Mengenang Kasihnya
Matthew, tepat hari ini tanggal 1 Desember, engkau sudah dua bulan meninggalkan kami ke rumah Bapa. Keluarga yang engkau tinggalkan bagaikan rumah tanpa penyanggahnya, tanpa keseimbangan, tanpa gairah, dan gersang. Aku teringat masa-masa lalu, jika sedang menghadapi satu masalah, kita sering mempergunakan waktu makan pagi membahasnya bersama. Dan sebagaimana biasa, engkaulah yang selalu menemukan jalan keluarnya.
Perhatian dan kasih yang engkau berikan pada keluarga akan kami kenang selalu. Tatkala kesulitan datang, setelah kepergianmu, aku hanya dapat mengunci diri di dalam kamar, bertelut di depan ranjang serta berharap, dan menyerahkan segala masalah kepada Tuhan. Kini Dialah yang sepenuhnya menempati posisimu sebagai Kepala dan Tuhan di keluarga kita. Dengan memegang erat perjanjian-Nya yang berbunyi, "Barangsiapa yang hormat dan takut kepada Allah, Ia akan menuntun jalan yang akan dipilihnya", aku memohon agar Dia menuntun dan menetapkan segala langkahku dan anak-anak, karena Ia adalah Tuhan dan pimpinannya tidak pernah salah.
Setelah engkau pergi, kehidupan yang kulalui berubah sama sekali. Kini Aku menikmati makan pagi seorang diri. Adakalanya makan, aku mengangkat kepala melihat tempat yang biasa engkau duduki dalam keadaan kosong dan mengetahui tidak mungkin lagi engkau berada di sana, tanpa terasa air mataku bercucuran. Teringat pada pertengahan bulan Juni yang lalu, tatkala aku berkunjung ke kota Semarang dan menginap semalam di sana, engkau berpesan kepada kedua puteri kita dengan mengatakan, "Jaga mama dengan baik dan bantulah mama selalu, karena masa hidupku tidak lama lagi." Tatkala aku mengetahui pesanmu itu, aku tidak mengerti, karena pada waktu itu engkau hanya merasa kurang sehat saja, nafsu makanmu hilang, tapi mengapa berpesan demikian? Beberapa hari kemudian, tatkala engkau bertemu dengan rekan dosen Pdt. Daniel Tanusaputra, engkau mengatakan. "Untuk penyakit ini, aku tidak memohon Tuhan untuk menyembuhkannya, melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi." Ternyata engkau mengetahui keadaan sakitmu dan sudah bersiap sedia untuk taat pada kehendak Tuhan dan telah siap pula untuk bertemu dengan Tuhan.
Aku mengetahui dengan jelas kebiasaan dan sifatmu. Biasanya engkau menderita penyakit yang ringan saja, sudah rewel dan mengaduh, tapi kali ini lain dari biasa. Sejak awal penderitaan dan terus berkembang, sehingga kondisi tubuhmu makin lemah dan sampai engkau kembali ke rumah Bapa, tak pernah keluar keluhan dan eranganmu. Sungguh aku melihat ketaatanmu dan melihat kuasa Tuhan yang menopang, sehingga dengan tabah, tanpa sungutan, tanpa pergumulan untuk menentang kenyataan yang menimpah dirimu, tanpa penderitaan sangat, dengan tenang dan tabah engkau berbaring selama tiga bulan lamanya, sambil menunggu saat Tuhan memanggil untuk kembali pada-Nya.
Pada waktu engkau memunyai kesempatan studi pada bulan Juli hingga Desember 1986 di Singapura, engkau bertemu dengan beberapa orang alumnus. Kepada mereka engkau mengatakan bahwa usiamu hanya beberapa tahun lagi. Pada waktu itu alumni menganggap bahwa pandangan hidupmu sudah berubah. Mereka tidak mengerti, mengapa Matthew yang terkenal memiliki pandangan hidup optimis terhadap tantangan hidup kok sekarang setelah meningkatnya usia berpandangan pisimis? Sedangkan rekan pada waktu itu melihat engkau yang berusia 58 tahun, masih sehat dan kuat dan melihat pula banyak hamba Tuhan Yang lain, dalam usia yang sama, masih giat melayani Tuhan dan mereka tidak mengerti, mengapa engkau mengucapkan kata-kata yang pesimis ini? Sebab itu, mereka mengambil kesimpulan bahwa pandangan hidupmu sudah berubah.
