Kubiarkan Impianku Sirna
Aku dibesarkan di sebuah peternakan di California Selatan.
Pagi-pagi sekali sebelum orang lain bangun, biasanya aku memanggil anjing kami, Laddie, untuk berjalan-jalan melalui lembah dan bukit melewati tanah kami yang luasnya empat ratus hektar untuk menyaksikan matahari terbit. Pakis Spanyol yang berenda-renda lembut terjurai dari pohon-pohon Oak, kelihatan seperti berasal dari dunia lain dalam cahaya pagi yang remang-remang itu; begitu juga warna kuning dari bunga semak-semak, tampak bertambah indah.
Aku sering memimpikan rumah yang kelak akan kumiliki; sebuah rumah pertanian besar dan indah dengan pagar putih. Beberapa ekor sapi makan rumput di bukit-bukit yang mengelilinginya. Yang paling menyenangkan adalah, rumahku akan dipenuhi dengan orang dan semuanya bahagia. Sesekali, begitulah di dalam khayalku, aku akan meninggalkan rumah dan teman-temanku untuk pergi ke rumah sakit tempatku bekerja sebagai perawat, sebagaimana pekerjaan ibuku sekarang. Bagiku, itulah hidup yang sempurna!
Begitu kembali ke dunia nyata, aku berlari pulang ke rumah, membantu menyiapkan sarapan pagi untuk seluruh keluarga serta mengambil bagian dalam tugas-tugas pekerjaan yang lain sebelum berangkat sekolah.
Pada suatu hari, sewaktu aku berumur tujuh tahun, aku bersama ayah berada di ladang mencabut rerumputan. Sambil meluruskan badannya, ayah menyuruhku kembali ke rumah untuk mengambil mobil "pick up". aku memprotes, "Tetapi ... tetapi ..., aku belum tahu bagaimana membawanya."
Ayah tidak terpengaruh. Kakak-kakakku telah belajar mengemudi pada usia tujuh tahun. Ayah percaya dua hal: "Kamu tidak perlu tahu bagaimana melakukannya, tetapi kamu harus melakukannya" dan "engkau akan dapat melakukan apa saja, asal engkau berusaha keras". Hal yang tidak mungkin? Tidak ada yang tak mungkin. Dia pantang menyerah dan tidak juga mengizinkan kami menyerah. Tidak pernah.
Oleh karena itu, meski gemetaran, aku berlari ke tempat truk kecil itu dengan hati yang berdebar sambil terengah-engah. Entah bagaimana, aku berhasil menghidupkannya dan truk itu berjalan menuju Ayah. aku hanya melakukan hal itu karena diperintah. Sejak usia muda, aku belajar untuk taat kepada yang berwenang.
Ayah menunjukkan kasihnya kepada kami sesuai dengan kemampuannya -- dengan jalan mempersiapkan kami menghadapi tantangan-tantangan hidup ini dan mengatasinya. Warisan ini sangat berharga bagiku.
Aku menghormati ayah, namun juga sedikit takut kepadanya. Aspek ini juga merupakan bagian warisan dari ayah. Kalau Ayah berkata, "Loncat!", aku akan bertanya, "Setinggi mana?" Lalu dengan otomatis perasaan seperti itu aku berlakukan juga terhadap Tuhan.
Namun aku belajar sesuatu tentang Allah yang kemudian mengubah rasa takut itu menjadi rasa hormat penuh hikmat kepada-Nya; Allah memakai segala sesuatu. Bahkan yang tampaknya seperti kotoran sapi pun, diambil-Nya dan diubah-Nya menjadi bahan yang berguna bagi-Nya. Kalau kita simpan, tumpukan itu akan berbau busuk. Kalaupun ada noda-noda hitam dalam hidup Anda; tidak mengapa, aku yakin semua orang mempunyainya. Namun satu-satunya cara untuk mendapatkan karunia Allah adalah dengan bekerja melalui noda-noda hitam tersebut.
Di sekolah, sering aku merasa diri aneh dan lain daripada yang lain, aku memang seorang gadis jangkung yang berpakaian karung tepung bekas dengan rambut lurus kaku. Seusai sekolah, kakak-kakak dan aku selalu harus segera pulang dengan bus sekolah. Ada tugas memerah susu sapi, memberi makan ayam, menyiangi rumput, dan mengangkat kayu bakar. Bila berada bersama dengan anak-anak dari kota yang selalu tampak begitu rapi dengan pakaian jadi yang dibeli, aku selalu merasa kikuk.
