Selamat Tinggal Masa Suram
Pada awalnya, saya mengira jika seseorang telah menjadi pengikut Kristus, perjalanan hidupnya akan berjalan dengan baik dan lancar. Saya berdoa dan berharap kepada Tuhan agar setelah tamat dari SMA saya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tetapi karena tidak ada biaya, saya mengubur dalam-dalam keinginan tersebut. Saya sangat kecewa dan mulai undur diri dari Tuhan. Walaupun tinggal di Bali, saya tetap harus mengurus perusahaan saya di Bandung, sehingga saya setiap bulan harus bolak-balik antara dua kota itu. Dalam sebulan, 2 minggu saya tinggal di Bandung, 2 minggu bersama keluarga di Bali, hal seperti itu saya lakukan selama setahun lebih.
Saat berada di Bandung, jauh dari istri dan anak-anak, hidup saya bagaikan seorang bujangan. Saya bebas melakukan apa saja. Kehidupan malam mulai saya jalani sesuka hati, minum minuman keras hingga pagi di ruang karaoke atau diskotek, saya lakukan hampir setiap malam. Bulan September 1999, tiba-tiba saya merasa sangat gelisah. Sebelum puas menikmati malam itu di dalam sebuah diskotik, saya pulang dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan menuju ke rumah, saya teringat anak-anak saya yang masih kecil. Saya bertanya di dalam hati, "Mengapa saya melakukan hal ini?", "Bagaimana kalau istri dan anak-anak mengetahui saya begini?", "Bagaimana kalau saya mati karena over dosis saat sedang berkeliaran di klub malam?". Mulai malam itu saya berusaha meninggalkan kebiasaan itu dengan kekuatan sendiri. Namun keinginan untuk mengulangi kebiasaan-kebiasaan itu justru menjadi semakin kuat.
Pada 30 Januari 2000, ketika itu saya berada di Bali, istri saya mengajak pergi ke gereja. Saya tidak berani menolaknya, karena saya pikir tidak ada salahnya jika sekali-kali mengantarkan dia pergi ke gereja dan sekaligus untuk menyenangkan hatinya karena kesempatan kami bertemu hanya 2 minggu dalam sebulan. Ternyata, keadaan menjadi berbeda sekali dari yang saya harapkan! Di dalam ruangan ibadah, tubuh saya seakan luluh, ada sesuatu yang sangat lembut menyentuh hati saya. Ketika pembicara dari luar negeri itu menyuruh semua orang yang ada di ruangan untuk menutup mata berdoa sambil berpegangan tangan satu dengan yang lain, maka kami saling berpegangan tangan dan berdoa. Kemudian saya mendengar suara seperti angin puyuh dan tiba-tiba saya melihat gambaran peristiwa-peristiwa jahat yang telah saya perbuat satu per satu muncul di depan saya. Saat itu saya menyadari bahwa dosa saya terhadap istri dan anak-anak saya sangatlah banyak. Saya tidak mampu menahan diri terlalu lama, di tengah keramaian itu, saya berteriak sambil menangis.
Saya meminta ampun kepada Tuhan dan mengakui seluruh dosa-dosa saya. Saya bertobat! Sejak kejadian yang tidak terlupakan itu, saya ingin terus tertawa dan memuji Tuhan dalam segala hal. Saya mulai gemar berdoa dan membaca Alkitab, buku-buku, dan kaset rohani. Saya ingin bersahabat dan berteman dengan semua orang. Mulut saya tak tahan untuk tidak mempersaksikan perbuatan Tuhan yang telah mengubah hidup saya. Hingga suatu ketika di dalam sebuah perjalanan, saya menceritakan kesaksian hidup saya kepada orang asing, yang ternyata adalah seorang hamba Tuhan! Saat itu walaupun saya menjadi sangat malu, namun hamba Tuhan itu mengatakan bahwa ia senang mendengarkan kesaksian saya. Hamba Tuhan itu pun banyak menguatkan saya sepanjang perjalanan itu.
Pada Juni tahun 2000, kami memutuskan untuk pindah ke Bandung, dan Tuhan mempertemukan saya dengan seorang teman lama -- teman bermain bulu tangkis saya yang dulu. Dia mengajak saya pergi ke suatu pertemuan di Bandung. Saya merasa senang sekali bisa bertemu dan berbicara tentang hal-hal yang rohani. Di sana kami saling mendukung dan saling menguatkan, saya juga bisa mendengar pengalaman-pengalaman teman-teman yang lain dan juga mendengar pengajaran yang sehat, sehingga saya semakin bertumbuh di dalam Tuhan. Satu hal yang saya dapatkan ketika bersama-sama dengan Tuhan adalah pemulihan dalam keluarga saya. Sekalipun saya melakukan yang jahat di mata istri saya, namun Tuhan membuat hati istri saya melupakan masa lalu yang suram. Sekarang, waktu saya tidak lagi dihabiskan untuk mencari uang, tetapi saya memberikan waktu untuk mengantar anak ke sekolah dan mencurahkan perhatian untuk keluarga. Saya tidak ingin waktu saya berlalu tanpa kehadiran istri dan anak-anak. Semakin banyak memberikan waktu untuk pekerjaan Tuhan, justru hati saya semakin bersukacita.
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul majalah | : | SUARA, Edisi 77, Tahun 2005 |
Penulis | : | Eddy Suhardiman |
Penerbit | : | Communication Department Full Gospel Business |
Men's Fellowship International - Indonesia
Halaman: 24 -- 26