Buah Hati Itu Telah Tiba
Di panti asuhan saya (Iwan) dididik secara katolik. Meskipun ketatnya peraturan serta ajaran-ajaran agama yang berlaku, tapi hukum rimba juga terjadi. Di sana, anak-anak orang kaya tidak setiap bulannya mendapatkan jatah kiriman makanan dari orang tuanya, akibatnya sering terjadi perebutan dan perkelahian antarpenghuni panti. Oleh karena itu, mereka sering menggunakan jasa "tukang pukul" yang tidak lain adalah teman-teman mereka sendiri yang memiliki keberanian lebih. Karena mendapatkan imbalan yang cukup besar, biasanya tenaga "tukang pukul" itu berasal dari anak-anak dari golongan yang tidak mampu dan saya adalah salah satu tukang pukul yang "disewa" oleh mereka.
Saya mengawali profesi sebagai tukang pukul sejak di bangku SD. Setiap hari saya berkelahi dengan teman-teman sendiri demi membela "tuan kecil" saya. Bukannya kapok, lama-kelamaan saya justru semakin menyukai profesi ini, bahkan semakin meningkat menjadi preman hingga saya SMA. Sebagai bekal keberanian, saya aktif mengikuti kegiatan beladiri hingga sabuk hitam. Pada waktu itu tindakan saya sudah sangat meresahkan teman-teman karena hampir tiap hari saya selalu mengompas mereka.
Setelah menikah, saya masih tetap menjalankan pekerjaan ini, bahkan saya mulai mempelajari ilmu kebal tahan pukul dan tahan bacok. Tapi, rupanya ilmu yang saya pelajari itu tidak banyak menolong, suatu ketika badan saya terasa sangat sakit sehabis dipukul oleh orang karena risiko pekerjaan. Tubuh terasa panas dan kepala sangat pusing, sedemikian sakitnya, saya bahkan sampai membentur-benturkan kepala ke tembok.
Obat sakit kepala segala merek telah saya minum, namun hasilnya tidak mengurangi rasa sakit itu. Sehabis demam yang tinggi itu, tubuh saya langsung berubah menggigil kedinginan. Belum habis saya kedinginan, kemudian badan saya rasanya seperti digigit ribuat semut. Seorang teman datang kepada saya, "Kamu mau sembuh?" katanya. "Ya, tentu saja. Terserah, kamu mau pakai cara apa saja, aku mau!" Saya menjawab dengan penuh harap. "Baiklah, kalau begitu saya akan ajak pendeta saya kesini supaya kamu didoakan." Dia berkata dengan penuh keyakinan.
Malam harinya kira-kira pukul 10, seorang pendeta bersama istrinya datang ke rumah. Mereka mengajukan banyak pertanyaan termasuk diantaranya apabila saya sembuh nanti apakah saya mau rajin pergi ke gereja. Pertanyaan-pertanyaan itu langsung saya balas, "Sudah Pak, percayalah, saya akan pergi ke gereja setelah saya sembuh nanti. Jangan terlalu banyak ngomong, cepat doakan saya!" Setelah berdoa, pendeta itu pamit pulang sambil berpesan, "Nanti kalau sudah sembuh, bapak harus rajin ikut persekutuan." Kami mengiyakan dan berjanji akan mencari persekutuan yang terdekat.
Tak lama setelah itu, saya lalu pergi tidur. Keesokkan paginya, ternyata benar. Saya sudah sembuh! Tapi dasar manusia, setelah sembuh saya melupakan janji saya kepada Tuhan dan pendeta tadi untuk pergi ibadah dan ke persekutuan. Akhirnya kejadian serupa saya alami kembali, saya dipukul lagi oleh orang. Saya kembali ambruk, bahkan melebihi sakit yang dulu. Lalu pendeta itu datang lagi dan menegaskan bahwa saya harus berubah dan taat beribadah. Bukannya tambah sembuh, kondisi saya malah semakin parah. Sambil menahan sakit saya katakan, "Wah, pendeta ini sudah tidak mempan lagi rupanya."
