Percaya Membawa Mukjizat bagi Anakku
Pada zaman serba modern seperti ini, banyak orang mulai meragukan keberadaan mukjizat Tuhan. Kesaksian ini saya tulis, semata-mata Demi Lebih Besarnya Kemuliaan Tuhan (AMDG -- Ad Maiorem Dei Gloriam).
Anak ini adalah mukjizat.
Tidak cukup kata-kata yang bisa mendeskripsikan pengalaman keluarga saya selama 9 bulan terakhir ini, akan saya ceritakan sejak awal sampai di titik klimaks lahirnya anak kedua saya.
Baru 10 minggu berlalu sejak saya dinyatakan mengandung, anak pertama kami, Leva, pulang sekolah dengan wajah berbintik merah. Saya mendapat firasat kurang baik, dan segera ke dokter.
Hati ini rasanya tidak tenang dan di kepala saya sudah terpikir sebuah penyakit yang sangat ditakuti wanita hamil, yaitu virus Rubella. Dokter mengatakan bahwa anak ini hanya alergi.
Namun, hati saya tetap cemas sehingga besok siangnya saya berinisiatif memeriksakan darah anak kami ke laboratorium . Hasil laboratorium menyatakan Leva positif terkena Rubella. Kami sekeluarga diliputi kepanikan. Bagi Leva sendiri, virus ini hanya campak biasa yang akan sembuh sendiri. Namun, jika virus ini sampai masuk ke badanku yang sedang hamil, akibatnya bagi janin bisa fatal (silakan browsing di Google mengenai apakah Rubella itu dan akibatnya).
Pada malam hari itu juga, setelah hasil laboratorium Leva keluar, saya segera mengungsi ke rumah saudara di kota yang sama. Saya berusaha untuk tidak membuat suami menjadi panik karena saya tahu pekerjaannya di pulau lain sedang padat juga.
Inilah kali pertama sejak melahirkan Leva, saya meninggalkan Leva. Berat dan sedih, tetapi demi calon adiknya, saya harus bertahan. Kalau di rumah yang sama, risiko saya tertular akan semakin besar.
Hari-hari tanpa Leva benar-benar berat dan menguras emosi. Akan tetapi, dia anak yang tabah meski campaknya belum sembuh, dia hanya diam dan berpikir sendiri. Tidak menangis dengan berteriak-teriak walaupun ditinggal mamanya sampai 3 minggu.
Sudah amankah? Tidak, menjelang weekend pada minggu kedua, di badan saya muncul bintik-bintik merah, mulai dari tangan, wajah, leher, menyebar ke perut. Saat itu, saya betul-betul panik dan putus asa. Ternyata virus itu tetap menular karena masa inkubasinya bisa 2 -- 3 minggu sebelum gejala ruam merah muncul.
Siangnya, saya langsung cek laboratorium, tetapi hasil laboratorium baru keluar 2 hari kemudian. Pada malam hari, saya memberi kabar kepada suami tentang bercak merah ini, kami betul-betul kehilangan arah. Akhirnya, keesokan subuhnya, suami saya langsung memutuskan untuk pulang ke Jawa, dan saya berangkat ke Jakarta sehingga kami bertemu di Jakarta.
Kami mencari dokter-dokter terbaik dalam kasus Rubella ini lewat internet. Saat mencari informasi, otomatis kami juga menemukan berbagai artikel mengerikan mengenai virus ini. Air mata yang terkuras sudah tidak terhitung banyaknya, membayangkan berbagai kemungkinan mengerikan yang bisa terjadi pada anak kami.
Proses selanjutnya tentu sama seperti orangtua lain pada umumnya, berusaha menyelamatkan calon bayinya. Beberapa nama dokter yang kami browsing dari internet, kami datangi. RS Bunda Jakarta tempat Leva lahir dulu, menjadi RS pertama yang kami datangi, kebetulan ada dokter ahli juga yang mengurus fetomaternal (kelainan janin).
Di ruang dokter, kami mendapat banyak pandangan dari dokter. Ada kata-katanya yang membekas di hatiku, “Bu, tanpa Rubella pun, kalau 9 bulan hasil USG ibu semua baik dan normal, lalu tiba-tiba waktu lahir terjadi masalah, apa mau dibuang juga?”
Rasanya saya ingin menangis waktu ditanya seperti itu. Benar juga. Dokter menyerahkan kembali kepada saya dan keluarga perihal apa yang harus dilakukan kepada calon anak kami yang ke-2 ini, apakah kandungan ini akan diaborsi atau dilanjutkan.
Kemungkinan virus Rubella mengenai janin pada kehamilan seperti ini sekitar 80%! Jadi, saya hanya punya kesempatan 20% (secara hitungan manusia/ilmu medis).
Beberapa keluarga, saudara, teman yang mengetahui kejadian ini, tidak sedikit yang menganjurkan untuk terminasi langsung. Pada siang itu, di tengah kebingungan dan putus asa, saya mendengar satu suara yang sangat jelas, sampai saya yakin itu bukan suara dari pikiranku. Bunyinya, “Mengapa kamu tidak percaya kepada-Ku?”
Saya cukup lama tertegun mendengarnya. Saat saya sampaikan kepada suami, dia menguatkan saya untuk terus melanjutkan kehamilan ini. Suami saya adalah supporter terbesar, my soulmate.
Akhirnya, saya dan suami memutuskan untuk tidak melakukan aborsi karena kami berpikir bahwa aborsi tidak diperbolehkan secara agama dan kami lebih baik berserah kepada Tuhan untuk menjaga dan menyembuhkan janin yang dikandung. Kemudian, dokter memberikan obat dan suplemen untuk menghambat penyebaran virus itu.