Enam bulan setelah engkau pulang dari Singapura, mulailah engkau merasa kesehatanmu terganggu dan tidak terduga bahwa kalimat yang engkau ucapkan pada alumni sebagai suatu nubuatan tentang dirimu sendiri. Setelah berpikir-pikir, barulah aku mengerti perkataanmu setahun yang lalu yang menyebutkan bahwa usiamu tidak lama lagi. Aku kurang tahu, apakah Tuhan sudah memberitahu jauh-jauh hari padamu atau engkau sendiri sudah mengetahui bahwa penyakit yang engkau derita akan membawa akibat fatal? Dan apakah engkau sengaja merahasiakan itu terhadapku? Apakah engkau merasa bahwa penderitaanmu sudah cukup ditanggung olehmu seorang dengan tidak menginginkan aku ikut merasakan penderitaan itu?
Engkau pernah mengatakan pada rekan kerja lainnya, bahwa engkau tidak akan meninggalkan aku dan mengatakan tidak akan mau berpergian seorang diri lagi. Tapi tanpa dinyana, perkataan ini belum berlalu satu tahun, bukan saja engkau meninggalkan aku lagi, bahkan tidak memunyai kesempatan saling bertemu lagi di dunia ini. Sampai berapa lama lagikah aku harus melewati waktu-waktu di dunia ini, sampai bertemu kembali denganmu di seberang sana? Dan kapankah aku akan mengucapkan kata-kata perpisahan kepada putra-putri kita? Ataukah aku harus menunggu sampai sangkakala berbunyi dan orang-orang yang sudah meninggal diubah dan kita pun diubah?
Engkau pernah berkata, bahwa jika usiakupun tidak panjang, betapa malangnya nasib putra putri kita. Mereka bukan saja menjadi yatim piatu dan juga akan kehilangan tempat untuk berteduh, karena rumah tempat tinggal kita adalah milik Seminari Alkitab Asia Tenggara dan hanya diizinkan kami suami isteri saja yang tinggal. Setelah tiga bulan kepergianmu, anggaran dasar serta peraturan pensiun dibagikan dan di sana tercantum tentang peraturan penempatan rumah dinas. Menurut peraturan yang ditetapkan Yayasan dan engkau juga sudah mengetahui bahwa bagi putri putri kita yang sudah berumahtangga, hanya diizinkan tinggal di rumah dinas hanya sebulan saja. Ini berarti bahwa beberapa tahun kemudian, hanya aku seorang diri yang tinggal di rumah dinas ini.
Pada usia lanjutku, mampukah aku hidup seorang diri? beberapa waktu yang lalu, aku mendengar peristiwa yang tragis sekali. Seorang yang berusia lanjut meninggal dunia tanpa diketahui oleh seorangpun. Sebab ia hidup seorang diri, tanpa anak di sampingnya. Apakah aku kelak juga mengalami nasib yang sama seperti itu? Betapa berat penderitaan seorang janda dan anak yatim di dunia ini! Namun Firman Tuhan menyebutkan bahwa Allah bersemayam di tempat-Nya yang kudus menjadi Bapa bagi para janda dan Pembela mereka." Puji syukur kepada Tuhan, Ia menyelami penderitaan pada janda dan anak yatim; Ia telah menghapus air mataku, serta membalut luka hatiku. Jikalau rasul Petrus pernah berkata, "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal!" Waktu itu, aku berteriak dengan suara nyaring dengan berkata, "Ya, Tuhan! Engkau akan menjadi Bapa bagi putra putriku. Dan jika Engkau menjadi Pembelaku, maka tidak ada lagi yang perlu kukuatirkan."
