Menabur Kasih Menuai Berkat
Saya (HS) sering pergi ke Gunung Kawi untuk mencari "keselamatan" bagi seluruh keluarga besar kami. Sekalipun ketika kecil saya pernah mengikuti ibadah di gereja di daerah kadipaten bahkan pernah ikut memainkan sandiwara yang bernapaskan Kristen, namun saya tidak pernah memimpikan atau membayangkan untuk menjadi seorang Kristen atau pengikut Yesus. Pada 20 April 1977, saat saya sedang bekerja pada salah satu bank di Bandung, saya bertemu dengan seorang gadis, nasabah saya. Setelah berkenalan, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1977 saya melamarnya. Karena neneknya adalah seorang Kristen yang sangat taat, maka ia menghendaki supaya kami menikah di gereja. Tanggal 26 Februari 1978, demi cinta saya kepadanya, saya rela pernikahan kami diteguhkan di gereja, kemudian ketika istri saya sedang mengandung anak kami yang pertama barulah kami menikah resmi di catatan sipil.
Sekalipun saya sering menemani istri pergi ke gereja, tetapi hal itu hanyalah sekadar formalitas saja. Di balik itu, saya masih menjalani kehidupan malam yang penuh dengan judi dan pesta pora. Beberapa tahun kemudian. Setelah kami dikaruniai 2 orang anak yang lucu-lucu, mereka selalu kami bawa untuk beribadah ke gereja. Ketika anak saya yang pertama, Christina, berumur 4 tahun, ia pernah memohon kepada gurunya agar ikut mendoakan supaya ayahnya menerima Tuhan Yesus. Pada bulan Oktober 1990, seorang teman baik saya, Bapak Gunawan, memaksa saya mengikuti sebuah retreat bagi pasangan suami istri yang telah menikah 5 tahun atau lebih (Marriage Encounter). Meskipun pada mulanya saya tidak bersedia ikut acara itu, namun setelah beberapa hari mengikuti acara tersebut, saya dan istri dibimbing dan diajarkan bagaimana menjalin hubungan yang harmonis antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dengan anak-anak, cara bermasyarakat, cara menghadapi para pembantu, mertua, dan yang terakhir kami juga diajarkan bagaimana cara berhubungan dengan Tuhan. Seorang pembimbing kami menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga; dialah orang yang paling bertanggung jawab kepada Tuhan atas seluruh keluarganya. Bahkan jika seorang suami marah kepada istrinya tidak boleh dengan mulut tetapi harus dengan surat cinta.
Pada saat pelajaran itu sedang berlangsung, isinya seakan-akan telah menuding hati saya dengan mengatakan bahwa selama ini diri saya adalah suami dan ayah yang tidak pernah bertanggung jawab. Pada kenyataannya, seluruh kriteria yang disebutkan dalam makalah tersebut tidak ada pada diri saya. Selain saya adalah seorang suami dan ayah yang sangat egois, hidup saya juga jauh dari jalan kebenaran dan tidak pernah memercayai adanya Tuhan. Dengan disertai linangan air mata, saya langsung menyerahkan hidup saya kepada Tuhan dan berjanji untuk berubah menjadi suami dan ayah yang baik. Keesokan harinya sepulang dari retreat itu, untuk pertama kalinya saya bergabung dalam gereja anak saya. Guru sekolah minggu anak saya menyambut dengan gembira dan mengatakan bahwa doa mereka telah dikabulkan oleh Tuhan. Pada tanggal 31 Desember 1990, saya menyerahkan diri untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Kemudian saya dibaptis.
Sejak saat itu, usaha yang kami rintis di saat pernikahan kami, yaitu distribusi furnitur untuk seluruh Jawa Barat, asuransi kerugian, dan biro travel, berjalan dan berkembang dengan sangat pesat. Keadaan itu telah membuat saya menjadi seorang pengusaha yang diperhitungkan di kota Bandung. Teman-teman saya mulai menitipkan uang dengan jumlah yang sangat besar kepada saya, dan dikembalikan dengan bunga. Sebaliknya, saya memberikan pertolongan kepada teman lain dengan meminjamkan uang itu tanpa bunga sedikit pun. Mereka mengatakan bahwa perbuatan saya adalah sangat baik. Pada saat diri saya mulai dipuji dan disanjung, saya pun mulai menjadi sombong sehingga lupa diri dan melupakan Tuhan, bahkan tidak menyadari bahwa ternyata hal-hal yang saya lakukan adalah sebuah kebodohan saya sendiri.
