Tidak Ada yang Kebetulan
Oleh: Nike
Tahun 2013 adalah tahun saya lulus SMP dan masuk SMA. Pengalaman mencari sekolah pada saat itu cukup membingungkan. Orang tua saya menyarankan supaya saya masuk ke sekolah SMA A dan terfavorit di kota saya. Saya menurutinya dan mendaftar di sekolah itu. Sangat banyak pelajar yang mendaftar di sana. Setelah beberapa minggu mengikuti tes masuk, saya datang lagi ke sekolah itu untuk melihat pengumuman, apakah saya diterima atau tidak. Ternyata, saya tidak diterima. Salah satu teman SMP saya, yang juga mengikuti tes, tidak diterima juga. Dia menyarankan kepada papa saya untuk menyogok salah satu guru di SMA A supaya bisa diterima masuk ke sekolah tersebut. Namun, kami menolaknya. Kami tahu cara tersebut tidak benar, takut akan membawa masalah pada kemudian hari. Jadi, kami memutuskan untuk mencari sekolah lain.
Pada saat itu, kami bingung sekali karena sebagian besar sekolah sudah menutup pendaftarannya. Saya mengunjungi SMA B untuk mengecek, tetapi ternyata pendaftarannya sudah tutup. Saat saya dan papa kembali ke parkiran SMA B, seorang cewek membagikan selembaran yang berisi informasi SMA C. Papa saya mengambilnya dan menyarankan untuk hari itu juga mengunjungi sekolah yang ada di selembaran tersebut. Kami berdua pergi ke sekolah tersebut.. Ini pertama kalinya bagi saya mendengar sekolah SMA C tersebut, sempat ada kekhawatiran. Saat kami sampai di sana, saya melihat sekolah ini memiliki lapangan rumput yang sangat luas dan banyak pohon. Walaupun gedungnya tidak bertingkat, lingkungan sekolah ini asri dan nyaman. Papa saya menyarankan supaya saya mendaftar di sekolah ini saja dahulu, untuk sementara, karena sekolah ini hanya perlu mengumpulkan berkas-berkas tertentu tanpa tes, dan sudah bisa diterima masuk. Saya menyetujuinya dan mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran.
Hari pertama masuk SMA, saya tidak mengenal anak-anak lain, bahkan saya tidak menemukan satu pun teman SMP saya. Pada saat itu, sekolah ini juga tidak mengadakan MOS (Masa Orientasi Siswa) seperti sekolah lainnya. Saya merasa aneh, mungkin karena ini baru hari pertama. Saat saya masuk ke kelas, ternyata hanya ada 12 orang termasuk saya yang ada di kelas 9. Saya sempat bingung apakah ini benar satu kelas hanya ada 12 orang. Beberapa hari setelah bersekolah di sana, saya sempat bertanya kepada teman saya mengapa sekarang sekolah SMA C ini jadi sepi. Dia menjawab karena sudah tidak ada peminat lagi, banyak orang memilih bersekolah di sekolah negeri. Beberapa puluh tahun yang lalu, SMA C merupakan SMA favorit pada zamannya, tetapi sekarang sudah tidak lagi.
Seiring berjalannya waktu, saya bisa beradaptasi dengan 11 orang tersebut. Murid yang sedikit memudahkanku untuk mengenal pribadi mereka lebih baik. Tidak butuh lama bagi kami semua untuk akrab. Pernah salah satu dari kami membawa nasi goreng dan satu kelas pun memakannya bersama-sama. Kami sering melakukannya hampir setiap hari, rasanya seperti berkumpul bersama keluarga. Matematika adalah pelajaran yang sangat tidak disukai oleh hampir sebagaian besar kami, terkecuali saya. Ini terjadi karena guru yang mengajarkan matematika menerangkan pelajaran dengan cara yang sangat mudah saya pahami sehingga pelajaran matematika yang tadinya saya tidak suka sewaktu SMP, kini saya sukai.
Sebenarnya, saya masih penasaran dengan apa yang sedang Tuhan rencanakan bagi hidup saya. Bisa saja saya memilih tahun ke-2 SMA untuk keluar dari sekolah tersebut dan mencari sekolah yang lebih baik atau banyak siswanya. Namun, saya bertahan untuk tetap melanjutkan di sekolah SMA C ini. Masih ada tanda tanya besar di hidupku kenapa bisa berakhir di sekolah ini? Namun, saya selalu ingat Firman Tuhan berkata: “bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28). Sebelumnya, papa saya pernah mengatakan bahwa tidak penting saya bersekolah di mana, tetapi yang terpenting adalah saya masih diberi kesempatan untuk bersekolah. Sebab, masih banyak anak di luar sana yang tidak seberuntung saya. Di mana pun saya bersekolah, nilai dan kualitas tetap diri sendiri yang menentukan. Tidak perlu sekolah terbaik untuk menjadi yang terbaik. Bisa saja, jika saya bersekolah di SMA A yang terkenal itu, malah akan membuat saya menjadi minder dan malu mengekspresikan diri dibandingkan jika saya bersekolah di tempat lain. Semua tergantung bagaimana kita menjalankan kehidupan sebagai murid di sana.
Saya tidak menyadari bahwa Tuhan sedang memakai saya untuk membantu sesama di sekolah itu. Saya baru menyadarinya setelah lulus dari SMA, semua yang saya lakukan adalah bagian dari rencana-Nya, bahwa saya bersekolah di SMA C bukan kebetulan. Jika melihat ke belakang, saya menyadari kehadiran diriku di tengah-tengah teman-teman adalah untuk membantu mereka. Saya tidak pintar Matematika, tetapi saya memahami pelajaran yang guru berikan dengan baik sehingga jika teman-teman merasa bingung dengan pelajaran tersebut, saya bisa membantu mereka menyelesaikannya. Guru matematika juga melihat saya memiliki potensi dan meminta supaya saya bisa mewakili sekolah untuk lomba matematika yang diadakan oleh salah satu universitas. Walaupun tidak menang, tetapi saya bersyukur bisa mewakili sekolah ke perlombaan. Tidak hanya Matematika, saya juga membantu teman-teman untuk belajar bahasa Inggris. Pada akhirnya, tidak terasa saya sudah lulus dari SMA. Puji Tuhan!
Tuhan menempatkan kita di tempat yang sekarang bukan karena kebetulan, Tuhan memakai kita dengan cara-Nya untuk membantu sesama di sekitar kita. Sudahkah kita peka akan panggilan-Nya?