Perjalanan Hidup Manusia
Apakah arti hidup manusia? Tahun-tahun belakangan ini, pertanyaan ini selalu merisaukan hatiku. Meskipun kemewahan hidup, kedudukan, dan nama telah kunikmati, tapi semuanya ini tidak menyebabkan hatiku senang, bahkan aku merasakan suatu kekosongan dalam lubuk hatiku.
Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen di Hongkong. Pada usia yang keempat belas, aku menerima Kristus sebagai Juru Selamat dalam satu retret musim panas. Sejak itu aku mulai rajin mengunjungi gereja sampai aku tamat di sekolah menengah atas. Setelah itu aku memunyai kesempatan melanjutkan studi di Amerika. Selama studi di Amerika, mulailah aku mengabaikan hal-hal yang bersangkutan dengan keagamaan, bahkan praktis aku menjadi seorang ateis.
Studi di Amerika aku lalui dengan lancar. Dalam waktu 6 tahun, aku telah menyelesaikan dua gelar, yaitu Ph.D. dan M.D.. Setelah wisuda, aku bekerja di salah satu rumah sakit. Rumah sakit yang cukup besar ini memunyai tenaga dokter sebanyak tiga ratus orang. Hampir 99 persen dokter tersebut adalah orang Yahudi, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya aku, seorang Tionghoa untuk mengembangkan karier dalam suasana demikian itu. Tapi aku tidak merisaukan tentang masa depan karierku, yang penting bagiku adalah berjuang, meningkatkan prestasi, dan volume kerjaku. Kelihatan jerih payahku tidak sia-sia. Dalam waktu 4 tahun, posisiku menanjak dan aku dipercayakan memegang jabatan sebagai kepala rumah sakit tersebut. Kenikmatan material mengikuti kesuksesan karierku. Mobilku sering diganti dengan yang lebih baru dan rumahku sering diganti pula dengan yang makin besar dan mewah.
Boleh dikatakan, apa yang kuingini telah tercapai, seharusnya aku boleh merasa bahagia! Tapi dalam lubuk hati, aku mengakui bahwa semuanya tidak menyebabkan kebahagiaan. Makin aku berhasil, makin aku merasakan kehampaan hidup. Jika demikian, apa artinya hidup ini? Di manakah sebenarnya arti hidup itu? Pertanyaan ini menyebabkan aku mulai serius untuk mendapatkan jawabannya. Maka mulailah aku mencari di bidang sastra, seni, musik, dan lain-lain, dan akhirnya aku menjadi terkejut karena para pengarang buku tersebut sama seperti aku sedang bertanya-tanya dan mencari-cari dan tidak mendapatkan arti hidup itu! Aku makin sedih dan bergumul dalam penderitaan. Bantuan psikiater tidak membawa hasil apa-apa. Pada akhirnya aku berpikir, jika hidup ini tidak berarti apa-apa, untuk apa aku hidup? Lebih baik aku bunuh diri saja!
Kebetulan pada waktu itu, aku menerima kunjungan tiga teman sekolah dulu. Secara diam-diam, mereka mengungkapkan bahwa meskipun aku memunyai semuanya, tapi tidak memiliki kasih Tuhan, apa gunanya? Bagiku, perkataan mereka ini begitu asing di telinga dan pikiranku. Tapi satu hal yang mengejutkanku adalah mereka juga sama seperti aku, dokter, dan sama juga seperti aku, menikmati kemewahan, tapi mengapa mereka memilih hidup sederhana daripada hidup mewah? Dan mengapa wajah yang ditampilkan menunjukkan kebahagiaan? Jawaban yang mereka kemukakan bahwa Yesus menyebabkan semua ini, tidak dapat kuterima!