Tahun 1993, orang-orang yang menitipkan uang kepada saya bertambah banyak. Sungguh di luar dugaan. Jumlah dana yang dipinjamkan kepada saya ternyata sudah mencapai angka sekitar dua miliar rupiah. Sebaliknya, ketika orang-orang mulai datang mengambil dana-dana yang sudah jatuh tempo itu, saya tidak dapat membayar pinjaman-pinjaman itu berikut bunganya. Saya dan istri mulai memberanikan diri untuk membuka pembukuan kami kepada seluruh rekan-rekan saya. Setelah kami diaudit, ternyata jumlah hutang lebih banyak dari piutang yang ada di seluruh perusahaan kami. Bahkan seluruh aset tidak akan cukup untuk membayar seluruh hutang-hutang itu. Setelah saya menjual seluruh aset perusahaan dan pribadi, termasuk rumah dan mobil, ternyata hasilnya masih belum cukup untuk membayar hutang-hutang itu. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak sanggup lagi membayar seluruh dana pinjaman tersebut hingga mereka marah dan mengirim tukang pukul untuk menagih kepada kami. Ketika saya mengalami intimidasi yang begitu dalam saya merasa bahwa semuanya sudah gelap. Saya merasa seolah-olah ada bisikan yang mengatakan bahwa hidup saya sudah tidak berharga lagi, saya sudah bangkrut dan tidak memunyai apa-apa lagi.
Pada suatu ketika sekitar tengah malam, malam itu menjadi suatu malam yang teramat panjang dalam hidup saya, tanpa sepengetahuan istri dan anak-anak saya, tanpa membawa dompet dan benda apa pun, dengan hanya mengenakan sandal jepit, saya berangkat dengan berjalan kaki dari rumah yang saat itu berada di jalan Budi Sari menyusuri sepanjang jalan Gatot Subroto Bandung untuk melaksanakan niat bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kendaraan yang sedang melintas di malam yang gelap.
Pukul 2 pagi, saat saya sedang menunggu kendaraan yang tepat untuk saya menabrakkan diri, entah ada kekuatan dari mana datangnya yang mendorong saya untuk memasuki sebuah gedung gereja. Setelah saya berada di dalamnya, saya mulai tertegun dan sadar bahwa apa yang saya perbuat adalah salah. Beberapa saat lamanya saya berguling-guling di dalam gereja, saya sangat menyesali keputusan jalan pintas yang saya ambil itu. Dengan tulus hati, saya minta ampun kepada Tuhan, dan memohon agar Tuhan memberikan kekuatan sehingga saya sanggup memikul persoalan itu dan menghadapinya dengan iman yang teguh. Setelah lelah berguling akhirnya saya tertidur dengan pulas dalam gedung gereja. Baru sekitar pukul 4 pagi, ketika angin menghembusi tubuh saya, saya terbangun dan kembali ke rumah untuk bertemu dengan istri dan anak-anak tercinta. Sesampainya di rumah, istri dan anak saya ternyata sedang berdoa menanti kehadiran saya, dan saya kembali tertidur namun kali ini dengan perasaan yang amat tenang.
Sejak hari itu, saya dan keluarga sungguh-sungguh mencari Tuhan dengan berdoa dan berpuasa. Walaupun ada kesempatan bagi kami untuk melarikan diri tetapi kami memutuskan untuk tetap bertahan, meskipun kami bisa memakai jasa pengacara, tetapi saya tetap konsekuen untuk membayarnya. Tuhan itu sangat baik terhadap kami sekeluarga. Sekalipun kami harus menjual seluruh harta yang kami miliki, namun Tuhan juga mengirim kawan-kawan saya untuk menolong kami terlepas dari hutang-hutang tersebut.
