Melewati Lembah Kematian
Perkenalkan nama saya DM. Saya adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Saya dibesarkan oleh orang tua saya dengan perhatian yang sangat berlebihan karena sebelum kelahiran adik terkecil, saya satu-satunya anak lelaki dalam keluarga saya. Tetapi setelah ibu saya melahirkan anak yang ketujuh, yang ternyata adalah seorang laki-laki, maka perhatian berlebih yang selama ini diberikan kepada saya terbagi juga pada adik saya. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan saya selalu berbuat sesuatu untuk menarik perhatian orang tua, agar mereka memerhatikan saya seperti semula. Namun sayang, perbuatan-perbuatan yang saya lakukan sejak masa kecil hingga dewasa adalah perbuatan yang negatif dan saya suka membuat onar. Merasa diperlakukan secara berbeda oleh orang tua, saya memutuskan meninggalkan kampung halaman dan hidup sendiri tanpa bantuan orang tua.
Saya bercita-cita untuk menjadi sutradara besar. Oleh sebab itu saya belajar sinematografi di pusat perfilman H. Usmar Ismail di Kuningan, Jakarta. Saya mulai berkiprah dalam bidang perfilman nasional. Beberapa pekerjaan telah berhasil saya lakukan dengan baik, seperti menjadi koreografer dalam "hair cutting" Rudy Hadisuwarno, lalu bekerja sama dengan sutradara terkenal Teguh Karya dalam film "Dosa Tanda Mata", "Serpihan Mutiara Retak" karya Wim Umboh, film "Cinta di Balik Noda", dan banyak lagi perkerjaan lainnya. Semua itu telah membuat saya tidak saja hidup serba enak dan berlebihan, tetapi juga telah membuat hidup saya bergelimang di dalam dosa.
Sekalipun tanpa bantuan orang tua, ternyata saya telah membuktikan bahwa saya mampu menjadi seorang yang berhasil. Namun, di tengah keberhasilan tersebut saya selalu merasakan ketidaktentraman dalam jiwa saya. Pada suatu hari, ketika saya sedang menghadapi pergumulan di dalam pekerjaan yang penuh dengan persaingan, saya mulai tertarik mengatasi masalah dengan memanfaatkan jasa dari paranormal. Tetapi sekitar tahun 1983, sebelum saya sempat berhubungan dengan dukun-dukun tersebut, saya tertarik pada sebuah buku yang berjudul "Bagaimana Mengalahkan Iblis". Setelah membaca buku yang ditulis oleh Mark Bubbeck tersebut, ternyata isinya bukan tentang bagaimana cara menyantet para pesaing dalam pekerjaan, melainkan tentang penginjilan. Buku itu telah menegur saya karena ternyata manusia itu bukanlah terdiri dari tubuh dan jiwa saja, melainkan terdiri juga dari roh. Jika roh saya terpisah dari Tuhan, maka saya akan mengalami kematian yang kekal.
Melalui pergumulan panjang, akhirnya saya memutuskan untuk mengundang Yesus masuk ke dalam hati saya dan menjadi Tuhan sepanjang hidup saya. Hasilnya, bukan saja hidup saya telah diubah menjadi sukacita dan penuh pengharapan, sekalipun saya berada di tengah-tengah lapangan untuk pengambilan gambar film "Satu Mawar Tiga Duri" dengan Franky Rorimpandey, namun hati saya lebih tertarik untuk selalu berdiam di dalam gereja. Ketika saya mengikuti sebuah ibadah di daerah Jakarta Pusat, sebuah firman tertanam kuat di dalam hati saya "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku "Ini aku, utuslah aku!" Tidak berapa lama kemudian, firman tersebut selalu membayang-bayangi diri saya, akhirnya saya membuat keputusan yang radikal. Tahun 1984, saya berangkat ke desa kecil di Jawa Timur untuk belajar Alkitab di sebuah seminari teologi.
Pada tahun 1988, setelah menyelesaikan studi, saya kembali ke Jakarta untuk memulai tugas saya untuk mencari jiwa-jiwa bagi Tuhan. Tuhan telah menempatkan saya sebagai pendeta dalam sebuah jemaat lokal di daerah Pamulang, Tangerang. Berbagai peristiwa yang indah telah diizinkan Tuhan terjadi dalam hidup saya. Pada tahun 1999, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mengundang saya dan Dr. Octavianus untuk menghadiri pertemuan di sela-sela makan pagi yang diadakan oleh Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton di Gedung Putih, Washington D.C.. Dalam pertemuan yang dihadiri juga oleh Hillary Clinton dan istri mendiang Yitzhak Rabin, Lea Rabin, serta Yaser Arafat, dan Fidel Ramos tersebut tidak saja kami membicarakan tentang situasi politik di dunia tetapi juga mendoakan Presiden Bill Clinton yang sedang saat itu mengalami proses pemakzulan. Tuhan juga mengizinkan saya mengelilingi kota-kota besar di Amerika, Eropa, dan Asia.
Ketika Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan tugas-tugas pastoral, hingga maju dengan pesat, ternyata Ia juga memberikan ujian bagi diri saya, apakah saya hanya setia dalam perkara yang baik, atau apakah saya akan tetap setia sekalipun dalam lembah bayang-bayang maut. Di awal tahun 2000, saya merasakan ada sesuatu yang lain dalam tubuh saya. Setelah diperiksa oleh seorang dokter di Jakarta, ia mendiagnosa bahwa terdapat batu dalam ginjal sebelah kiri saya. Dokter itu menyarankan pada saya bahwa jalan terbaik adalah membuang ginjal beserta batu yang ada di dalamnya. Dan menurut dia, seseorang tetap bisa hidup normal dengan satu ginjal saja.
