Saya Melihat Tangan Allah Bertindak

Saya percaya kepada Allah, tetapi selama bertahun-tahun keyakinan saya tentang siapa Allah -- dan apa yang dapat Dia lakukan -- telah berubah. Hal ini terjadi ketika anak saya sakit parah, sehingga saya bisa berkata bahwa Anda dapat percaya kepada Allah, namun tidak mengenal diri-Nya sama sekali.

Kepandaian, ilmu pengetahuan, dan logika. Itulah hal-hal yang mendasari hidup saya ketika masih muda. Saya pernah mengalami demam yang sangat parah ketika masih kecil. Penyakit ini membuat saya tidak bisa berolahraga dan berjalan-jalan. Satu-satunya petualangan nyata yang dapat saya lakukan adalah petualangan di alam pikiran. Saya membaca buku dengan perasaan dendam -- "Great Books of the Western World", beberapa jilid buku "Will dan Ariel Durant", dan (secara harfiah) ribuan buku cerita lainnya. Dari bacaan saya tersebut, saya membangun keyakinan yang paling kuat. Saya percaya kepada logika, kepada kemampuan pikiran untuk menyusun segala sesuatu dengan rapi, dan kepada hal-hal yang masuk ke dalam kategori rasional.

Saya dibesarkan dalam keluarga Kristen yang ketat, maka dari itu saya percaya kepada Allah. Tetapi saya bersikeras -- kekerasan hati saya itu bahkan menimbulkan banyak perbantahan -- bahwa Allah adalah Pribadi yang juga dibatasi oleh logika dan hukum alam-Nya yang unik. Saya rasa, saya menggambarkan Allah sebagai seorang ilmuwan besar. Mukjizat? Tidak. Allah tidak bisa dan tidak akan melawan hukum alam dengan cara semacam itu. Ketika keluarga saya mengajarkan bahwa kekristenan itu berarti beriman kepada Allah yang penuh kasih dan ajaib, saya menolak dan mencari agama yang lain -- agama yang menghargai rasionalitas lebih dari segalanya.

Ketika dewasa, kepercayaan saya kepada rasionalitas sangat membantu saya dalam bekerja. Saya menjadi "sales" di sebuah perusahaan telekomunikasi ("Bell System"). Ketika saya harus menyusun strategi dan target penjualan, logika saya membuka banyak pintu menuju kesuksesan.

Namun, pintu-pintu yang lain tampaknya tertutup. Saya merasakan kekeringan, kekosongan rohani, dan merasa cemas. Saya mencoba untuk berdiam diri, merenung, dan sebagainya, namun kehampaan semakin besar hingga saya merasa putus asa.

Dalam kekalahan, saya berbalik kepada Allah dalam doa. Roh-Nya menjawab, "Aku tidak hanya menginginkanmu untuk memercayai bahwa Aku ada. Aku menginginkan dirimu, kehendakmu, impian-impianmu, tujuanmu, dan keberadaanmu yang paling dasar. Aku menginginkanmu, imanmu, iman bahwa Aku ini cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu." Keputusasaan mengalahkan logika saya dan saya menyerahkan semuanya kepada-Nya. Akan tetapi, hanya dengan berkata bahwa engkau beriman tidak berarti sama dengan memiliki iman. Dalam benak saya, saya masih menempatkan Allah di dalam sebuah kotak.

Barangkali itulah sebabnya, saya tidak pernah berpikir untuk berdoa ketika anak saya yang paling tua, Frank, yang baru saja masuk ke kelas 1 SD berkata bahwa dia merasa tidak enak badan ketika pulang ke rumah. Apakah Tuhan harus peduli terhadap flu perut (gastroenteritis/ muntaber) yang dialami Frank?

Dokter yang menangani penyakit anak saya pada awalnya tidak terlalu khawatir dengan penyakit Frank. "Ini hanya sakit perut biasa," kata dokter tersebut meyakinkan kami, "ini hanya sakit perut biasa yang disertai sedikit "acidosis" (kelebihan asam dalam cairan tubuh, Red.). Berikan obat ini kepadanya dan dalam beberapa hari dia akan sembuh."