Maklumlah, pada waktu itu praktis aku adalah seorang ateis! Tidak berapa lama kemudian, satu hal yang tidak menyenangkan terjadi. Aku menemukan di perutku terdapat benjolan. Setelah diperiksa oleh sepuluh dokter ahli, lalu disimpulkan bahwa aku menderita kanker lever dan hanya bertahan hidup selama 3 bulan saja. Seharusnya pemikiranku tentang hidup yang tidak berarti ini membuat aku merasa senang untuk segera mati, tapi heran, waktu para dokter mengumumkan bahwa hidupku tinggal 3 bulan lagi, aku menjadi takut dan menyesalkan cara hidupku yang lalu. Mungkin hal ini disebabkan peristiwa meninggalnya seorang rekan yang berbangsa Yahudi karena jantung. Pada mulanya, aku mengira bahwa kematiannya sangat menyenangkan karena tanpa sakit sedikit pun ia langsung meninggal, tapi 2 tahun kemudian baru kuketahui bahwa kematiannya membawa dampak yang memprihatinkan. Anak rekanku ini sebenarnya anak terpandai di kelas, tapi sejak kematian ayahnya, ia menjadi pemabuk, pencandu narkotik, dan sebagainya. Anak ini dalam kerisauan mengatakan bahwa sejak meninggalnya sang ayah, hidupnya sudah tanpa harap, sebab itu satu keinginannya adalah mati untuk segera bertemu dengan ayahnya. Betapa menyedihkan kematian yang membawa suasana gelap bagi keluarga yang ditinggalnya.
Keadaanku sungguh memprihatinkan, aku sungguh merasa putus asa dan tanpa harapan. Banyak pendeta yang mengetahui keadaanku datang berkunjung dan memberi kesaksian tentang mukjizat kesembuhan dari Allah, tapi sedikit pun aku tidak merasa tertarik. Tapi yang mengherankan adalah tiba-tiba aku teringat seorang pendeta yang menjadi temanku di Hongkong dan sekarang sudah 6 tahun menjadi pendeta di Amerika. Meskipun aku sangat menghormatinya, tapi biasanya aku agak takut dan segan berbincang-bincang padanya, tapi kali ini justru aku ingin berbicara dan mengutarakan isi hati dan keadaanku padanya. Tanpa terasa, aku mengangkat telepon dan berbicara padanya. Sebagaimana umumnya pendeta, ia dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan keluh kesahku dan akhirnya ia menasihati aku dengan mengatakan bahwa waktu 3 bulan itu sangat singkat sekali, tapi dalam waktu yang singkat ini, aku boleh mengerjakan pekerjaan yang sangat penting sekali, yaitu: pertama, menormalisasikan hubunganku dengan Allah; kedua, menormalisasikan hubunganku dengan istri dan anak untuk menambal kekuranganku selama ini karena kesibukan kerja sering membuatku mengabaikan isteri dan anak, dan mengusahakan agar mereka menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat, agar mereka tidak kecewa dan putus asa setelah aku meninggal.
Kata-kata nasihat ini bagaikan paku yang ditancapkan dan menembus hatiku. Setelah menggantung gagang telepon, mulailah aku berpikir. Aku mengakui bahwa aku pernah bangga akan keberhasilan, bangga pada pujian yang diberikan orang padaku, tapi sekarang semuanya itu tidak berguna dan tidak dapat membantu apa-apa bagi keadaanku. Dalam keadaan tanpa pertolongan, tanpa harapan, dan rasa bersalah pada keluarga, aku sungguh-sungguh tidak berdaya. Peribahasa Tionghoa mengatakan bahwa jalan buntu manusia merupakan awal Allah bekerja. Demikian pula keadaanku, dalam ketidakberdayaanku, maka aku teringat pada Allah dan mulai memohon pertolongan-Nya. Aku bertelut di hadapan-Nya dan berkata, "Tuhan, sudah lama aku murtad dan tidak mengakui keberadaan-Mu, sekarang aku mau bertobat dan datang pada-Mu, dan mohon Engkau masuk dalam hatiku. Meskipun hidupku tidak panjang lagi, tapi mohon kiranya Engkau perkenankan aku untuk merasakan dan melihat-Mu." Sungguh mengherankan, hasil doaku itu membawa damai sentosa bagi jiwaku; segala ketakutan, kekhawatiran, dan kehampaan hidup sirna dari diriku.
Peristiwa ini terjadi pada tengah malam, sukacita yang memenuhi hati tidak dapat kutahan, dengan cepat aku membangunkan istri yang sedang lelap dan aku menceritakan apa yang kualami dan yang kurasakan, dan aku mohon maaf atas perlakuanku selama ini terhadapnya. Setelah itu, kami berdoa bersama dan aku memohon agar Tuhan juga masuk dalam hati istriku. Dan sungguh ajaib, istriku pada malam itu juga mengalami sukacita yang luar biasa. Dukacita keluarga atas sakit kanker lever yang mematikan sirna tanpa bekas.