Menjalani kehamilan dengan penuh penghargaan, itu yang saya jalani sekarang ini. Saat hamil anak pertama, saya jarang peka merasakan campur tangan Yang Di Atas, berbeda sekali dengan yang kali ini. Waktu lebih banyak dihabiskan untuk berdoa pagi sampai malam, dibantu keluarga, teman, saudara, doa-doa itu makin terasa “keampuhan”nya dari hari ke hari.
Saya percaya tidak ada yang melebihi kekuatan Tuhan, prediksi manusia masih bisa punya banyak kesalahan. Saya bukan orang yang “beriman teguh” atau aktif dalam hal rohani di kehidupan sehari-hari, tetapi membaca banyak kesaksian orang di internet, Tuhan tidak pilih-pilih waktu menyelamatkan manusia, siapa saja bisa diselamatkan asal percaya.
Beberapa kejadian “menakjubkan” terjadi dalam beberapa bulan itu:
- Puluhan ayat “muncul” dengan sendirinya saat kami membuka Alkitab, dan bunyinya selalu pas, selalu menunjukkan arah apa yang harus kami lakukan.
- Desember 2011, saya pernah memesan sebuah buku kepada seorang penulis kristiani, judulnya Mukjizat Kehidupan. Namun, setelah memesannya, saya lupa. Sampai akhirnya, tanggal 8 Desember 2011 pagi saya berdoa ingin agar Tuhan memberi hadiah pada hari ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Pada siang harinya, buku tersebut tiba. Di dalamnya ada 2 buku mungil, gratis diberi oleh penulisnya, isinya tentang doa-doa untuk kesembuhan, sesuatu yang sangat saya butuhkan saat ini. Sungguh ajaib, seakan Tuhan sendiri yang mengirim bacaan-bacaan itu untuk saya, tanpa saya minta.
- Saya mengontak beberapa orangtua yang mengalami kasus sama (hamil terkena Rubella), ajaibnya Tuhan mempertemukan saya dengan para orangtua yang semua anaknya “selamat”, semua anaknya normal, dan mereka semua sangat pro-life, mendukung untuk meneruskan kehamilan.
- Intensif berdoa, ajaib, angka titer virus pada bulan ke-5 menurun drastis, bahkan saat bulan ke-7 angkanya sudah negatif! Secara medis, tidak banyak yang bisa mengalami itu. Kebanyakan saat melahirkan, angka titer virus di badan si ibu masih positif mengandung virus. Saya percaya ini berkat Tuhan.
- Saat bingung memilih nama bayi, dan sampai berbulan-bulan saya dan suami belum merasa mantap. Sepupu saya menyarankan untuk mendoakan dan meminta nama dari Tuhan. Untuk nama belakang, saya sudah menentukannya karena tiga kali ditunjukkan melalui ayat Alkitab. Untuk nama depan, 2 hari setelah didoakan langsung muncul nama yang cocok, nama yang indah menurut kami.
- Setiap detik selama 7 bulan itu, kami menekan perasaan manusiawi, yaitu kecemasan. Setiap kali takut, saya berusaha cepat mengalihkan pikiran dengan berdoa. Doa apa saja, menyampaikan ketakutan saya, berkeluh kesah kepada Tuhan, dan bersyukur untuk hari itu. Doa adalah jalan yang ampuh untuk mencari kedamaian. Saat kandungan 8 bulan, saya sempat beberapa kali flek, diberi obat penguat kandungan, dan setelah berdoa, tidak lama fleknya hilang.
Tidak terasa 9 bulan berlalu dengan cepat, dokter terus memantau perkembangan janin melalui USG. Bulan demi bulan, dan tiba saatnya bagi saya untuk melahirkan.
Seminggu sebelum rencana operasi, saya sudah ke Jakarta. Akhirnya, Minggu, 6 Mei 2012 pukul 12.27, di RS Bunda Jakarta, anak kedua kami lahir dan kami beri nama Imelda Elianna. Imelda artinya “pejuang yang tangguh”, Elianna artinya “Tuhan telah menjawab”.
Dan, memang benar bahwa Tuhan menjawab doa kami. Selama 5 hari kami di rumah sakit, macam-macam tes dilakukan, dari mata, telinga, jantung, sampai darah. Semua tes lolos dengan baik kecuali telinga sebelah kiri akan diulang 6 bulan lagi.
Namun, dari tes darah, dokter menyatakan bahwa virus tersebut tidak menulari Imelda. Puji Tuhan, Engkau sungguh besar! Sungguh, kami berterima kasih kepada Tuhan atas segala kebaikan dan belas kasih-Nya.
Dan, saat menulis kesaksian ini, saya kembali ke masa-masa sukar itu, di antara pilihan meniadakan atau mempertahankan anak saya. Pada saat itulah, saya mendengar Ia berkata, “Mengapa kamu tidak percaya kepada-Ku?”
“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk sebelum ada satu pun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!” (Mazmur 139:13-17)
“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13)
Disunting dari: | ||
Nama situs | : | Pelita Hidup |
Alamat situs | : | http://www.pelitahidup.com/2012/05/31/kesaksian-percaya-membawa-mujizat-bagi-anakku/ |
Judul asli artikel | : | Percaya Membawa Mukjizat bagi Anakku |
Penulis artikel | : | Tidak dicantumkan |
Tanggal akses | : | 4 Oktober 2016 |
Betapa besarnya pekerjaan-pekerjaan-Mu, ya TUHAN, dan sangat dalamnya
rancangan-rancangan-Mu.
(Mazmur 92:5)