Akan tetapi, Frank tidak kunjung sembuh. Obatnya hanya bereaksi beberapa hari saja. Bahkan, gejala-gejala muntaber itu -- cegukan, sesak napas, dan muntah-muntah -- semakin sering terjadi. Tubuhnya yang kecil, sosok yang baru berumur 6 tahun itu bermandikan keringat dan mengalami kejang-kejang. Lalu, kami memeriksakannya ke rumah sakit lokal untuk tes lebih lanjut, tetapi sore harinya, dokter kami berkata bahwa hasil diagnosis sebelumnya itu benar. "Dia hanya muntaber biasa," katanya.

Keesokan harinya saya pergi bekerja, saya sangat berharap bisa membawa Frank pulang ke rumah malam harinya. Tetapi ketika saya datang ke rumah sakit untuk menjemput mereka, dokter sudah menunggu dan menemui saya.

"Saya perlu bicara dengan Anda berdua," katanya sambil mengajak kami ke salah satu ruangan.

"Apakah ada masalah, Dokter?" tanya saya.

"Tes lanjutan ini menunjukkan bahwa hasil diagnosis sebelumnya tidak tepat. Kami rasa, putra Anda mengidap nephritis (radang ginjal) akut. Ini adalah penyakit terminal pada ginjal ...." Dia berhenti sejenak dan saya dapat merasakan wajah saya memucat. "Tetapi kami tahu bahwa dalam usia anak-anak ada kemungkinan untuk sembuh. Putra Anda memiliki kemungkinan 90 persen untuk sembuh seperti semula."

Meskipun begitu, sebelum pukul 10 pagi pada keesokan harinya, ada berita yang tidak menyenangkan. Pada malam sebelumnya, ginjal Frank tidak berfungsi. Janice dan saya pun segera pergi ke rumah sakit.

"Hasil rontgen menunjukkan bahwa ginjal Frank terinfeksi sangat parah, sehingga tidak ada cairan apa pun yang dapat mengalir melaluinya." Begitulah informasi yang kami terima. "Kecil kemungkinannya dia dapat bertahan. Jika ginjalnya mulai tidak berfungsi dalam 48 jam, saya rasa putra Anda akan meninggal dunia."

Saya melihat ke arah Janice, air matanya mulai menggenang sementara itu tenggorokan saya tercekat. Saya memegang tangannya dan perlahan-lahan kami kembali ke kamar Frank. Kami sangat terkejut dan emosional sampai sulit rasanya untuk berkata-kata. Sepanjang sore itu, kami duduk di samping tempat tidur Frank, menatapnya dan membelai-belai rambutnya yang pirang, serta mengusap dahinya yang lembab oleh keringat. Ruangan itu sangat sunyi dan hanya terdengar bunyi "bip" dari mesin monitor yang memperlihatkan kondisi si kecil Frank. Para dokter kadang-kadang datang untuk memasang beberapa selang dan memberi tanda pada grafik Frank, kemudian mereka keluar. Saya berusaha menatap mereka untuk memperoleh jawaban, mengharapkan secercah asa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Ketika pendeta kami berkunjung untuk mendoakan anak kami, saya hanya bisa menangis tak berdaya.

Menjelang malam, setelah Frank tertidur, kami pulang ke rumah. Teman-teman sudah menunggu dengan membawa makanan panas, kata-kata penguatan, dan doa-doa berantai yang panjang yang sudah mulai mereka panjatkan. Selama beberapa waktu, saya rasa saya melihat sepercik harapan di mata Janice yang saya cari dari para dokter yang tadi siang.

Keesokan harinya, secercah harapan muncul dalam diri Janice. "Semalam, saya menyerahkan hidup Frank kepada Tuhan," katanya kepada saya dengan optimis saat kami masih berada di atas tempat tidur. "Aku sudah merasa tenang dengan apa yang akan terjadi, biarlah kehendak Allah yang jadi."

"Kehendak Allah?" tanya saya dengan geram. "Allah macam apa yang membiarkan seorang anak kecil sakit? Dia tidak peduli!" Saya pun bertanya-tanya. "Tenang? Kehendak Allah? Tidak! Frank membutuhkan lebih dari itu untuk sembuh!"

