Pengalaman Mengajar di Suku Wana
"Mereka mulai mengelilingiku, memegang rambutku dan menarik-nariknya, mengelus-elus kulitku, mereka tampak begitu heran melihat aku seakan-akan aku adalah makhluk asing dari bulan."
Januari 2016, Suriati tiba di Morowali, Sulawesi Tengah. Ia ditemani Intan, mereka adalah guru taman kanak-kanak. Dikawal beberapa rekan dan orang Wana sebagai pemandu, pagi-pagi sekali mereka memulai pendakian dari pos pertama di kaki gunung. Sesekali bertemu trek yang terjal, atau menuruni jalan yang jalan yang curam, lalu menyeberangi sungai-sungai.
Dalam perjalanan kadang berpapasan dengan laki-laki Wana yang sedang berburu atau mencari makanan di hutan dengan tombak di tangan sambil menggendong keranjang bambu di punggung mereka. Dengan rasa ngeri Suri memperhatikan raut wajah mereka yang menyeramkan dengan rambut panjang dan janggut yang tumbuh tak beraturan.
Setelah pendakian yang berat, menjelang senja mereka tiba di suatu tempat bernama Palemoro di tepi aliran sungai, arusnya sangat deras dan berbahaya untuk diseberangi. Mereka mengambil jalur alternatif dengan melalui tebing, lalu dengan sulur-sulur pohon yang menjuntai di atas sungai mereka berayun ke seberang.
Beberapa waktu kemudian mereka tiba di pedataran yang ditumbuhi alang-alang. Perlahan Suri mulai mengatur napasnya yang terengah-engah sambil menyeka keringat di wajah. Pandangannya tertuju ke arah rumah kayu besar beratap daun di mana terdapat puluhan anak-anak yang berdiri di depan menatap ke arahnya dengan tak berkedip.
"Selamat datang di Saliano," sapa Lendi Tampi, seniornya yang telah berada di sana sejak setahun sebelumnya. Suri dan Intan segera bergabung dengan rekan-rekan yang telah duluan di sana untuk membangun pendidikan dan mengangkat harkat hidup Suku Wana.
Suri bersama rekan lainnya tinggal di gubuk-gubuk beratap daun dan berdinding anyaman bambu. "Ketika hujan turun, maka air akan dengan deras terjun ke atas balai bambu tempat tidur kami. Kalau sudah begitu, kami hanya bisa mencari sudut kamar yang tidak bocor, dan duduk sepanjang malam."
"Kadang dalam duduk menanti hujan berhenti, aku merasa kesepian, lalu rindu rumah," kenang Suri. Namun homesick itu segera sirna ketika pagi merekah dan sekolah dimulai. Suri menjadi guru di sekolah darurat yang didirikan untuk anak-anak Suku Wana.
Ibu Guru Dari Bulan
Mengajar anak-anak suku terasing ini awalnya agak kesulitan juga, ujarnya. Bersama Intan, rekannya, mereka berdua adalah guru TK pertama yang merintis layanan pendidikan anak usia dini di sana. Tiga bulan pertama memang amat sulit karena Suri belum menguasai bahasa Wana, perlahan ia mulai belajar, membuat kamus kecilnya sendiri untuk permudah percakapan.
TK berjalan dengan kurikulum PAUD, memakai buku berbahasa Indonesia, meski penyampaiannya bercampur bahasa Wana. Harapannya anak-anak akan paham Bahasa Indonesia nantinya. Bersama Intan ia memperkenalkan mereka dengan abjad, menulis, membaca, bernyanyi, dan menggambar, bahkan juga pendidikan kesehatan.
Anak-anak ini sangat jorok, tubuh mereka sangat kotor, begitupun rambut, kuku, dan gigi. Bahkan ingus mereka dibiarkan meleleh hingga mengering. Banyak mereka yang juga berpenyakit kulit. Ketika aku mengajar, anak-anak mulai mengelilingiku, mereka mulai memegang-megang rambutku dan menarik-nariknya, mengelus-elus kulitku, mereka tampak begitu heran melihat aku seakan-akan aku adalah makhluk asing dari bulan, ujar Suri mengisahkan pengalaman pertamanya.
Akhirnya aku tahu, itu karena selama ini mereka tidak pernah melihat sosok "Bu Guru", yang mereka tahu hanyalah "Pak guru", bahkan mereka juga memanggilku dengan sebutan "Pak guru", lanjut Suri tertawa.
