Masih Ada Jalan Keluar
Sejak saya (RL) masih anak-anak sampai menjadi seorang pemuda, saya menjalani hidup dengan baik dan nyaris tanpa masalah yang berarti. Ketika itu, saya belum menjadi orang Kristen.
Pada tahun 1989, tidak begitu lama setelah saya menyelesaikan kuliah di Universitas Advent, Manado, saya diterima bekerja pada sebuah perusahaan pelayaran dan dipercaya untuk mengurus kegiatan operasional yang berkantor di Jakarta. Setelah beberapa bulan hidup di tengah-tengah kota metropolitan, saya mulai terlibat dengan kehidupan dunia malam. Pada awalnya hanyalah sebatas menemani tamu untuk mencari hiburan dan melepaskan dahaga. Tetapi tidak lama kemudian, saya mulai menikmatinya. Dan akhirnya apabila dalam semalam tidak dilewatkan dengan berjudi dan mabuk-mabukan bersama wanita-wanita di diskotik, rasanya malam itu adalah malam yang hampa.
Pada 1990, ketika saya ditugaskan untuk menangani cabang perusahaan yang berada di Surabaya, kebiasaan keluyuran pada malam hari terus berlangsung dengan aman. Bahkan kehadiran saya di diskotik-diskotik bukan lagi sekadar berjudi atau mabuk-mabukan. Saya mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang. Pertama-tama, saya hanya menelan pil ekstasi yang diberikan oleh kawan saya secara gratis. Setelah menelannya, saya mengalami perasaan yang sangat luar biasa. Dalam waktu sekejap, semua persoalan yang rumit tiba-tiba hilang dan berubah menjadi suasana indah.
Pada tahun 1995, saya ditugaskan kembali untuk menangani kegiatan operasional cabang perusahaan di Jakarta. Kegemaran saya berpetualang di dunia malam dan mengonsumsi obat-obatan terlarang semakin tidak terbendung lagi. Saat itu, bukan hanya dosis pemakaian pil ekstasi yang semakin meningkat, saya juga mulai mengonsumsi putaw.
Judi bukan lagi sekadar hobi. Saya bahkan bersedia keluar dari perusahaan dan membuat usaha judi sebagai lahan bisnis. Di Jakarta, saya mengelola judi sepakbola dan judi dari Singapura. Saya merekrut beberapa anak buah dan menempatkan mereka sebagai agen di berbagai kota di Indonesia. Dalam waktu singkat, omzetnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Ketika saya sibuk menikmati "indahnya" dunia kegelapan tersebut, saya tidak sadar telah menjerumuskan diri ke dalam dunia perdukunan. Sekalipun hati kecil saya mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan ini adalah pekerjaan yang merusak moral masyarakat dan bangsa, tetapi saya tidak berdaya untuk melepaskan diri dari kegelapan tersebut.
Pada tahun 1997, dalam melakukan kegiatan judi, saya berharap kepada paranormal, dukun-dukun, dan orang-orang pintar lainnya. Saya percaya mereka dapat mengatur nomor-nomor yang akan keluar dan memberikan keuntungan bagi saya. Namun, sering terjadi nomor-nomor agen sayalah yang keluar sebagai pemenang. Karena dalam setiap pengundian selalu saja terjadi seperti kejadian di atas, maka keadaan keuangan saya pun menipis, dan saya tidak mampu lagi membayar para pemenang. Hal itu tidak hanya mengakibatkan lilitan utang yang semakin besar, tetapi saya juga sering diancam dan dikejar-kejar para pemenang judi. Di dalam kehidupan yang penuh kekosongan dan keputusasaan, saya sempat berpikir untuk bunuh diri.
Bulan Juli 1997, ketika saya sedang berpikir tentang bagaimana cara yang terbaik untuk bunuh diri, tanpa saya undang, seorang ibu datang mengunjungi saya. Dia melihat kehidupan saya terguncang oleh begitu banyak masalah. Dia lalu mengajak saya mengunjungi sebuah pertemuan gereja di Jakarta. Sebenarnya saya tidak begitu merespons tawaran tersebut karena yang sangat saya butuhkan saat itu adalah uang untuk membayar utang-utang saya. Di samping itu, saya berpikir bahwa saya bukanlah seorang Kristen yang setia. Tetapi karena saya sedang menghadapi jalan buntu, dan berharap mudah-mudahan akan ada jalan keluar bagi permasalahan saya, maka saya mengikutinya beribadah ke gereja dengan sedikit terpaksa.
Ketika saya berada di antara puluhan umat yang hadir di gereja, saya merasakan seolah-olah saya sendirilah yang sedang tertindih beban yang sangat berat di punggung saya. Tetapi beberapa menit kemudian, saya merasakan tangan Tuhan yang ajaib itu mulai mengangkat beban berat saya, terutama pada saat sebuah ayat dibacakan, bahwa "Tuhan adalah Tuhan yang cemburu, dan jangan menyembah allah lain di hadapan-Ku". Firman tersebut ibarat sebuah palu besar yang sedang dipukulkan ke kepala saya. Bagaimanapun juga, saya harus menerimanya sebagai konsekuensi dari seluruh perbuatan-perbuatan jahat saya. Tuhan ingin mengatakan kepada saya bahwa Dialah Tuhan yang nyata dan bukan khayalan. Sejak pertengahan Juli 1997, saya membuat komitmen di hadapan Tuhan bahwa saya memutuskan hubungan dengan paranormal, dukun-dukun, dan berjanji untuk meninggalkan pekerjaan ilegal tersebut serta berjalan dengan lurus di hadapan-Nya. Pada suatu hari, kawan baik saya menganjurkan agar saya kembali ke Manado dan memulai usaha yang baru.
Pada Januari 1998, walaupun kawan-kawan yang lain mengutarakan rasa pesimis mereka akan keberhasilan saya dalam usaha itu, tetapi setelah mendapat dukungan dari Tuhan, ternyata Dia tidak hanya menolong sehingga usaha itu berjalan dengan baik, tetapi Dia juga memberikan jalan keluar yang terbaik bagi hidup saya. Setelah saya menikah pada Mei 1998, Tuhan semakin menyatakan penyertaannya dalam hidup saya. Pengiriman cengkih dari Manado ke pulau Jawa maupun pengiriman barang-barang dari pulau Jawa ke Manado yang dipercayakan kepada perusahaan ekspedisi kami semakin meningkat. Pada 2001 yang lalu, saya bersyukur kepada Tuhan karena kami telah melunasi seluruh utang-utang pada masa lalu. Bahkan lebih dari itu, untuk membalas kasih sayang Tuhan yang luar biasa, saya berjanji memberikan hidup saya untuk membantu mengembangkan pelayanan di daerah Manado dan memberikan waktu serta dana bagi perjalanan pelayanan ke daerah-daerah seperti Halmahera, Tentena, Poso, dan kota-kota lain di Indonesia bagian timur.
Diambil dan disunting dari: | ||
Judul majalah | : | SUARA, Edisi 69, Tahun 2003 |
Penulis | : | KM |
Penerbit | : | Communication Department Full Gospel Business Men's Fellowship International - Indonesia |
Halaman | : | 13 -- 15 |