Dua hari sebelum engkau jatuh sakit, seperti biasa kita jalan-jalan menikmati udara segar pada pagi hari, serta berolahraga sedikit. Pada waktu itu, engkau meletakkan tangan kirimu di bahuku, sehingga aku merasakan kehangatan kasih sayangmu. Dengan bergurau aku berkata padamu, "Sudah lama sekali aku tidak merasakan engkau berbuat demikian padaku." Respon yang engkau berikan sungguh mengejutkan. Engkau memegang bahuku, karena tidak memunyai kekuatan menahan berat tubuhmu sendiri. Ku melihat beberapa kali engkau menarik nafas panjang. Melihat kondisimu demikian, maka kita segera pulang. Tapi aku tidak menyangka bahwa jalan pagi ini adalah untuk yang terakhir kalinya. Aku tahu, engkau adalah orang yang sangat tahu memperhatikan kesehatan tubuh. Makan teratur, berolahraga secara teratur pula, tapi siapa sangka, sakit kali ini menyebabkan engkau tidak pernah sehat kembali.
Masih segar dalam ingatanku, pada waktu bulan September, kakak serta ipar datang dari Surabaya menjengukmu. Tatkala engkau mengetahui kedatangan mereka, dengan cepat engkau meminta mereka masuk ke kamar dan berkata pada mereka, "Terimakasih untuk kebaikan kalian, karena saat putra kami melanjutkan studi di Universitas Surabaya, kalian dengan baik hati menampung serta turut memberi bimbingan kepadanya." Sebenarnya satu tahun yang lalu, pada waktu putra kita mau melanjutkan studi ke luar negeri, pada waktu itu engkau sudah menyampaikan terimakasih pada mereka. Saat kakak mendengar ucapan terimakasihmu itu, ia terharu dan menangis sambil menggeleng-geleng kepala serta menghibur dengan berkata, "Tenangkanlah dirimu, jangan terlalu banyak menguatirkan hal-hal yang lain." Putra sulung kita yang berdiri di samping, hanya berdiam diri sambil menangis.
Sambil menahan air mata, aku berkata kepadamu, "Tidak perlu menyinggung hal itu lagi!" Tapi engkau menjawab, "Ini kesempatan bagiku untuk menyampaikan terimakasih itu. Engkau dulu juga pernah tinggal bersama-sama mereka, budi mereka sungguh besar bagi keluarga kita. Bukankah sudah sepatutnya aku mengucapkan terimakasih...?" Perkataanmu mengingatkan aku akan kebaikan kakak dan iparku itu. Sejak usia 9 tahun, aku sudah menjadi anak piatu dan sejak duduk di bangku SMP dan SMA aku sudah tinggal bersama mereka dan mendapat bimbingan pula dari mereka.
Pada waktu itu pula, kita berkenalan satu dengan yang lain. Kita sama-sama dalam satu Gereja berbakti dan satu pelayanan di paduan suara. Kita bersama-sama bermain bulutangkis dan dari sana kita menjalin tali persahabatan. Terkenang pada waktu itu, banyak sekali Hoa Kiauw yang kembali ke daratan Tiongkok dan engkau adalah satu di antara mereka. Waktu itu, engkau sudah memiliki tiket kapal, barang-barang dan koper sudah disiapkan dan hanya tinggal berangkat saja. Saat-saat menanti keberangkatan, Pdt. DR. Andrew Gih datang mengunjungi Indonesia dan berkesempatan datang di Surabaya, Malang, dan beberapa kota lain untuk memimpin Kebaktian Kebangunan Rohani. Mengingat kesempatan untuk mendengarkan Injil di daratan Tiongkok nanti sangat sedikit, maka dengan penuh semangat engkau mengikuti semua rangkaian acara, baik di Surabaya maupun di Malang dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan rohani yang gersang.
Engkau bagaikan sepotong kayu yang tidak berguna, tapi tanpa terduga mendapat belas kasihan Tuhan. Engkau bukan saja mendapat anugerah keselamatan-Nya dan juga mendengar panggilan-Nya, sehingga pada hari keberangkatanmu engkau justru datang bersujud sembah dihadapan Tuhan untuk mempersembahkan diri. Engkau mengambil keputusan melepaskan ambisimu untuk menuntut ilmu dunia dengan memilih suatu tugas yang mulia, yaitu tugas pelayanan seantero hidup bagi Tuhan. Tidak lama setelah engkau mempersembahkan diri pada Tuhan, dalam suatu Kebaktian Khusus yang dipimpin oleh Pdt. Timothy S.K. Dzao akupun mengikuti jejakmu dengan menyerahkan diri sepenuhnya di atas mezbah-Nya.