Akan tetapi, kemarahan saya tidak membuat saya berhenti bertanya kepada Allah. Sepanjang pagi, selagi Janice berjaga di rumah sakit, saya memohon dan mengiba serta berseru kepada Allah, sambil menantang Dia untuk mengusir keraguan saya. Saya berusaha untuk memojokkan-Nya agar bertindak.

"Engkau pikir, Engkau siapa?" teriak saya sesekali. "Mengapa Engkau melakukan hal ini kepada anakku? Dia baru berumur 6 tahun! Setiap orang berkata bahwa Engkau adalah Allah yang mengasihi, mengapa Engkau tidak membuktikannya?" Saya berteriak kepada-Nya sampai saya merasa kelelahan. Akhirnya karena yakin seruan-seruan saya tidak didengar, saya membawa anak-anak kami yang lain ke rumah tetangga, lalu saya menuju ke rumah sakit dengan berpikir bahwa mungkin inilah terakhir kalinya saya akan melihat anak saya hidup.

Saya belum berserah. Setidaknya sebagian dari diri saya belum berserah kepada Tuhan. Namun dalam perjalanan, sewaktu di mobil, Pribadi yang Mahabesar itu, Kuasa yang tak terjangkau itu, Allah yang "tidak adil" ini berbicara kepada saya melalui Roh-Nya. Saya merasakan kehadiran-Nya, meredakan kemarahan saya yang meluap-luap. Saya mendengar suara-Nya -- lembut dan menguatkan. Dia mengingatkan bahwa saya sudah membuat komitmen dengan Dia, bahwa saya sudah berjanji untuk memercayai-Nya dengan sepenuh hati, dengan segenap hidup saya, dan bahwa Dia sudah berjanji akan memelihara saya dalam segala keadaan. "Keluarkan Aku dari kotak tempat engkau menyimpan-Ku," kata-Nya, "dan izinkanku untuk bertindak."

Ketika saya memarkirkan mobil, jantung saya berdebar kencang. Kemudian, saya duduk selama beberapa menit dan hanya mampu mengucapkan dua kata untuk merespons apa yang terjadi: "Ampuni saya."

Setelah saya sampai di kamar Frank, saya tahu apa yang harus saya lakukan seolah-olah ada seseorang yang sudah memberikan instruksi tertulis. Tidak ada yang berubah dengan kondisi Frank, maka saya mengantar Janice pulang untuk beristirahat sebentar. Lalu, saya berjalan mendekat menuju tempat tidur Frank. Sambil meletakkan tangan saya yang bergetar ke bagian tubuh Frank yang menurut saya di situlah letak ginjal Frank, saya pun berdoa. Padahal sebelumnya saya tidak pernah berdoa. "Ya Allah, ampunilah keegoisan saya karena saya telah membuat Engkau seperti yang saya ingini. Apabila Engkau berkenan, sembuhkanlah anak saya. Namun, apabila Engkau tidak berkenan, tidak apa-apa. Saya tetap percaya kepada-Mu. Akan tetapi, saya mohon lakukanlah sekarang juga, saya berdoa dalam nama Kristus. Amin."

Itulah yang terjadi. Tidak ada kilatan cahaya, tidak ada pancaran cahaya, tidak ada sesuatu yang mengguncangkan emosi seperti angin kencang. Yang terdengar hanyalah bunyi mesin monitor. Saya pun duduk di kursi dengan tenang, mengambil majalah, dan menanti jawaban Allah. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kali dalam hidup saya, saya tahu bahwa saya akan mendapatkan jawaban-Nya.

