Tak Ada Kata Terlambat untuk Dapat Dipakai Allah
Saya dibaptis pada Desember 1937, ketika saya berumur 2 tahun. Ketika saya masih anak-anak, sebelum Perang Dunia II, orang tua saya adalah orang-orang yang cukup rajin pergi ke gereja dan di situlah saya menemukan akar saya. Banyak lagu himne lama yang saya ingat dari masa- masa itu. Akan tetapi, ketika Perang Dunia II berakhir di Singapura, ketika saya berusia remaja, saya mengalami kemunduran. Baik saya maupun orang tua, saya tidak lagi rajin pergi ke gereja.
Ketika saya menengok ke belakang, saya pikir sangat menakjubkan bahwa saya dapat mencapai banyak hal, tanpa perlu berusaha sekuat tenaga. Saya bukan seorang kutu buku, tetapi saya cukup berhasil di sekolah. Setelah itu, saya melanjutkan kuliah di Inggris, di bidang obat-obatan. Akan tetapi, setelah meraih gelar umum dan menjalani pendidikan klinis, saya memutuskan untuk tidak menjadi seorang dokter dan tidak pernah mengambil ujian akhir saya.
Setelah itu, saya mengambil pekerjaan menjadi penjual bahan-bahan kimia. Pada suatu hari, seorang teman saya, Joe Pillay, yang ketika itu menjadi Ketua Dewan Singapore International Airlines (SIA), melihat saya di jalan dan berkata, "Apa yang kau lakukan di sini?" Saya menjawabnya, "Menjual bahan-bahan kimia." Ia pun membalas saya, "Jangan membuang waktumu! Ikutlah aku, bekerjalah di Economic Development Board (EDB)."
Saya pun akhirnya bekerja di EDB pemerintah Singapura dan secara bertahap menaiki setiap jenjang jabatan. Sepertinya, saya selalu mendapat promosi sekalipun saya tidak pernah mengusahakannya. Segala sesuatu saya dapatkan dengan begitu mudah sebelum krisis datang dalam kehidupan pernikahan saya.
Istri saya lebih muda 13 tahun umurnya. Jadi, saat kami menikah, saya berumur hampir 40 tahun, sedangkan ia masih berumur sekitar 27 tahun. Saat kami menikah, EDB menempatkan kami di London. Jadi, rumah pertama yang kami tinggali adalah sebuah apartemen mewah, sangat mahal, lengkap dengan gelas anggur, dan segalanya. Kemudian, Kementerian Luar Negeri meminjam saya selama 3,5 tahun untuk menjadi Duta Besar. Jadi, kami pun pindah ke sebuah rumah di sebuah kota di Eropa bernama Brussels. Wilayah kerja saya adalah seluruh benua Eropa. Saya bepergian selama 2 atau mungkin 3 minggu selama sebulan. Anak saya, ketika dia masih kecil, bertanya-tanya tentang orang asing yang hanya datang ke rumah setiap akhir minggu saja. Ia benar-benar tidak mengenali saya.
Setelah 3,5 tahun di Brussels, kami kembali ke Singapura karena saya diminta untuk mengambil alih jabatan ketua dewan EDB.
Saat ini, ketika saya mengingat hari-hari itu, seharusnya saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan istri dan anak saya. Saat itu, saya tidak menghiraukan mereka dan datanglah krisis yang sebenarnya. Anak saya mulai duduk di bangku sekolah dan istri saya ingin kembali bekerja. Keadaan tersebut benar-benar menjadi sebuah titik tolak yang sangat serius dalam kehidupan keluarga kami. Saya maupun istri terlalu serius dalam mengejar karier kami masing-masing, sehingga hubungan semakin renggang. Pernikahan kami benar-benar berantakan. Saya rasa pernikahan kami tidak akan bertahan jika Tuhan tidak turut campur tangan.
Istri saya yang pertama kali berubah. Saat itu, ia mulai mengikuti persekutuan pendalaman Alkitab, sementara saya mengalami masalah di tempat kerja, masalah di rumah, dan masalah dengan anak kami (saat itu David berumur sekitar 10 tahun).
Saya rasa, salah satu bentuk campur tangan Tuhan saat itu adalah pindahnya kami ke sebuah rumah yang hanya berjarak dua rumah saja dari kediaman Dr. Benjamin Chew, mantan ketua dewan Youth for Christ (YFC). Dr. Chew adalah orang yang sangat memerhatikan kami, jadi beliau mengundang kami ke dalam sebuah jamuan makan malam yang diadakan oleh Campus Crusade untuk orang dewasa.