Selama tigapuluh lima tahun engkau sudah nembayar nasarmu dihadapan Tuhan, dengan setia serta diam-diam melayani Dia. Ada seorang saudara berkata padaku, "Pdt. Matthew Sie tidak dengan gembar-gembor melayani Tuhan, tetapi kehidupan pribadinya serta prilakunya, kesetiaannya telah terukir dalam hati kami." Mendengar ucapan saudara ini, hatiku dipenuhi dengan rasa syukur, karena engkau sudah berfungsi sebagai pelita kecil yang bersinar terang bagi Tuhan. Keharuman Tuhan telah terpancar melalui kehidupanmu serta memberi kesejukkan hati bagi orang lain. Engkau sudah meninggalkan teladan yang indah bagi putra putri kita. Semoga putra putri kita mendapat perlindungan Tuhan dan dapat juga mengikuti jejakmu.
Selama hampir tiga bulan setengah, aku terus menemanimu. Bersama-sama membaca Alkitab dan berdoa. Boleh dikatakan, selain istirahat, aku tidak pernah meninggalkanmu di rumah sakit. Meskipun engkau berulangkali menyuruh aku duduk di luar, agar dapat menghirup udara segar sambil menikmati taman bunga di rumah sakit, tapi aku terlebih suka menemanimu di kamar. Waktu engkau tertidur pulas, aku seorang diri berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan. Selama engkau dalam keadaan sakit, waktu luang untuk berdoa, jauh lebih banyak dari biasanya. Dengan segenap hati aku menegadah kepada Tuhan, sebab aku tahu dari sanalah sumber pertolonganku. Ia tidak akan membiarkan kakiku goyah, Penolongku itu tidak terlelap dan tidak tertidur. Tuhan senantiasa menjadi pelindungku, sehingga di tengah ujian dan kesulitan apapun, aku tetap bisa bersukacita dan penuh dengan kedamaian.
Pernah satukali saat aku melayanimu, tiba-tiba engkau menatap dan memperhatikan aku dan bertanya, "Mengapa engkau dengan setia melayani aku?" Meskipun pertanyaanmu sangat mengejutkan aku, tapi dengan hati yang gembira aku menjawab, "Pertama karena engkau adalah suamiku. Tigapuluh tahun yang lalu, saat pemberkatan nikah, bukankah dihadapan Tuhan kita telah menyatakan janji setia, bahwa dalam keadaan apapun; baik kaya ataupun miskin, sehat atau sakit, kita akan tetap setia, saling mengasihi, berat sama dipukul, ringan sama dijinjing? Kini apa saja yang kulakukan adalah untuk menepati janji setia itu. Kedua, sebab engkau lebih dulu mencintai aku." Setelah mendengar perkataanku itu, engkau langsung menggenggam tanganku dan berkata, "Terimakasih banyak!"
menatap matamu yang sendu, serta mendengar ucapan terimakasihmu yang tulus, tanpa tertahan aku menangis serta memendamkan mukaku pada tanganmu. Dengan suara mantap engkau berkata, "Jangan menangis! Aku di dalam penderitaan sakit yang sangat, tidak menangis!" Kemudian dengan lembut engkau berkata, "Hendaklah engkau mempersiapkan hati, ingat hidup kita di dalam tangan Tuhan. Engkau harus kuat ... harus tabah ..." Mendengar perkataanmu ini, aku makin sedih dan makin keras menangis. "Inikah kehidupan? Masakah kehidupan bersama, demikian singkatnya? demikian hampa, tanpa makna?" Tanpa sadar, beberapa rentetan kata pertanyaan keluar dari mulutku. pada waktu itu, aku menunduk di tepi perbaringan dengan sedih. Aku menyesali diri, mengapa saat-saat engkau membutuhkan penghiburan, mengapa aku mengucapkan kata-kata yang memilukan hati? Tapi engkau yang sedang menderita sakit, tanpa keluhan dengan sabar memegang kepalaku, tanganku, dan berusaha menghibur dengan berkata, "Ada Yesus Kristus bersamamu, maka hidup tidak lagi hampa. Jangan sedih, jangan takut, putra putri kita kini kutinggalkan padamu."
