Bertekad Untuk Berubah
Pada tahun 70-an, pekerjaan ayah saya (S) hanyalah seorang kondektur bus antar kota di daerah kami. Karena keadaan ekonomi keluarga kami pada waktu itu sangat memprihatinkan, saya terpaksa berhenti sekolah lalu membantu orangtua untuk mencari nafkah dengan berjualan nasi dan kue. Pada Februari 1971, saya mulai menjual nomor toto PON yang diundi setiap malam. Mula-mula, saya hanya mengedarkan ke tetangga-tetangga terdekat. Pada hari berikutnya mulai berkembang hingga ke daerah-daerah lain. Ketika saya menjadi agen, omsetnya sudah semakin meningkat dan penghasilannya pun semakin bertambah besar. Tetapi kehidupan saya justru semakin jatuh dalam berbagai dosa. Pada suatu hari, saya pernah terlambat menyetorkan kupon-kupon tersebut kepada bandar. Akibatnya, saya harus menjadi bandar sendiri. Keesokan harinya saya malah mendapat untung besar. Sejak peristiwa itu, saya mengambil keputusan untuk menjadi bandar toto PON. Agar mendapat untung yang besar, saya selalu berkonsultasi dengan paranormal ataupun dukun-dukun yang terkenal, dan mereka membekali saya dengan ilmu hitam.
Sekitar tahun 1974, ketika saya membandari putaran nomor undian yang dikeluarkan melalui siaran radio setiap malam pukul 24.00 WIB, ternyata banyak di antara langganan yang memasang nomor undian tersebut mendapat nomor pemenang. Sebagai bandar, saya harus membayar nomor-nomor yang menang itu. Tetapi karena terlalu banyak di antara mereka yang mendapat nomor sebagai pemenang, mengakibatkan saya tak mampu membayar mereka. Secara diam-diam saya melarikan diri ke Jakarta. Setelah sempat bingung dan tidak tahu apa yang dilakukan, saya sepakat dengan seorang teman untuk mengontrak sebuah rumah petak yang terbuat dari bilik bambu yang berada di pinggir rel kereta api di Jelambar, Daan Mogot. Setelah dua bulan tinggal di bedeng tersebut, uang saya mulai habis. Untuk memenuhi tuntutan perut yang tidak bisa di tunda lagi, akhirnya saya bekerja sebagai kuli bangunan, dengan gaji Rp. 400 per hari.
Hidup di Jakarta dengan gaji seperti itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan saya setiap hari. Karena itu setelah bekerja, saya bergabung dengan teman-teman di proyek dan para gelandangan ataupun preman-preman di Grogol untuk menggarap pekerjaan sampingan. Pada mulanya saya hanya berpura-pura meminjam korek api, lalu meminta rokok, kemudian meminta jam tangan dan dompet, hingga semua miliknya. Kalau ia tidak memberikan, kami tidak segan-segan menusukkan pisau yang sudah ditempelkan diperutnya. Pada November 1974, adik saya datang menemui saya untuk mengajak kembali ke kampung halaman. Setibanya saya di Cepu, para pemasang nomor undian yang pernah menang taruhan dan tidak saya bayar tersebut, ternyata tidak mempersoalkan hal itu lagi, maka saya mulai bekerja kembali sesuai profesi yang dulu.
Pada bulan Januari 1975, ketika saya berada di Surabaya, saya bertemu dengan seorang gadis yang akhirnya menjadi istri saya. Ketika istri saya mengandung anak kami yang pertama, istri saya selalu memperingatkan agar saya meninggalkan pekerjaan kotor tersebut. Tetapi karena hidup saya masih dipenuhi oleh kuasa gelap, maka nasihat apa pun dari istri saya tidak pernah saya hiraukan. Pada suatu hari, ketika saya kembali ke rumah di pagi hari, saya tidak menemukan istri saya di rumah. Setelah saya mencarinya, ternyata dia berada di rumah orangtuanya. Saya kemudian mengajaknya pulang ke rumah kami di Padangan. Sejak saat itulah saya kasihan melihatnya dan saya mulai berubah serta mulai pergi ke gereja bersamanya.
Ketika anak pertama kami lahir pada Januari 1976, seorang saudara meminta saya datang ke Jakarta untuk bekerja. Tidak berapa lama kemudian setelah saya, istri, dan anak saya datang ke Jakarta, ternyata lowongan pekerjaan yang dijanjikan itu sudah dimasuki oleh orang lain. Selama dua tahun kami tinggal di rumah saudara tersebut, saya bekerja sebagai buruh di pabrik keramik dan kami dikaruniai seorang anak lagi. Kebutuhan sehari-hari kami semakin meningkat, tetapi perusahaan tidak menepati janji untuk mengangkat saya menjadi pegawai tetap dan menerima gaji lebih baik. Agar tidak merepotkan saudara tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke kampung.
Pada bulan Januari 1980, saya kembali ke Jakarta untuk bekerja di proyek Senen lantai IV, toko funiture. Ketika teman-teman menghantar saya berangkat ke Jakarta dan salah seorang teman memberikan secarik kertas yang di dalamnya tertulis, "Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Setelah tiga bulan bekerja, saya menjemput istri dan anak-anak saya datang ke Jakarta untuk berkumpul bersama. Sejak saat itu saya "bertekad untuk berubah". Melalui proses yang berat dan panjang, saya mulai meninggalkan dosa-dosa saya di masa lalu, serta mulai setia beribadah kepada Tuhan. Pada 1982, saya dibaptis dan menerima Yesus sebagai Juru Selamat saya -- Ia tidak hanya memulihkan rumah tangga saya tetapi juga memberikan pekerjaan baru dengan gaji yang cukup.
Pada tahun 1989, saya mengundurkan diri dari perusahaan dan Tuhan membimbing saya untuk memulai sebuah usaha. Walaupun tempat usaha itu masih mengontrak, namun Tuhan telah memberkati saya dengan luar biasa. Pertumbuhan iman saya berkembang dengan baik. Pada Desember 1996, seorang teman mengundang saya menghadiri Christmas Dinner yang diselenggarakan di Hailai Restaurant, Jakarta. Melihat teman-teman pengusaha yang turut mengambil bagian dalam acara tersebut, hati saya semakin dikuatkan untuk lebih setia melayani Tuhan. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, hal itu membawa dampak negatif bagi usaha saya. Sejak bulan Agustus 1997, tagihan-tagihan saya mulai macet sehingga kegiatan usaha mulai menurun. Tetapi kejadian itu tidaklah membuat saya menjadi lemah, malahan membuat saya semakin giat membantu melayani Tuhan.
Pada Agustus 1998, ketika sedang mempersiapkan sebuah acara outreach dinner di Kelapa Gading, salah seorang pelanggan kami yang pernah membayar tagihannya dengan cek kosong, meminta saya untuk datang ke kantornya. Ternyata hari itu cek kosong tersebut sudah dapat dicairkan. Begitu juga dengan tagihan-tagihan yang lain. Dalam waktu empat bulan, hampir semua pelanggan kami membayar tagihannya tepat waktu, sehingga saya bisa melunasi hutang-hutang saya di Bank dengan tepat waktu juga.
Diambil dan disunting seperlunya: | ||
Judul majalah | : | SUARA, Edisi 69, Tahun 2003 |
Penulis | : | KM |
Penerbit | : | Communication Department Full Gospel Business Men's Fellowship International - Indonesia |
Halaman | : | 18 -- 21 |