Keesokan harinya, aku juga menceritakan pengalaman yang ajaib itu kepada anak-anak dan memimpin mereka dalam doa pengakuan dosa dan mohon agar Yesus masuk ke dalam hati anak-anak dan menjadi Juru Selamat mereka. Setelah berdoa, aku melihat dari wajah dan mata anak-anak dipenuhi oleh sukacita. Dan kami disadarkan, meskipun kematian akan memisahkan, tapi suatu kali kami akan bertemu kembali di dalam kemuliaan.
Telepon mendering dan kuangkat, ternyata datangnya dari pendeta sahabatku itu. Ia mengatakan bahwa kemarin, semalaman ia berdoa bagiku dan memberitahukan bahwa jika aku memunyai permohonan, aku dapat mengungkapkannya kepada Tuhan melalui doa. Aku mendengar nasihatnya dan berdoa agar Tuhan memperpanjang umurku selama 3 tahun lagi. Efek doa yang membawa kedamaian menunjukkan bahwa Tuhan mau mengabulkan doaku. Setelah itu, aku memohon agar dokter ahli membuang tumor dengan jalan operasi, tapi mereka mengatakan bahwa sel kanker yang sudah menyebar tidak dapat diatasi dan operasi yang berbahaya tidak akan mengubah kondisiku. Tapi aku bersikeras untuk dioperasi, akhirnya dengan terpaksa mereka menyanggupinya.
Untuk pelaksanaan operasi ini, aku sungguh-sungguh berdoa. Ada juga saudara-saudara seiman yang berdoa bagiku. Setelah operasi dilaksanakan, para dokter menjadi terkejut karena sel-sel kanker ganas yang dinyatakan telah menyebar itu, ternyata negatif dan yang ada hanyalah tumor saja. Setelah itu, dokter menyatakan bahwa aku masih dapat hidup selama 3 tahun. Dan pernyataan ini sesuai dengan apa yang telah kumohon pada Tuhan. Istriku berkata bahwa jika Tuhan dapat menghilangkan sel kanker ganas yang menyebar itu, maka Tuhan juga dapat menghilangkan kanker ganas itu. Aku memohon para tua-tua gereja berdoa untuk aku dan aku berharap lebih banyak mengenal Tuhan dan kebenaran-Nya dan juga menceritakan kepada orang lain tentang nilai-nilai iman kepercayaanku.
Setelah 3 minggu berlalu, aku menerima telepon dari rumah sakit yang menyampaikan kabar gembira. Ternyata hasil diagnosa lalu yang menyatakan tumor yang ada di dalam itu bersifat ganas dan sel-sel tumor ganas itu telah menyebar, ternyata tidak benar. Tumor yang telah diangkat dan diperiksa di laboratorium dengan saksama di Amerika D.C. ternyata bukan tumor ganas, melainkan yang jinak. Para dokter tidak dapat menjelaskan hasil penelitian laboratorium tersebut. Mereka hanya bisa mengatakan bahwa seolah-olah ada orang yang menyulap kanker ganas ini menjadi jinak. Dalam hatiku berkata, "Amin!". Karena aku yakin bahwa Allah yang berkuasa itu yang mengubah kanker ganas itu menjadi jinak.
Sejak aku datang dan menyerahkan diri pada-Nya, hatiku dipenuhi sukacita dan aku menemukan tujuan hidup yang mantap dan kekal. Akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan sisa hidupku hanya untuk-Nya dan hanya mau melayani Tuhan.
Sekarang aku telah masuk ke sebuah sekolah teologi dan aku menyadari tindakan ini bagiku bukan satu pengorbanan atau persembahan, melainkan satu pilihan yang terbaik untuk memberitakan Kabar Baik yang ajaib ini kepada semua orang.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Jalan Tuhan Terindah |
Penulis | : | Pdt. Paulus Daun, M.Div., Th.M. |
Penerbit | : | Yayasan Daun Family, Manado 1996 |
Halaman | : | 9 -- 15 |