Sungguh aku tidak ingin menangis dihadapanmu, namun aku terlalu lemah dan tidak bisa menguasai diri. Selama ini tangan yang sedang menggenggam tanganku, adalah pelindungku, penopangku. Tangan, inilah yang memberiku perasaan aman, perasaan damai. Dalam lubuk hati, aku bertanya, "Berapa lama lagikah, tanganmu memegang tanganku untuk bersama-sama menghadapi tantangan hidup ini?" Dengan jujur aku berkata bahwa aku adalah orang yang paling berbahagia dan bangga memunyai suami seperti engkau yang penuh dengan pengertian. Waktu engkau mendengar pengakuanku itu, engkau menyambutnya dengan gelengan kepada dan berkata, "Sifatku tidak baik!" Sebenarnya siapakah yang tidak tahu tentang kesabaranmu? Di kalangan para mahasiswa, engkau dikenal sebagai dosen yang sangat sabar. Aku sungguh berbahagia, dijodohkan Tuhan denganmu.
Di tengah malam, jikalau mendengar sedikit saja suaramu, aku cepat bangun dan menanyakan keperluanmu. Tapi engkau selalu berkata, "Maafkan aku, telah membangunkanmu, sehingga engkau tidak dapat menikmati tidurmu." Walaupun kondisi tubuhmu demikian buruknya, tapi engkau masih berusaha untuk tidak menyusahkan aku. Aku tahu, engkau takut aku jatuh sakit, karena terlalu letih dan kurang tidur dalam merawatmu. Dalam hatiku bertanya, "Mengapa, mengapa, mengapa engkau begitu mencintaiku? Apakah ada sesuatu kebaikan dalam diriku, sehingga layak mendapatkan cintamu? Keluarga yang bahagia, rukun dan harmonis, apakah akan berakhir sampai di sini? Sungguh, aku merasakan segala keindahan hidup berumah-tangga telah sirna bersama dengan kepergiaanmu. Pengertian dan cintamu, hanya tinggal kenangan saja dan yang tertinggal sekarang kepedihan hati serta tangisan belaka. Oh, Tuhan! Inikah namanya kasih yang tiada berkesudahan? Kenapa hidup ini demikian singkatnya?
Segar dalam ingatanku, engkau pernah dengan lembut berkata, "Aku tak dapat hidup, tanpa engkau! Jikalau pada suatu hari, engkau pergi lebih dahulu, sungguh aku tidak dapat menanggung derita itu!" Mendengar curahan hati yang tulus ini, aku sungguh berterimakasih dan bersyukur. Aku diciptakan sebagai tulang rusuk dan diberikan kepadamu, bukankah untuk menolongmu? Selama puluhan tahun aku mendampingimu, jika engkau sungguh-sungguh berbahagia dan dapat melayani Tuhan dengan sepenuh hati karena keberadaanku; maka sudah sepatutnya aku memuji dan bersyukur kepada Tuhan, karena aku sudah dapat menunaikan tujuan Tuhan menciptakan wanita. Jikalau semua suami di bumi ini seperti engkau dapat menilai berharganya istri berada di samping suami, bukankah merupakan hal yang sangat membahagiakan?
Suatu sore, ketika aku duduk di samping perbaringan, engkau menyatakan keinginan agar putra sulung kita kembali untuk bersama-sama bergiliran menjagamu. Keinginanmu ini makin kuat, khususnya menjelang awal Februari, tapi waktu itu aku tetap berusaha untuk menolaknya. Karena putra kita itu, sudah studi selama tiga tahun setengah di Amerika dan hanya memerlukan satu setengah tahun lagi untuk selesai. Namun engkau sepertinya mengetahui waktumu sudah tidak lama lagi, sebab itu pada awal bulan Juli, tatkala engkau dirawat di Jakarta, maka putra kita seminggu kemudian kembali dari Amerika. Melihat kondisi kesehatanmu, putra kita bermaksud tetap tinggal untuk membantu aku merawatmu. Ini merupakan anugerah Tuhan, karena Tuhan memberi kesempatan padanya untuk berbakti dan membalas cinta kasih ayahnya.