Tahun 1996, kami menempati sebuah rumah kontrakan dalam keadaan finansial yang masih belum stabil dan masih ada beberapa cicilan hutang yang belum beres. Pada saat itu salah seorang saudara dari istri saya mengundang keluarga kami untuk mengunjungi Australia. Sebenarnya hati kecil saya mengatakan bahwa daripada mengeluarkan uang yang banyak untuk biaya perjalanan, lebih baik dana tersebut dikirim saja kepada kami untuk membayar hutang-hutang saya, namun akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Pada saat kami berada di Australia, ternyata bukan saja Tuhan yang ajaib itu menolong kami untuk pergi berlibur sekalipun masih dalam keadaan susah, tetapi saat itu adalah saat-saat yang paling membahagiakan hidup kami sekeluarga. Saudara yang baik hati itu pun menawarkan diri untuk membiayai kuliah anak kami di Australia.
Tahun 1998, masih dalam keadaan ekonomi yang belum stabil, seorang ibu menceritakan kepada saya bahwa ada seorang anak yang dibuang dan dimasukkan ke dalam sebuah kardus mi instan kemudian diletakkan begitu saja di tepi jalan. Ia bercerita lagi bahwa anak yang berumur sekitar dua setengah tahun itu matanya buta. Keberadaan anak itu sudah diumumkan di radio dan diberitakan di koran Pikiran Rakyat Bandung namun tidak ada seorang pun yang mau mengakuinya sebagai anak. Sebenarnya pada saat itu tidak terpikir bagi saya untuk memungut anak itu; jangankan mengurus orang lain, untuk membiayai keluarga saya sendiri saja saya masih sangat berkekurangan. Tetapi karena kami sekeluarga telah merasakan jamahan kasih yang luar biasa dari Tuhan, maka Tuhan memberikan kami hati yang teguh untuk menyalurkan kasih itu kepada orang lain. Seminggu setelah ibu tersebut menghubungi kami untuk pertama kalinya, ia kembali menghubungi saya dan mengatakan bahwa sampai hari itu tidak seorang pun yang mau memungut anak yang dititipkan di salah satu masjid di Bandung itu. Ibu itu lebih jauh menyarankan kepada saya agar saya mau melihatnya terlebih dulu.
Ketika saya dan istri datang menengok anak itu, bukanlah maksud saya untuk merendahkan martabat seorang ciptaan Tuhan, tetapi anak itu persis seperti seekor anak monyet. Selain ukuran kepalanya yang besar dan kedua kakinya yang lumpuh, kedua matanya pun buta, bahkan dari dalam lobang hidungnya keluar daging tumbuh. Saat itu, kulitnya kasar dan sangat buruk karena tidak mandi selama berbulan-bulan, bahkan duduk saja tidak bisa apalagi untuk berjalan. Pada saat saya memberanikan diri untuk menggendong anak itu, tiba-tiba ia mencium leher saya. Dalam keraguan, saya berkata kepada istri saya bahwa seandainya anak itu normal, saya pasti sudah mengadopsinya saat itu juga. Tiba-tiba istri saya mengatakan sebuah kalimat yang mengejutkan hati saya. Ia berkata, jika kami ingin menolong seseorang, maka tidak boleh ada perkataan "Tetapi". Saat itu saya menceritakan peristiwa itu kepada anak saya di Australia. Seminggu kemudian Christina, putri saya, menelepon untuk menanyakan apakah anak itu sudah diambil. Lalu saya mengatakan bahwa anak itu pastilah akan menyusahkan kita, jadi tidak perlu dipikirkan lagi. Tetapi kali ini giliran putri saya yang mengatakan sebuah perkataan yang sungguh membuat hati saya terkejut. Dia mengatakan jika kami mengambil seorang anak yang normal, itu adalah hal yang biasa, tetapi jika kami berani mengambil anak yang cacat, maka itu adalah sesuatu yang sangat luar biasa di mata Tuhan. Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, maka dia memiutangi Tuhan.
