Jalan Itu Sukar Namun di Tempuhnya

Esok harinya ia bangun dipenuhi semangat baru setelah ia mengadukan seluruh persoalannya kepada Tuhan.

Di kesunyian pagi yang nyaman, ia telah mengeluarkan segala kepedihan hatinya yang terluka karena fitnah. Dan Tuhan telah mengulurkan tangan-Nya sehingga kasih-Nya yang besar telah membilur luka hatinya. Kemudian tahulah ia apa yang harus dilakukannya menghadapi fitnah itu.

Membantahnya hanya akan sia-sia. Di kantor tempatnya bekerja terlalu banyak rekan-rekan "Senior" yang iri padanya, dan yang merasa lebih berhak mendapat kedudukan yang kini dipegangnya. Mengadu pada atasan juga tak ada gunanya. Tindakan yang mungkin akan di ambil oleh Pak M, majikannya itu tentu malah akan menambah kebencian dan iri hati mereka. Masakan seorang pegawai baru lebih dibela daripada mereka, para "Senior"? Ini malah bisa dijadikan senjata mereka: percaya tidak, bahwa antara Pres Dir dan dia, memang ada "main?" Kalau tidak, mana mungkin seorang sekretaris biasa begitu cepat menanjak kariernya lalu diangkat menjadi sekretaris pribadi Pak M, Presiden Direktur perusahaan itu.

Tidak, ia tidak berniat untuk melawan mereka itu. Ia akan menuruti bisikan di pagi yang hening tadi yang telah menurunkan ketenteraman dalam hatinya bagaikan butir-butir embun teduh membasahi tanah panas gersang.

Oh, tentu ia akan kehilangan penghasilannya yang sampai ratusan ribu rupiah itu. Tetapi benar-benar harta di dunia begitu pentingnya sehingga ia perlu mempertahankannya dengan segala siasat dan isu-isu balasan? Malah mungkin perlu juga balas memfitnah?

Ia terlalu takut kepada Tuhan. Lagi pula ia tahu ia tak akan punya kemampuan untuk mengatur siasat-siasat licik. Mustahil baginya untuk menggunakan segala macam siasat gelap yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Tidak, ia yakin sedalam-dalamnya bahwa apa yang akan dilakukannya adalah benar di mata Tuhan. Apapun yang akan terjadi nanti ada di tangan Tuhan. Pasti Ia tak akan meninggalkan dirinya. Ia akan senantiasa mengutamakan menyertai orang yang lebih mengutamakan kesucian hatinya daripada gaji yang ratusan ribu.

Begitu ia masuk kantor, ia mulai mengetik suratnya:

"Bapak M yang terhormat,

Dengan sangat menyesal, bersama dengan ini saya mengajukan permohonan berhenti dari perusahaan ini terhitung dari tanggal ...."

Selesai menulis surat itu, ia tertegun, sebuah senyuman agak pahit mengulum di sudut bibirnya. Biarlah mereka bersorak-sorai dengan kemenangan.

Ia telah memilih memelihara kesucian jiwa dan hatinya di hadapan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahaadil.

Diambil dari:

Judul buku : Untaian Mutiara
Penulis : Betsy T
Penerbit : Gandum Mas, Malang
Halaman : 5 -- 6

Tinggalkan Komentar