Beberapa teman memuji putra kita dan berkata, "Matthew, engkau harus bahagia, sebab putramu hampir berhasil dalam studinya." Siapakah yang berhak menetapkan keberhasilan seseorang? Dari sudut manakah kita dapat mengukur keberhasilan seseorang? Apakah keberhasilan itu karena berakhirnya satu tahap studi atau prestasi yang dicapai dalam studi atau karier? Apakah karena banyaknya pendukung? Apakah karena memiliki gedung dan mobil mewah? Semuanya bukan! Keberhasilan sejati adalah, apabila kita mendengar Tuhan berkata, "Engkau hamba-Ku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara-perkara kecil, masuklah dan turutlah dalam segala kebahagiaan bersama Tuanmu."
Masa-masa lalu dalam doa malam, kita selalu berdoa bersama dengan permohonan, agar kita berlima bisa menjadi berkat bagi orang banyak. Sekarang doa ini menjadi tujuan utamaku, tapi sekarang kalimatnya harus diubah, bukan lagi berlima, melainkan berempat. Tatkala aku menggantikan kalimat "berlima" menjadi "berempat", seolah-olah pita suaraku tersendat dan tidak bisa mengeluarkan kalimat itu. Engkau yang sekarang berada dalam kekekalan, tidak membutuhkan doa-doa kami lagi, tapi sebaliknya aku yang lemah ini, membutuhkan pedukung-pedukung doa yang setia. Aku yakin, engkau di Taman Firdaus, akan bertindak sama seperti dulu akan menjadi pendukung doa yang setia bagi kami yang engkau tinggalkan ini. Dengan doa-doamu, agar kami tetap setia mengasihi Tuhan dan meninggikan Kristus!
Putri sulung kita pernah bertanya kepadaku, "Jika Tuhan mengasihi kita, mengapa kami bertiga sebagai putra putri mama, sampai sekarang belum mendapat pekerjaan? Mengapa Tuhan begitu cepat memanggil ayah pulang, sehingga kita harus menanggung derita ini?" Sungguh, aku tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena hal yang menimpah keluarga kita, berada di luar dugaan dan sungguh akupun tidak mengerti maksud Tuhan. Dengan kepergiaanmu, maka segala pemecahan masalah rumah, baik besar maupun kecil, dibebankan padaku seorang diri. Dengan kekuatanku, bagaimana aku dapat mengatasinya? Tapi aku mengerti satu hal, bahwa pemikiran Tuhan lebih tinggi dari pemikiranku. Jikalau Tuhan telah menetapkan hal apapun untuk kita, maka segalanya itu pasti indah bagimu dan kita sekalian. Meskipun derita yang kutanggung sangat berat, tapi aku ingin seperti Maria berkata, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut kehendak-Mu di atas diriku ini!"
Aku gemar menyanyi, banyak alunan lagu-lagu rohani serta syairnya sangat indah dan penuh penghiburan. Sejak engkau kembali ke pangkuan Bapa di Surga seperti biasa aku sering main piano dan menyanyi. Aku terkenang semasa engkau masih di sampingku, engkau selalu meminta aku menyanyi sambil diiringi dengan piano. Setiap aku memainkan lagu-lagu yang membawa kenangan, hampir aku tidak sanggup meneruskan, karena air mata tanpa terasa terus menetes ke bawah. Aku tidak mengerti, mengapa aku begitu mudah meneteskan air mata? Apakah karena aku sudah kehilangan cinta kasihmu? Memang "kasih" adalah sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan, tidak dapat dilihat, dan dicium baunya, tapi membawa dampak yang luar biasa dalamnya. Kehidupan yang kita arungi selama tiga puluh tahun, aku benar-benar merasakan cintamkasih dan perhatianmu yang tak putus-putusnya, sehingga membawa kenangan yang tak pernah lenyap. Kini aku mau memuji Dia, Tuhan kita! Walaupun jalan yang terbentang di depan penuh dengan kesulitan, tapi aku tetap akan menyanyi dan bersyukur pada Dia; sebab aku yakin, Dia yang memegang hari esok, bersandar pada kuasa kebangkitan-Nya, aku mampu menantang perjalanan hari esokku, berjalan terus sampai pada akhir hidupku.
Diambil dari:
Judul buku | : | Jalan Tuhan Terindah |
Penulis | : | Pdt. Paulus Daun, M.Div., Th.M |
Penerbit | : | Yayasan Daun Family, Manado 1996 |
Halaman | : | 63 -- 75 |