Kami pun pergi ke jamuan tersebut, dan karena sebuah keajaiban saja, anak kami yang berumur 10 tahun itu diizinkan untuk ikut serta.
Pada saat itu, David memiliki kebiasaan yang sedikit aneh. Ia suka mengisi formulir tanggapan pelanggan, baik ketika kami naik pesawat, menginap di hotel, ketika kami makan di Kentucky Fried Chicken ..., jika ada formulir yang berisi pertanyaan, "Bagaimana tanggapan Anda terhadap pelayanan kami?" maka ia pun akan mengisi formulir tersebut. Jadi, setelah makan malam, ketika formulir tanggapan itu diedarkan, David mengisi salah satunya. Orang-orang di tempat itu tidak pernah menanyakan umurnya, saya rasa mereka semua berasumsi bahwa semua undangan yang datang malam itu adalah orang-orang dewasa.
Dua minggu kemudian, ia mendapat selebaran yang dikirimkan oleh Campus Crusade tentang "Seminar Pemulihan Pernikahan". Saya dan istri saya berpikir, "Seminar ini benar-benar belum cocok untuk David, tetapi sangat cocok bagi kami."
Jadi, kami berdua pun pergi ke seminar itu. Selama seminar itu berlangsung, saya kembali kepada Tuhan. Saat itu saya benar-benar yakin bahwa saya tidak menyukai kehidupan saya yang lama. Dan setelah itu, pandangan saya terhadap segala sesuatu benar-benar berubah. Kecemasan saya terhadap pekerjaan sekular saya menjadi tidak terasa, kenyataannya, hal itu menjadi tidak terlalu penting lagi.
Tiba-tiba, kami merasa bahwa kami dikelilingi oleh saudara dan saudari yang baik. Peluang pelayanan pun terbuka bagi kami dan saat itulah seorang teman kami mengenalkan saya kepada YFC.
Saya kembali melihat ke belakang dan menyadari, bahwa batu sandungan bagi saya selama ini adalah kesombongan saya. Saya biasa berpikir, "Saya dapat melakukan segalanya. Segala sesuatu dapat dengan mudah datang kepada saya, jadi saya tidak perlu bergantung kepada Allah." Pada saat-saat tertentulah, seperti keadaan keluarga yang memburuk, Anda baru menyadari bahwa tidak ada apapun yang dapat Anda lakukan.
Beberapa dari kita membutuhkan cambukan. Beberapa orang lain begitu diberkati karena mereka tidak membutuhkannya, mereka dapat menyadari hal-hal tertentu tanpa harus mendapat lecutan. Tetapi saya khawatir, saya masih membutuhkan cambukan itu dan kadang-kadang harus terus dipecut dari waktu ke waktu.
Saya harus sampai ke suatu titik yang membuat saya berkata, "Aku tidak dapat menyelesaikan masalahku sendiri." Dan saat itulah, saya melihat secercah cahaya. Saya belajar bahwa Allah ialah sauh dalam hidup saya. Bukan saya yang memegang seluruh kehidupan saya, hanya Allah saja.
Pada suatu titik tertentu, saya berpikir bahwa seandainya saja saya datang kepada Tuhan lebih awal, tentu saya menghindarkan diri saya dari banyak rasa sakit. Akan tetapi, Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, bahkan terhadap orang yang melawan-Nya sekalipun. Pada saat itu, saya yakin Anda tidak dapat berkata bahwa semuanya telah terlambat!
Catatan: P.Y. Hwang adalah seorang mantan Ketua Dewan EDB pemerintah Singapura. Kini beliau melayani sebagai sukarelawan bagi Associate Regional Director bagi RBC Ministries Asia. Terlepas dari pelayanannya sebagai Area Team Member, ia juga membantu YFCI Asia Pacific untuk mendirikan pelayanan-pelayanan strategis di China. (t/Yudo)
Diterjemahkan dari: | ||
Judul buku | : | One Life to Live |
Judul asli Artikel | : | It`s Never Too Late... to be used by God |
Penulis | : | P.Y. Hwang |
Penerbit | : | YFCI Asia Pacific |
Halaman | : | 10 -- 12 |