Suatu hari istri dan pembantu saya sedang tidak berada di rumah, rasa sakit saya berada pada puncaknya, sambil bergulingan di lantai dan berteriak kesakitan. Lalu saya melakukan tindakan yang paling memalukan seumur hidup, saya menangis sejadi-jadinya. Itu adalah pertama kalinya saya menangis. Saya berlutut, minta ampun kepada Tuhan dan berjanji untuk bersungguh-sungguh melayani Dia dan rajin beribadah. Seketika itu juga, tubuh saya terasa hangat seperti ada sesuatu yang mengalir ke dalam tubuh saya. Dan mendadak rasa gatal dan nyeri tubuh saya hilang. Saya mulai rajin beribadah dan aktif di gereja, meskipun pada waktu itu rambut saja masih gondrong dan sangar. Saya sempat risih dengan cara-cara ibadah dengan bertepuk tangan dan menari-nari, tapi lama kelamaan saya menjadi terbiasa dan mulai menikmati suasana itu. Kehidupan saya pun mulai diubahkan.
Selama 6 tahun menikah, kami belum memperoleh keturunan. Lalu saya mengajak istri untuk periksa ke dokter, bahkan saya sempat dioperasi kecil oleh dokter spesialis kandungan. Sudah banyak uang kami habiskan hanya untuk periksa, terapi, dan berbagai macam tes. Meskipun kami dinyatakan sehat, tapi tetap tidak menghasilkan sesuatu yang menyatakan bahwa kami bisa memperoleh keturunan. Suatu ketika, istri dari adik saya melahirkan. Tiba-tiba saya disuruh mengambil bayi mereka di rumah sakit dan meminta kami untuk mengangkatnya menjadi anak karena mereka belum siap untuk mengurus bayi. Dalam keadaan merah, bayi itu langsung saya bawa pulang dan saya cuci sendiri ari-arinya. Senangnya kami pada waktu itu karena telah memunyai momongan, meskipun kami masih tetap berharap bahwa akan memiliki anak kandung sendiri.
Keinginan kami untuk punya anak sendiri telah terkubur lama, lalu kami mengisi hari-hari kami dengan ikut persekutuan dan aktif melayani di gereja. Seorang teman mengajak saya untuk hadir di dalam suatu pertemuan bagi para pengusaha. "Tidak, saya tidak mau datang ke pertemuan itu karena biasanya pengusaha itu sombong-sombong." Saya menolak dengan tegas. Tapi dengan gigihnya dia berusaha meyakinkan saya bahwa mereka semua adalah orang yang baik. Akhirnya saya menyetujui untuk datang ke pertemuan itu. Setiba di sana saya disambut dengan sangat ramah dan mereka kelihatan sangat bersukacita dengan kehadiran saya, suatu hal yang belum pernah saya alami sebelumnya dimana mereka mau menerima saya apa adanya. Semakin betah di pertemuan pengusaha itu lalu saya mengajak istri untuk juga ikut aktif dan bergabung dalam pertemuan "ladies of fellowship".
Tahun 2004, istri saya mengalami bengkak-bengkak pada kakinya, kalaupun ada bengkak di bagian tubuh yang lain tidak akan terlalu kelihatan karena postur tubuhnya yang gemuk. Saya menduga bahwa dia sakit ginjal, lalu saya belikan obat-obatan untuk sakit ginjal karena dia selalu menolak untuk dibawa ke dokter. Karena bengkaknya sepertinya tidak ada perubahan, saya coba panggilkan dukun pijat, siapa tahu dengan di pijat dan urut bengkak pada kakinya akan mengempes, tapi tetap tidak ada hasil, malah katanya perutnya bertambah mules-mules. Beberapa hari kemudian, keponakan kami yang badannya gemuk-gemuk datang dan ikut memijat istri saya, karena pijatnya tidak terasa mereka lalu naik ke atas dan "menginjak-injak" tubuh istri saya supaya lebih mantap.