Sejak itu ia selalu menjadi pusat perhatian bagi anak-anak dan remaja putri. Mereka begitu heran melihat rambutku yang lurus dan bersih. ketika akan mandi di sungai, mereka sudah berkumpul untuk melihat aku mandi, bagaimana aku membersihkan tubuh dengan sabun, bagaimana aku mencuci rambut dengan shampoo, menyikat gigi. Lalu mereka semua mulai menirukan semua gerakanku, bahkan setiap hal-hal kecil yang aku lakukan. Aku sempat malu juga, namun aku tahu ini adalah proses imitasi, menirukan, jadi aku harus bersikap baik di depan mereka agar mereka juga bisa menirunya.
Bagi remaja putri, aku menjadi kakak mereka, aku mengajarkan bagaimana harus memakai pembalut wanita ketika sedang haid, kami menyediakan stok pembalut setiap bulan untuk mereka. Aku mengajar mereka bagaimana sebaiknya bergaul dengan lawan jenis, dan hal-hal yang pribadi bagi remaja putri.
Rumah Pohon
Tak hanya mengajar di sekolah, bersama Intan ia juga pergi mengunjungi gubuk-gubuk muridnya di hutan. "Kami kadang terpaksa harus menginap karena kemalaman atau cuaca buruk". menginap di rumah orang Wana sungguh jauh dari kata "nyaman". Rumah mereka adalah gubuk beratap daun yang tidak berdinding, dengan perapian yang menyala di tengahnya. "kami tidur membujur di atas bambu dengan kaki mendekati perapian, sementara embusan angin terutama menerpa tiada henti, dingin bukan main," kenangnya.
Mie Sakura
Juni 2006, Iklim sangat tidak bersahabat, Suku Wana gagal panen. Mereka belum mengenal sistem lumbung untuk menyimpan persediaan makanan. Kelaparan hebat pun terjadi di Suku Wana. "Anak-anak mereka semua datang ke sekolah untuk meminta makan, lebih dari seratus anak jumlahnya, mereka akhirnya kami tampung dan tinggal di sekolah, kami menanggung semua kebutuhan makan mereka dengan persediaan logistik yang kami miliki".
"akhirnya, beras kami habis. Mie Sakura dan pisang menjadi makanan yang sangat mewah di sana waktu itu. Sampai kemudian seluruh persediaan makanan benar-benar habis". Suri bersama rekan lainnya pun mengalami kelaparan. Selama beberapa bulan mereka hanya makan pisang dan gadung (sejenis umbi beracun) yang harus ekstra hati-hati mengolahnya sebelum bisa dimakan. Kelaparan berlangsung hingga hampir menjelang Natal tahun 2006.
Permaisuri Sailano
Medan yang berat, iklim yang tidak bersahabat, serta kondisi tempat tinggal yang tidak layak akhirnya menjadi ujian berat baginya. Januari 2007, Suri jatuh sakit. Ia menderita panas tinggi sekaligus menggigil kedinginan, sekujur tubuh meriang, dan kepalanya sakit. Kian hari kondisinya kian mengenaskan, tubuhnya sampai kurus. Enam orang Wana mendudukkan Suri di sebuah bangku kayu yang diikatkan di atas tandu. Mereka lalu mengangkat Suri dan membawanya turun gunung dengan berlari. Hujan terus turun hari itu, jalur setapak yang dilaluipun amat licin. "Maut seperti sudah siap menjemputku," kenang Suri. Kelompok yang melarikan tandu itu dipimpin oleh Sofyan Panjo, seorang pemuda Suku Wana. "Aku bagaikan permaisuri dalam film-film kungfu," tambahnya sambil tertawa. Tiba dirumah Sakit, dokter bilang aku kena tifus, terlambat sehari saja akan tidak tertolong. Tetapi, Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya kepadaku.
Sebulan kemudian ia sembuh, lalu kembali lagi mengajar anak-anak Wana di Saliano. Tekadnya tetap kuat. Kerinduannya untuk melayani anak-anak Wana selalu menggebu-gebu.
Mei 2007, ketika genap 17 bulan ia berada di sana, Suri diberi tanggung jawab untuk membangun layanan pendidikan di tempat lain. "Awalnya aku sempat kecewa dengan 'mutasi' itu, tapi mungkin ini juga cara Tuhan," ujarnya. Sejak Agustus 2007 Ia menjadi guru TK di desa Lalow, di pelosok Sulawesi bagian utara.
Saya rindu suatu saat nanti bisa melihat anak-anak Wana yang saya didik menjadi orang sukses dan menjadi berkat bagi orang lain," tambahnya mengakhiri percakapan pada suatu senja berangin di desa Lalow.
Judul Buku | : | Buletin Village Misistry edisi Oktober 2013 |
Dipublikasikan | : | http://misi.sabda.org/kesaksian/ |