi ini berpengaruh pada keuangan perusahaan. Karena itu, mereka memutuskan untuk pindah ke Jakarta supaya lebih irit.
Merasa Tak Berguna
Pelan-pelan ada perasaan bersalah dan tak berguna menyusupi hati Ruth. Ada kemarahan yang menggumpal. Kenapa sakit? Bukankah itu cuma menghabiskan uang? Gara-gara stroke, obsesi Ruth pada bisnisnya kandas. Ambisinya terkurung pada kursi roda yang dipakainya. "Saya nggak bisa apa-apa lagi, ke kamar mandi saja perlu bantuan suster, suami atau anak. Saya betul-betul merasa hidup saya nggak ada gunanya."
Ketika situasi keuangan makin memburuk, Ruth mengurung dirinya. Ia menolak bertemu dengan keluarga besar termasuk ayahnya, Pdt. Caleb Naftali dan tante Minarsih yang selama ini seperti kakak baginya. "Jangankan ketemu, terima telepon dari mereka saja, saya tidak mau. Jika saya sudah kembali kaya saja baru mau ketemu. Saya memendam rasa malu karena bangkrut."
Tahun 1994, keadaan Ruth semakin berat, ia tidak bisa jalan dan tidak bisa bicara. Tanah miliknya, seluas 12 hektar disita oleh bank. "Saya ingin mati dan saya harus mati agar beban keluarga tidak semakin berat. Terbesit dalam pikiran untuk bunuh diri! Maka setiap kali pergi ke dokter, saya selalu minta valium dengan alasan susah tidur. Obat itu saya kumpulkan di dalam sarung bantal bersama dengan obat lain. Saya akan minum obat-obat itu sekaligus, biar mati. Saya merasa nggak ada lagi gunanya hidup, cuma merepotkan suami dan anak-anak. Uang habis gara-gara saya".
Niat bunuh diri tak lagi dapat dibendung. Ketika di kamar tidak ada seorang pun yang menjagai, Ruth nekat. Ia telan puluhan obat itu. Huppp! sebagian berhasil masuk, sebagian lagi berserakan di lantai.
Beberapa saat kemudian, Eddy memergoki tindakan nekat istrinya. Kembali lagi, Ruth dilarikan ke RS, jiwanya masih tertolong. "Saya makin jengkel, nggak jadi mati malah masuk rumah sakit. Berarti uang keluar lagi. Saya tambah geram."
Eddy menghubungi Pdt. Erastus Sabdono yang kemudian datang menengok Ruth. Ia melayani dengan memberi pandangan Alkitab tentang bunuh diri. "Pak Eras membimbing saya berdoa, minta ampun pada Tuhan untuk tindakan saya ini".
Perasaan gagal yang mendera batinnya seolah menebas kata-kata penguatan itu. Ruth masih ingin mati! "Saya harus mengakhiri hidup. Kami sudah jatuh miskin, kalau saya terus sakit bagaimana? Saat di kamar sendiri, saya mencoba memotong urat nadi tangan kiri tapi lagi-lagi tindakan saya ketahuan, saya dibawa ke rumah sakit dan tertolong. Lain waktu, saya menghentakan badan saya di kursi roda dengan harapan terlempar dan jatuh ke lantai bawah dan mati, itu juga gagal ."
Menemukan Sahabat
Banyak hamba Tuhan dari berbagai gereja mendoakan Ruth. "Tapi saya sangat tertutup. Tidak mudah berbagi beban. Saya pikir untuk apa cerita, tidak berguna." Suatu kali, Ruth berkenalan dengan Tata, teman Eddy, seorang guru sekolah Kalam Kudus. Seperti biasanya, Ruth tidak terlalu menanggapi bahkan cenderung curiga.
Suatu siang, Tata datang ke rumah. Ruth biasa-biasa saja, dingin. "Mungkin karena saya tidak ramah, ia segera pulang. Waktu dia pergi, saya mikir kok saya ini angkuh banget sama orang. Saya makin tersentak, ketika tahu dari suami bahwa Bu Tata berasal dari keluarga berduit, suaminya Vice President perusahaan besar. Jelas ia tak punya maksud tertentu. Lagian apa yang ia harapkan? Saya sudah jatuh miskin."
Tata sering sekali menghibur, berdoa bahkan menyanyi di telepon. Tata melakukannya dengan tekun dan sabar. Ruth merasakan ketulusan hati Tata, lambat laun Ruth seperti menemukan sahabat. Pelan-pelan hati Ruth terbuka, tersentuh oleh kuasa Tuhan. Ruth mulai mau pergi kebaktian dan aktif di kebaktian wanita. Firman yang didengar melelehkan kebekuan hati. Ia berdamai dengan dirinya sendiri dan orang-orang yang dihindarinya.
Awal tahun 1996, Ruth sembuh total. Ada Yang lebih istimewa dari kesembuhan jasmani yaitu hati saya telah sembuh. Saya telah melihat Tuhan dan menerima-Nya. Saya sudah mulai bisa mengucap syukur atas keajaiban Tuhan, berkali-kali lolos dari maut padahal yang saya lakukan sangat bahaya. Tante saya pernah bilang tentang doa papi saya untuk saya, Tuhan kalau mau ambil hartanya ambillah tapi tolong Tuhan jagai jiwanya. Doa itu terjawab. Benar juga, untuk apa memiliki seluruh isi dunia tapi jiwa tidak selamat?
Bisnis sambilan Eddy, yaitu recording, di luar dugaan, malah bersemi dan tumbuh meski juga mengalami pasang surut. "Itu tidak pernah kami sangka. Dulu Eddy melakukan itu karena hobi. Malah dari situlah, Tuhan memberi berkat-Nya," tutur Ruth tersenyum merendah.
Hidup Ruth bersama Tuhan sangat berharga, jauh lebih berharga dari hektaran tanah yang pernah dimilikinya.
Judul buku | : | Karena Dia |
Judul Kisah/Kesaksian | : | Aset Miliaran Hilang Keselamatan Kekal Aku Peroleh |
Penulis | : | Niken Maria Simarmata |
Penerbit | : | ANDI |
Halaman | : | 21 - 30 |