Maaf Seorang Anak
Mendung yang menggelayut bukan hanya memberikan keteduhan, tetapi bagaikan membakar tubuh. Daun-daun pepohonan tidak bergeming sedikit pun karena tidak ada juga angin berhembus pelan. Sudah empat hari cuaca sangat panas dan hampir semua orang mengeluh.
Bagi Ria, udara panas seperti ini sangat menyiksa, karena akan menyebabkan sakit kepala yang amat sangat. Suara bising yang ada sangat menyiksa sakitnya, belum lagi pembantunya sedang cuti sehinggga memaksanya untuk mengerjakan semua urusan rumah tangganya sendiri, bukan hanya melayani Andi suaminya tapi juga anaknya.
Andi sangat memaklumi Ria, istrinya yang selalu mengalami sakit kepala yang berkepanjangan jika udara sangat panas. Tapi Sinta yang baru berusia tujuh tahun belum mengerti apa yang diderita ibunya, apalagi Sinta tidak melihat ibunya tidur-tiduran layaknya orang sakit. Sinta sedang asyik bermain bersama temannya sepulang sekolah, mereka bermain semakin lama semakin serunya. Mereka berkejar-kejaran, saat itulah Sinta menubruk ibunya yang sedang meletakkan cangkir berisi kopi untuk suaminya yang sebentar lagi akan datang. Prang ... cangkir dan piring itu lepas dari tangan Ria dan pecah bertebaran di lantai. Seketika itu juga, plak ... tangan Ria melayang ke pipi Sinta meninggalkan bekas merah.
"Ayo tidur! anak nakal, dari tadi dipanggil untuk tidur siang tetap bandel! Lihat akibatnya, naik ke tempat tidur sekarang atau aku hukum kamu! Biar tahu rasa!" kata Ria dengan marahnya. Sinta bergegas naik ke tempat tidur tanpa mencuci kakinya, air mata langsung membasahi bantal dan guling yang didekapnya erat-erat. Sinta belum pernah ditampar ibunya seperti itu, inilah yang membuat sakit dipipinya dan kepedihan yang amat dalam di hatinya. Setelah lama menyesal dan menahan tangisnya, akhirnya ia tertidur dengan lelap dalam tidur yang gelisah.
Ria tidak sanggup lagi menahan rasa sakitnya dan tidak lagi mampu melanjutkan pekerjaannya, kepalanya bagaikan ditusuk-tusuk pisau saat dia membungkuk membersihkan pecahan gelas di lantai. Sambil memijit-mijit kepalanya, Ria rebahan di tempat tidur dan ia terpaksa menelan obat tidur tanpa harus menunggu suaminya datang, karena sudah tidak tahan menahan sakitnya.
Ria tertidur pulas, dan ketika terbangun hujan turun dengan lebatnya yang memberikan kesejukan. Sakit kepalanya sudah hilang, dan melihat suaminya sedang menikmati acara televisi, hanya sendiri tanpa ada Sinta di sampingnya. Andi bertanya dengan heran, "Sinta bilang, katanya dia tidak mau jadi anak bandel dan akan menurut perintah ibu untuk tidur. Sehabis makan malam tadi dia langsung naik ke tempat tidur. Apa yang sudah terjadi tadi siang Ria?"
"Nanti aku ceritakan" jawab Ria sambil bergegas ke kamar Sinta. Pelan-pelan dihampirinya tubuh kecil yang melingkar memeluk guling, dan pelan-pelan disingkirkannya guling yang basah itu. "Kamu sudah tidur sayang?" bisiknya. "Tidak mama," balas Sinta dengan suara kecilnya.
"Maafkan mama sayang, mama menyesal karena tadi sangat marah pada Sinta. Lain kali mama tidak akan menyakiti Sinta lagi ..." Seketika itu sepasang tangan kecil memeluk leher dan mencium hangat di kedua pipinya bergantian. Kehangatan yang sangat mengharukan dan membuat dada Ria lebih terasa lega.
Ria tersadar, begitu ikhlas dan tanpa kata ataupun dendam seorang anak kecil memaafkan. Ria menghayati makna ajaran Yesus, mengajak orang yang percaya untuk datang pada-Nya seperti anak-anak. Ria sadar, hati seorang anak sangat bersih, tulus dalam menaruh percaya atau dalam mengampuni kesalahan walaupun akan sangat menyakitkan.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Untaian Mutiara |
Penulis | : | Besty. T |
Penerbit | : | Gandum Mas, Malang |
Halaman | : | 10 -- 12 |