Sementara itu anak lelaki kami, Yogieh, yang baru duduk di kelas dua SMA, sekalipun ia belum melihat anak buangan itu, namun ia merengek dan meminta kepada saya supaya anak itu boleh tinggal selama seminggu di rumah kami. Meski sebenarnya hati saya menolak, tetapi pada tanggal 31 Juli, dengan perlahan ia mengatakan kepada saya apabila hati saya merasa damai, saya boleh mengambil anak itu, tetapi jika hati tidak merasa damai, maka jangan mengambil anak itu. Keesokan harinya, dengan hati yang diliputi damai sejahtera yang luar biasa, sesuai dengan permintaan anak saya, kami setuju untuk membawa anak itu untuk sementara, dengan catatan, apabila ia dapat dirawat, maka kami akan meneruskan merawatnya, tetapi jika tidak, anak itu akan dipulangkan kembali. Ternyata, ketika anak yang buta itu berada di rumah kami, anak saya segera menatapnya sambil menangis. Pikiran saya mengatakan bahwa pastilah hati anak saya sangat kecewa dan dalam hatinya pastilah menyalahkan saya sebagai ayahnya yang membawa anak semacam itu ke rumah kami. Ketika saya bertanya mengapa ia menangis, ia berkata bahwa ia bersyukur anak itu telah kami ambil, sebab sudah lebih dari 2 tahun tidak ada orang yang mau menghiraukannya. Pernyataan itu adalah sebuah konfirmasi yang membuat hati saya sangat bersukacita.
Ketika anak itu berada di rumah kami, teman-teman mulai mencibir kami. Mereka mengatakan bahwa kami adalah orang yang tidak memunyai akal sehat. Mereka juga menambahkan bahwa bagaimana mungkin kami bisa mengatasi persoalan anak yang hampir mati itu, sedangkan keadaan ekonomi kami masih morat-marit. Dua minggu kemudian, sekalipun saya menyadari bahwa saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat dengan kondisi anak itu, namun setelah kami berusaha memberikan yang terbaik dan dengan sungguh-sungguh mengasihi anak itu seperti mengasihi anak sendiri, Tuhan menolong kami. Teman-teman yang pernah melecehkan saya diubah Tuhan sehingga mau membantu kami merawat anak itu. Ada teman-teman yang lain yang mengirim susu hingga berlimpah-limpah. Saya sangat percaya bahwa Tuhan akan menjadikan anak itu bukan menjadi seorang peminta-minta tetapi menjadi alat-Nya bagi orang lain, dan Tuhan tidak akan membuatnya menjadi tukang pijit, tetapi menjadi seorang pemain piano.
Ketika anak itu berada di rumah kami, saya hanya bisa merawatnya dengan kasih dari Tuhan. Empat bulan kemudian, ketika ia belum dapat buang air dengan normal, saya membawanya ke sebuah KKR. Setelah kami mendoakannya sambil menumpangkan tangan di atas perutnya, Tuhan menjamah perutnya sehingga langsung buang air besar dengan lancar. Sejak saat itu tidak ada lagi gangguan di dalam pencernaannya. Bertahun-tahun anak itu kami bawa ke dokter spesialis kelumpuhan namun tidak kunjung sembuh. Tetapi setelah kami doakan selam beberapa waktu kini ia sembuh dan sudah dapat berjalan dengan normal. Sekarang anak itu sudah bersekolah di SLB C Wiyata Guna Bandung.
Bertahun-tahun saya sudah diproses oleh Tuhan. Secara manusiawi semua proses itu memang menyesakkan, bahkan sering kali saya merasa tidak sanggup menyelesaikannya dengan baik, namun Tuhan hanya menginginkan saya mengandalkan Dia dalam segala hal dan bukan mengandalkan kekuatan saya sendiri. Benih-benih kasih yang pernah kami tanam beberapa waktu lalu sekarang telah kami tuai dengan berbagai berkat dari Tuhan. Sejak bulan Oktober 2003 yang lalu, Tuhan telah memulihkan keadaan ekonomi keluarga kami, bahkan saat ini kami dibebaskan dari hutang. Terpujilah Tuhan!
Diambil dari:
Judul buletin | : | SUARA, Edisi 73, Tahun 2004 |
Penulis | : | KM |
Penerbit | : | Yayasan Persekutuan Usahawan Injili Sepenuhnya Internasional (PUISI), Jakarta |
Halaman | : | 3 -- 8 |