Saya harus menjalani cuci darah 2 hari sekali selama 1 tahun 4 bulan sebanyak hampir 200 kali. Orang-orang yang pernah menjalani cuci darah bersama saya satu per satu meninggal di depan mata saya; sungguh saya sudah berada dalam antrian kematian. Pada bulan Mei 2000, pada saat keadaan saya sudah semakin kritis, saya kembali dirawat di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa kreatinin saya saat itu naik menjadi 21 mg/dl hingga 23 mg/dl, yang normalnya sekitar 1,1 mg/dl. Ureum dalam darah saya naik menjadi 350 mg/dl, sementara batas normalnya hanya sekitar 50 mg/dl. Ketika Bapak Handoyo Gunawan dan kawan-kawan datang menjenguk saya di rumah sakit, mereka terkejut melihat keadaan saya, dan mereka tidak dapat berkata-kata lagi selain mendoakan saya. Saya berterima kasih atas perhatian dan kebaikan mereka.
Setelah teman-teman meninggalkan rumah sakit, dokter dan para perawat menyaksikan bahwa detak jantung saya di layar monitor telah berjalan dengan datar, itu tanda yang menyatakan bahwa saya sudah "pergi" untuk selamanya. Saat itu, saya merasa bahwa badan saya seperti terangkat ke atas dan saya dapat melihat tubuh saya yang terbaring didampingi oleh istri saya yang sedang pasrah dengan keadaan saya. Dalam keadaan seperti itu saya hanya dapat mengatakan kepada Tuhan bahwa "sampai nafas terakhir, jadikan saya hamba yang setia pada Tuhan". Tekanan darah saya pada waktu itu sudah di nol per nol selama 9 menit, tetapi Tuhan menghembuskan nafas hidup kembali ke dalam hidung saya, dengan ginjal yang tidak berfungsi dengan baik, saya hidup kembali.
Beberapa hari kemudian saya memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit di Singapura. Setelah diperiksa oleh dokter, mereka memberikan peryataan yang sangat mengagetkan kami semua. Dokter itu mengatakan bahwa jika seandainya sekitar 6 bulan yang lalu, sebelum dioperasi, saya datang kemari, batu yang berada di ginjal sebelah kiri tersebutlah yang perlu dibuang dan bukan ginjalnya. Dikatakan lebih lanjut, sebenarnya saya bukan gagal ginjal tetapi kesalahan diagnosa (human error). Mendengar pernyataan dokter tersebut, hati saya menjadi emosi, kecewa, dan marah dengan tindakan dokter yang kurang teliti yang menyebabkan saya harus cuci darah. Teman-teman dan keluarga saya yang berlatar belakang pengacara menganjurkan agar dokter tersebut dituntut saja, tetapi saya mengatakan bahwa sekalipun saya memiliki bukti-bukti yang sangat kuat, namun pembalasan itu bukanlah hak kita melainkan hak Tuhan, dan Tuhan menghendaki kita untuk mengampuni sesama.
Manusia boleh berbuat kesalahan dalam menangani kesehatan saya, tetapi Tuhan tidak membiarkan saya jatuh tergeletak. Tuhan memberi tangan dokter yang baik untuk menolong saya. Pada bulan Oktober 2001, kami mengirim seluruh data-data diri saya ke sebuah rumah sakit di Tiongkok. Setelah dilakukan pengecekan, maka pada tanggal 22 Oktober 2000, saya mendapat berita bahwa pada tanggal 30 akan dilakukan operasi cangkok ginjal pada diri saya. Saya mengucap syukur kepada Tuhan bukan hanya karena saya telah berhasil mendapat cangkokan ginjal yang baru dan sekarang tidak perlu melakukan cuci darah lagi, tetap lebih dari itu, saya berterima kasih kepada Tuhan atas pelajaran sekaligus bimbingannya yang ajaib telah terjadi dalam kehidupan saya.
Pada hari pertama dan kedua ketika saya datang ke kantor kedutaan RRT di Jakarta untuk mengurus visa, saya ditolak karena saya bukanlah seorang pengusaha. Tetapi karena kemurahan Tuhan, saya mendapatkannya. Kebanyakan dari pasien yang melakukan cangkok ginjal di RRT mengalami kegagalan, tetapi dalam operasi yang biasanya memakan waktu sebulan hingga dua bulan untuk pemulihan, Tuhan membuat pemulihan saya hanya memakan waktu 12 hari saja, dan saya sudah bisa kembali ke Jakarta. Tuhan mencukupi seluruh keperluan dan kebutuhan kami selama berada di Tiongkok. Saya telah ditolong oleh Tuhan melewati lembah kematian dan mendapat hidup yang kedua kali, rasanya tidak ada yang dapat diucapkan untuk menanyakan bahwa Tuhan itu dahsyat dan ajaib, selain mengabdikan diri saya menjadi hamba yang setia sampai nafas terakhir.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah | : | SUARA, Edisi 69, Tahun 2003 |
Penulis | : | KM |
Penerbit | : | Communication Department Full Gospel |
Business Men's Fellowship International - Indonesia | ||
Halaman | : | 3 -- 9 |