Man of Rakor

Saya dilahirkan dari keluarga yang belum mengenal Tuhan, dengan sebelas bersaudara, ayah saya memunyai dua orang istri. Ayah memunyai prinsip hidup yaitu, apapun akan dia lakukan demi anak-anaknya. Tapi kenyataannya tetap bahwa kami tidak memiliki apa-apa.

Peralihan dari SD ke SMP saya mulai bingung apakah orang tua saya masih mampu membiayai sekolah saya atau tidak. Pada masa-masa seperti inipun saya masih taat beribadah kepada Tuhan. Menjelang akhir SMP, ayah menyarankan agar saya masuk ke sekolah kejuruan STM, dengan pertimbangan bahwa setamat dari sana saya dapat langsung bekerja.

Tapi saya berkeras untuk masuk SMA dan ternyata lulus. Kemudian di dalam keputusasaan saya karena ayah benar-benar tidak mampu lagi mengeluarkan biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, pertolongan tak diduga datang, entah bagaimana ceritanya, Tuhan menggerakan orang lain untuk membayar biaya ujian UMPTN sebesar Rp.20.000,- yang orang tua saya tidak mampu membayarnya. Harapan saya satu-satunya adalah masuk perguruan tinggi negeri dan saya sama sekali tidak ada keinginan untuk kuliah di perguruan tinggi swasta.

Tibalah hari pengumuman hasil ujian, saya hanya duduk-duduk saja menunggu, tidak seperti teman-teman lain yang tampaknya begitu bersemangat menelusuri nama-nama yang tercantum di lembar pengumuman dan berharap nama mereka ada di sana. Apa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan saya sama sekali, seorang teman memberi kabar bahwa saya sama sekali, seorang teman memberi kabar bahwa saya ternyata diterima dan nama saya terdaftar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Kemudian saya pergi dari kota asal saya Padang, menuju Yogya. Disana saya tinggal di asrama, sebagai mahasiswa baru seperti pada umumnya, saya selalu menerima "gojlokan" dari para senior. Namun dalam keadaan apapun saya selalu dapat mengatasinya sambil mengucap syukur atas pertolongan Tuhan.

Meskipun kehidupan keluarga kami sangat pas-pasan, namun karena prestasi yang menonjol, saya akhirnya memperoleh beasiswa. Dengan sepatu bolong saya kuliah dan masih berusaha untuk aktif di dalam kegiatan kerohanian kampus.

Suatu hari pertolongan Tuhan kembali datang. Ada seorang ibu mengangkat saya sebagai anak dan mengizinkan saya untuk tinggal di rumahnya hingga tamat kuliah.

Babak baru kehidunan saya mulai saat pindah ke Jakarta. Saya lalu mulai melamar pekerjaan dan oleh anugerah Tuhan, saya diterima di bank BCA. Perjalanan karir saya di BCA merangkak mulai tahun 1993, dari posisi sebagai staf hingga saya dipercayakan sebagai kepala cabang.

Melalui jabatan yang kini saya pegang, saya telah berada di posisi yang paling "nyaman". Betapa tidak, karena segala fasilitas dan ketersediaan yang dulu hanya mimpi kini berada di depan mata saya. Mulai dari fasilitas rumah dinas, kendaraan, sopir pribadi, penghasilan yang tinggi, serta tunjangan-tuniangan lainnya hingga saya mampu membeli segala apa yang saya inginkan, sampai tiba suatu hari yang membuat kehidupan saya nyaman itu terhenti.

Suatu ketika, direksi memindahkan saya kembali ke kantor pusat. Sebagai bentuk tanggung jawab dan ketaatan kepada pimpinan yang lebih tinggi, saya menyetujui. Teman-teman sesama kepala cabang mengatakan bahwa saya bodoh jika mau menerima keputusan itu. Karena menurut mereka, begitu berada di kantor pusat, segala fasilitas yang saya miliki sekarang praktis akan dicabut dan harus dikembalikan.

Ternyata selain rasa kehilangan atas semua "kenyamanan" saya itu, ada rumor yang beredar di lingkungan kantor yang mengatakan bahwa kepindahan saya ke kantor pusat adalah karena kesalahan yang pernah saya buat. Karena mutasi biasanya dilakukan oleh direksi kepada pimpinan atau staf karena melakukan kesalahan atau tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan.

Kalau dulu saya berangkat dan pulang kerja dijemput oleh sopir, sekarang saya harus rela berdiri berdesak-desakan dan bergelantungan di dalam bis kota. Tak terbayang bahwa seorang "mantan kepala cabang" sebuah bank besar di Indonesia, kini harus bersama-sama dengan pengamen, pengemis, serta segala macam bau keringat. Pertolongan Tuhan kembali datang ketika ada orang yang menawarkan diri memberi tumpangan kepada saya tiap pagi karena melewati jalur 3 in 1. Kalaupun tidak mendapat tumpangan, saya naik busway atau kendaraan umum lainnya.

Pada suatu kesempatan, direksi menugaskan saya untuk mengikuti rapim perusahaan dengan skala nasional. Saya terlibat aktif di dalam kepanitiaan di mana dalam rapim tersebut, kami sedang merancang strategi baru untuk diterapkan pada tahun mendatang.

Hari kedua rapat tepatnya jam 2 siang, saya mendapat kesempatan untuk memberikan presentasi di depan seluruh pejabat bank tempat saya bekerja dan merupakan perwakilan dari seluruh Indonesia. Pekerjaan berat buat saya justru bukan dari materi presentasi yang akan saya bawakan, namun justru bagaimana saya menghadapi penyakit kantuk yang menghinggapi para peserta rapat. Saya berdoa kepada Tuhan, mohon hikmat agar saya dimampukan untuk mampu membawakan presentasi itu.

Melalui pertolongan Tuhan, saya berhasil menyampaikan presentasi dengan sangat baik, bahkan direksi dan pimpinan memuji hasil presentasi tersebut hingga saya menjadi salah seorang yang mendapat penghargaan "Man of the Rakor" tahun itu. Bagi saya, penghargaan tersebut begitu berarti karena mampu membangkitkan kepercayaan diri kembali dan saya juga bersyukur melalui kejadian tersebut, orang-orang yang semula berpandangan negatif terhadap saya kini mulai menyadari kekeliruan mereka. Kini mereka tahu bahwa kepindahan saya ke kantor pusat bukanlah karena suatu kesalahan atau target yang tidak mampu saya capai, namun untuk membuktikan serta menguji kualifikasi yang saya miliki. Namun secara pribadi saya menganggap bahwa inilah ujian kesetiaan yang telah Tuhan berikan kepada saya. Dan saya telah melewatinya dengan baik.

Catatan: Kesaksian diambil dan acara Easter Dinner 2006, di Rest. Nelayan, Jakarta.

Diambil dari:

Judul majalah : VOICE Indonesia, Edisi 86, Tahun 2006
Penulis : TS/Pet
Penerbit : Communication Department -- Full Gospel Business's Men Fellowship International -- Indonesia: Yayasan Usahawan Injil Sepenuhnya Internasional (PUISI), Jakarta
Halaman : 13 -- 16

Tinggalkan Komentar