Lama tak ada perubahan dari bengkaknya dan kini ditambah dengan seringnya mulas-mulas, saya mulai khawatir dia terkena lever, lalu dengan bantuan dari keluarga kami memaksa agar dia mau dibawa ke dokter dan dia setuju. Kami bawa dia ke internist, dan menurut hasil pemeriksaan, di dalam perut istri saya ada airnya sekitar 6 liter dan jika tidak ditangani segera akan membahayakan dirinya.
Lalu kami diberi surat pengantar ke laboratorium untuk pemeriksaan lebih detil termasuk periksa USG. Di laboratorium istri saya menjalani seluruh tes, dan kami dikejutkan dengan pernyataan dokter, "Menurut pemeriksaan alat kami, istri bapak sudah hamil 8 bulan." Hamil? 8 bulan? Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kenapa selama ini kami tidak tahu. Apa karena postur tubuh istri saya yang gemuk sehingga tidak kelihatan bahwa dia sedang hamil. Memang siklus haid istri saya tidak seperti wanita pada umumnya, dia bisa mendapat haid 6 bulan, bahkan setahun sekali. Lagi pula siapa yang menyangka dalam usia kami yang lebih dari 40 tahun kami akan dikarunia seorang anak.
Lalu timbul kekhawatiran dari kami mengingat perut istri saya pernah diinjak-injak oleh keponakan-keponakan kami. "Dokter, apakah anak kami akan lahir cacat? Mengingat iseri saya dulu pernah di pijat dengan cara "diinjak-injak" oleh keponakan kami." Saya bertanya kepada dokter itu dengan nada cemas. "Oh, tidak. Tidak masalah. Anak bapak sangat sehat. Bulan depan ibu sudah dapat melahirkan."
Kemudian kami diberi surat pengantar ke rumah sakit bersalin, keesokan paginya kami berangkat ke sana. Pihak rumah sakit menyarankan agar istri saya segera dioperasi minggu depan. Timbul kecurigaan dalam hati saya, kenapa keputusan persalinan itu harus cepat dilaksanakan. "Dok, apakah ada masalah dalam kandungan istri saya, sehingga harus di operasi secepat itu?" Ketakutan saya adalah apakah bayi tersebut akan lahir cacat, lagipula saya mempertimbangkan usia istri saya yang beresiko untuk melahirkan. "Tidak perlu menunggu terlalu lama pak, untuk sesuatu yang bisa kita lakukan sekarang." Dokter itu meyakinkan saya bahwa semuanya akan berjalan baik. Tapi saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi kami dan seandainya Dia memberikan yang buruk, saya "mengancam" tidak akan bersaksi mengenai kebaikan Tuhan lagi.
Akhirnya anak kami lahir dengan normal. Tapi saya masih merasakan keganjilan karena sejak keluar dari rahim kenapa bayi saya tidak menangis seperti bayi lainnya. Ketakutan kembali menyelimuti saya, dalam kepanikan itu saya berseru dan berdoa kepada Tuhan, supaya anak saya jangan lahir cacat. Selesai berdoa, mujizat segera terjadi. Anak kami akhirnya menangis sangat keras, bahkan paling keras di antara bayi-bayi yang lain. Kami sangat gembira melihatnya dan bersyukur kepada Tuhan. 25 tahun penantian kami, apa yang semula sempat kami abaikan dan tidak kami pikirkan ternyata Tuhan masih mengingatnya dan menyediakannya. Dia setia pada janji di saat kita sungguh-sungguh melayani Dia. (DS/Pet)
Diambil dari:
Judul majalah | : | VOICE Indonesia, Edisi 86, Tahun 2006 |
Penulis | : | DS/Pet |
Penerbit | : | Communication Department -- Full Gospel Business's |
Men Fellowship International -- Indonesia: Yayasan Usahawan | ||
Injil Sepenuhnya Internasional (PUISI), Jakarta | ||
Halaman | : | 23 -- 28 |