Cara-Nya Berbeda
Oleh: Hendro Saputro
Pukul 07.00, saya sudah di bandara Adisucipto, Yogyakarta, bersiap berangkat ke Sydney, Australia, via Jakarta. Ini perjalanan kedua saya ke sana, untuk menghadiri sebuah konferensi internasional. Semua perlengkapan sudah siap kecuali tiket Jakarta-Sydney yang memang tidak ada di tangan karena pemesanan tiket melalui e-ticket. "Temui petugas di service counter bandara, tunjukkan paspor, dan semuanya akan beres karena pemesanan e-ticket sudah diurus." Saya ingat pesan Paul, sponsor saya waktu itu. "Jangan lupa, pesawat berangkat pukul 13.00 dari Jakarta!"
Baru saja saya menaiki tangga pesawat ke Jakarta, tiba-tiba seluler saya berbunyi, telepon dari Paul. "Di mana kamu sekarang?" tanyanya, suaranya terdengar gusar dan terburu-buru.
"Aku di pesawat sekarang, sebentar lagi berangkat ke Jakarta. Penerbangan ke Australia nanti pukul 13.00 kan?" tegas saya bersemangat.
Saya melirik pramugari yang memberi isyarat agar segera mematikan telepon genggam karena pesawat akan segera lepas landas. Saya mengangguk mengiyakan, sembari hendak mengatakan kepada Paul bahwa saya akan menghubunginya begitu tiba di Jakarta. Namun, suara di seberang sana jelas membuat saya batal menutup telepon.
"Kamu seharusnya sudah ada di Australia sekarang!" Suara itu terdengar tidak sabar. Kontan saya terperangah, belum mengerti apa yang terjadi.
"Pesawatmu sudah berangkat pukul 01.00, tadi malam! Kamu tertinggal!"
Spontan tubuh saya lemas. Darah di tubuh pun naik cepat ke otak. Pikiran saya kalut. Dan, pramugari sudah benar-benar memberi isyarat agar saya mematikan telepon genggam saya.
"Maaf Paul, pesawat akan segera berangkat, aku telepon lagi nanti," ujar saya lirih.
Saya merebahkan punggung di sandaran kursi. Lalu, saya memejamkan mata dan mencoba mencerna apa yang terjadi. Saya terlonjak saat menyadari kesalahan saya. Yang dimaksud Paul "pukul satu" ternyata adalah pukul 01.00 dini hari, bukan pukul 13.00 siang.
Selama perjalanan, pikiran saya menalar, alasan apa yang bisa saya sampaikan ke teman-teman sepelayanan di Australia yang sudah mempersiapkan semuanya; dari akomodasi, ongkos perjalanan, hingga tiket konferensi. Saya masih tidak percaya kalau saya batal berangkat ke Australia. Di tengah pikiran yang kalut, tidak ada yang bisa saya lakukan selain berdoa, berharap mukjizat masih bisa terjadi.
Setibanya di Jakarta, saya bergegas mencari kantor maskapai penerbangan ke Australia. Saya masih berharap ada tiket untuk penerbangan hari itu ke Australia, dengan harga diskon tentunya. Hanya itu yang tebersit dalam pikiran saya, meski saya tidak membawa banyak uang. Bahkan, saya tidak tahu berapa harga tiket ke Australia.
"Paling tidak aku mencoba cari tahu," pikir saya. Sampai di depan kantor maskapai, saya harus kecewa karena ternyata kantor maskapai itu tutup hari itu. Saya benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Saya pun terduduk di lantai, menarik napas dengan berat. Saya embuskan lagi panjang-panjang sambil berharap ketegangan di otak saya ikut menguap. Saya membenamkan wajah dalam lipatan tangan yang saya sandarkan pada kedua lutut.
Dalam kebingungan saya, masuk beberapa SMS dari teman di Australia, turut menyesalkan kejadian ini. Rupanya "kisah saya" sudah tersebar di sana. Hati ini makin ciut, saya berharap terjadi mukjizat walau saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya sangat percaya bahwa Tuhan dapat membuat mukjizat. Walau berharap Tuhan memutar kembali waktu, tetapi saya menyadari itu jelas sebuah kekonyolan.
"Malam ini segera ke service counter, kami sudah urus tiket baru. Jadwal penerbanganmu nanti pukul 20.55 malam ini." Suara Paul di seberang lebih tenang dari sebelumnya.
Akhirnya, saya pun berada di pesawat ke Australia. Sedikit lega karena tetap bisa berangkat, tetapi belum cukup menyingkirkan rasa bersalah saya. "Mereka harus mengeluarkan uang lagi untuk keberangkatan saya, yang pastinya tidak sedikit." Sepanjang penerbangan enam jam pikiran saya terus dipenuhi kata-kata itu.
Setibanya di Australia, Paul menyambut saya dengan tersenyum. "Kamu pasti terus berdoa setelah kejadian itu," katanya bersemangat. Matanya berbinar-binar seolah menyimpan sebuah kejutan.
"Ya, tentu saja" jawab saya, masih dengan perasaan bersalah. "Tahukah kamu, ketika aku menelepon kantor pesawat yang seharusnya kamu tumpangi dan menceritakan apa yang terjadi, mereka mengatakan bahwa ada satu penumpang yang batal berangkat ke Australia dan kamu diizinkan menggantikan tempat duduknya."
Mulut saya ternganga. Paul melanjutkan, "Dan ajaibnya, tanpa "charge" atau tambahan biaya apa pun! Itu sungguh tidak pernah terjadi."
Dengan mulut ternganga, senyum saya mengembang, ternyata mukjizat Tuhan bekerja di luar dugaan saya. "Dia memang punya cara sendiri," ujar saya di hati, "Yang tentu saja, kreatif dan tidak terduga!"
Diambil dari:
Judul buku | : | Aku Takkan Menyerah |
Penulis | : | Tim Sekolah Penulis Gloria |
Penerbit | : | Gloria Graffa, Yogyakarta 2010 |
Halaman | : | 18 -- 20 |