Beberapa waktu selanjutnya, saya mengalihkan pandangan dari majalah ke arah selang kateter yang dipasang di tubuh Frank yang rapuh itu. Selang itu digunakan untuk mengeluarkan cairan dari ginjalnya, tetapi hampir 2 hari berlalu ginjal Frank benar-benar mengering. Ini berarti ginjal Frank sudah tidak berfungsi. Meskipun begitu, ketika saya melihat dari dekat pada bagian atas selang, saya melihat tetesan cairan bening. Tetesan-tetesan itu semakin sering menetes, seperti air yang mengalir dari keran yang bocor. Lama-kelamaan tetesan-tetesan itu semakin deras mengalir dari selang dan mengalir ke dalam kantong. Ini adalah kejadian yang sangat luar biasa, yang pernah saya lihat -- tangan Allah sedang bekerja. Saya mengamati selang yang terpasang itu dengan tetap berharap untuk melihat tetesan-tetesan selanjutnya, dan selama lebih kurang 2 menit, saya benar-benar melihat tetesan cairan itu. Setelah itu, tetesan-tetesan itu menetes secara teratur setiap menit. Dalam tiap tetesan, saya mendengar Tuhan berbicara kepada saya, "Ini Aku dan Aku peduli."

Ketika perawat melakukan pemeriksaan rutin, dia sampai tidak dapat menahan ketakjubannya. "Apakah Anda melihat ini, apakah Anda melihat ini?" serunya sambil menunjuk ke arah kantong. "Apakah Anda tahu bahwa cairan ini lebih banyak daripada yang seharusnya dia keluarkan selama 48 jam sebelumnya?" Dia memegang kateter itu dan mengangkatnya sambil memberitahukan bahwa dia perlu mengambil setiap tetes dari cairan itu dan segera meninggalkan kamar Frank.

Dalam beberapa menit, dia sudah kembali. Setelah menarik kursi, dia duduk di samping saya dan dengan semangat dia mengajak saya untuk melihat setiap tetesan cairan dalam selang bersama-sama. Kami berdua heran melihat apa yang terjadi. Selama setengah jam kami berdua menggumamkan kalimat-kalimat pendek. "Tidakkah Allah itu baik?" tanya perawat itu kepada saya, dan saya mengangguk. Ketika dia berdiri untuk menelepon si dokter, saya pun menelepon Janice. Lalu, 1,5 jam berikutnya, salah seorang dokter meminta agar kasus Frank diajukan kepadanya. Setelah melihat kantong penyimpan cairan itu, dia memberitahukan kepada kami bahwa ada tanda-tanda yang salah karena cairan itu bening. Semua cairan yang berasal dari ginjal yang terinfeksi, seperti ginjal Frank, biasanya berwarna kuning kecoklatan (seperti karat) dan bercampur dengan nanah. "Tidak," katanya, "cairan ini pasti berasal dari organ yang lain." Tapi saya yakin bahwa Frank pasti sembuh.

Keesokan harinya, lebih dari setengah liter cairan bening sudah terkumpul di dalam penampungan, dan tetap mengalir sampai para dokter melakukan tes ulang dan pemeriksaan rontgen, untuk mengetahui dari mana asal cairan tersebut. Akhirnya, 2 hari kemudian, dokter itu pun memanggil kami ke kantornya.

"Joe, Janice, saya rasa kita mendapatkan hak istimewa untuk menjadi saksi atas perbuatan Allah. Hasil pemeriksaan rontgen yang dilakukan 2 hari yang lalu, bukan hanya menunjukkan bahwa tidak ada infeksi ginjal, namun tes tersebut juga menunjukkan tidak adanya tanda-tanda yang mengindikasikan adanya infeksi. Tekanan darah Frank dan tingkat racun dalam darahnya tiba-tiba turun. Ini benar-benar sebuah mukjizat."

Sejak saat itu saya tidak pernah membantah. Akhirnya, saya percaya kepada Allah -- yang kasih-Nya tidak terbatas, lebih dari logika dan hukum alam.

Iman. Inilah yang saya miliki sekarang ... iman dan pengetahuan bahwa kepercayaan seseorang kepada Allah adalah sesuatu yang sia-sia jika kepercayaannya itu tidak dibangun di atas iman. (t/Setya)

Diterjemahkan dari:

Judul buku : The Best Stories from Guidepost Inspiring Accounts of God`s Miraculous Intervention in People`s Lives
Judul bab : I Saw the Hand of God Move
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Tyndale House Publishers, Inc Illinois
Halaman : 159 -- 163
Kategori: 

Tinggalkan Komentar