Akan tetapi, pada usia sebelas tahun aku sudah tahu apa yang seharusnya aku lakukan ketika mendengar bahwa Allah menawarkan pengampunan atas dosa dan kehidupan kekal bagi yang meminta kepada-Nya. Ketika guru kelas Alkitab bertanya siapa yang mau menerima Kristus sebagai Juru Selamat, tanganku kuangkat tinggi-tinggi. Itu adalah berita terindah yang pernah aku dengar -- rasanya seperti menemukan emas.
Bersama kedua kakakku, aku mulai mengikuti suatu kelas Alkitab, terlebih karena pendeta kami menawarkan diri untuk mengantar kami pulang dengan mobilnya setiap pulang dari kelas itu. Dalam perjalanan-perjalanan mengantar kami pulang itulah ia menunjukkan kepada kami sifat-sifat Allah. Pendeta Brown senang kepada kami! Ia tertawa, melucu, dan berbicara tentang firman Allah.
Oleh karena aku menghormati wewenang, maka tidak sulit bagi aku untuk percaya pada firman Allah. Akan tetapi aku terusik oleh perintah untuk pergi ke seluruh dunia dan memberitakan Kabar Baik serta mengajar orang tentang Allah. Pada suatu hari Minggu, seorang misionaris datang ke gereja kami; ia berkata bahwa 90% dari yang "pergi", yang "memberitakan", serta "memuridkan", hanya memusatkan perhatian kepada yang 10% dari seluruh penduduk dunia.
Aku duduk tegak di kursi. Itu berarti hanya 10% dari mereka yang "pergi", "memberitakan", dan "memuridkan". Itulah yang, entah dengan cara bagaimana, menjangkau 90% dari dunia ini. Logika itu membuat aku terkesima, namun memang masuk akal. Aku harus menjadi misionaris -- apa pun itu artinya.
Kemudian, dalam satu perkemahan musim panas, seorang misionaris yang menjadi pembicara berkata bahwa kalau kita berkeinginan menjadi misionaris, mulai sekarang kita pelu berdoa untuk suku bangsa ke mana Allah akan mengirimkan kita kelak. Ini masuk akal juga. Setiap hari aku berdoa, "Tuhan, persiapkanlah kiranya suku bangsa itu supaya mereka siap untuk Injil, sehingga mereka bisa percaya."
Akan tetapi, pertanyaanku masih banyak: Apa sebenarnya yang menjadi tugas para misionaris? Bagaimana mereka tahu bahwa tugasnya sudah selesai? Apa yang dapat aku lakukan yang hasilnya bersifat kekal? Bagaimana kalau diketahui oleh suku bangsa itu tentang Tuhan hanya mereka dapat dari aku? Aku menyimak baik-baik ketika misionaris itu berbicara, namun tetap tidak dapat membayangkan diriku sebagai diri mereka. Aku merasa tidak mampu untuk tugas itu.
Suatu hari aku mulai menyadari, bahwa "pergi ke seluruh dunia mengabarkan Injil" berarti aku akan hidup di hutan! Sepanjang pengetahuanku, di luar Amerika semuanya adalah hutan. Sebagai seorang murid Sekolah Menengah Tingkat Lanjutan, belum pernah aku keluar dari daerah asal kabupatenku.
Aku melakukan tawar-menawar dengan Allah. Bagaimana dengan impian rumah pertanianku, bukit-bukit dan menjadi perawat? Apa yang kulakukan terhadap diriku? Aku bergumul. Berulang kali aku berkata kepada Tuhan, "Aku tidak sanggup, barangkali pilihan-Mu salah, Tuhan. Aku tidak mengerti apa tugas seorang misionaris sebenarnya." Tetapi, tampaknya Allah tidak terpengaruh seperti ayahku dulu, ketika aku mengatakan kepadanya tidak dapat membawa truk itu. Allah tidak menerima alasan ketidaksanggupanku.
Setelah berbulan-bulan bergumul, pada akhirnya aku menyerah dan berkata kepada Tuhan, "Baiklah Tuhan, aku akan melakukannya walaupun aku tidak menyenanginya."
Aku berpisah dengan rumah pertenakan, karier, dan keluargaku -- semua yang dulu kudambakan. Kubiarkan impian itu sirna.
Setelah melepaskan impianku, semangat untuk menjadi seorang misionaris pun bertumbuh dalam diriku.
* Perkemahan ini diadakan oleh Wycliffe Bible Translators, suatu perhimpunan para penerjemah Alkitab.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul Buku | : | Firman Itu Datang dengan Penuh Kuasa |
Penulis | : | Joanne Shelter dan Patricia Purvis |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992 |
Halaman | : | 10 -- 16 |
"Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung."(2 Petrus 1:10)