Slang, Sahabat yang Tuhan Berikan Bagiku
Oleh: Aurel
Saat itu, saya masih ingat sekali ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMP pada awal Februari 2014. Pada pagi yang cerah itu, seharusnya saya masuk sekolah, tetapi saya merasakan badanku lemas, hidung pilek, pusing yang sangat hebat, tetapi tidak demam. Pikirku, "Ah, ini pasti hanya flu biasa." Entah mengapa, pada pagi itu, saya spontan mengatakan kepada kedua orang tuaku untuk tidak masuk sekolah karena keadaanku saat itu. Tidak seperti biasanya, saat mengetahui saya hanya sakit flu, mereka biasanya tetap menyuruhku untuk datang ke sekolah dan beraktivitas seperti biasanya. Pada hari itu, orang tuaku mengantarkanku periksa ke rumah sakit untuk berobat.
Setibanya di rumah sakit, saya hanya melakukan pemeriksaan seperti pada umumnya, saya masuk UGD dan berkomunikasi dengan dokter yang ada. Namun, ada hal yang mengganjal di hatiku saat itu. Dokter memintaku untuk menunggu sebentar dan dia berbicara dengan ayahku. Selang beberapa saat, ayah kembali menemuiku yang sedang berbaring di bilik ranjang UGD dan berkata, "Rel, kamu opname dahulu ya untuk beberapa hari, sepertinya kamu butuh istirahat yang cukup." Seketika duniaku terasa berhenti sejenak. Di situ, saya bertanya pada diriku, "Sepertinya, hanya flu biasa, tetapi kenapa sampai harus opname di rumah sakit untuk beberapa hari?"
Setelah itu, perawat memasang infus dan menyuruhku untuk duduk di kursi roda. Saya pikir, saya akan dibawa ke ruang rawat inap, tetapi keadaan sangat berbanding terbalik, mereka membawaku ke ruang CT scan. Waktu seperti membawaku untuk mengingat kembali masih kecilku, ketika sering sakit sakitan dan orang tuaku membawaku ke rumah sakit, saya selalu memasuki ruangan ini. Ruangan yang sangat dingin dengan mesin yang begitu besar, lalu seorang perawat membantuku untuk berbaring dan membalut tubuhku dengan kain selimut yang tebal hingga menutupi seluruh tubuhku, kecuali kepalaku. Pikirku, "Benda apa ini? Penyakit apa yang sedang saya hadapi sekarang? Apakah ini sebuah akhir perjalananku?" Tak lama setelah pengecekan itu, saya dibawa ke ruang rawat inap dengan kursi roda.
Setelah tiga hari berlalu, saya tetap saja memikirkan hal yang aneh dan tidak percaya, "Masa hanya sakit flu saya masih harus menginap selama ini?" Tok tok tok … bunyi pintu ruang rawat inap diketuk oleh seorang dokter. Ia menanyakan beberapa hal kepadaku terkait apa yang sudah saya rasakan. Tidak lama setelah itu, dokter itu pun meninggalkan ruangan dan membawa ayahku untuk berbicara sejenak mengenai hasil CT scan yang dilakukan kepadaku. Hatiku mulai hancur ketika nenekku memasuki ruangan, meneteskan air mata dan berkata, "Nduk, yang kuat ya, kamu pasti bisa." Semakin hancur hatiku ketika sore harinya ayahku menceritakan semuanya terkait apa yang dikatakan dokter dan tindakan apa yang akan dilakukan.
Ya, selama ini, ada kista di kepalaku. Kata ayahku, penyakit ini ada sejak saya lahir dan diketahui sejak saya duduk di bangku taman kanak-kanak. Kedua orang tuaku sengaja menutupinya supaya saya hidup normal sama seperti anak-anak lainnya. Ia memberitahukannya kepadaku tepat tiga hari sebelum tindakan operasi itu dilakukan. Tiga hari berlalu, dengan berat hati, ayahku berkata, "Nduk, kamu ingin sehat 'kan? Tidak apa-apa ya ikhlasin sebentar rambutnya, besok kita mau tindakan operasi." Dengan berat hati, saya menganggukkan kepalaku dan mengiyakan ajakan ayahku untuk memangkas semua rambutku hingga habis.
Hari yang saya takuti pun tiba. Ya, hari operasi. Ragu, bimbang, takut, semua perasaanku bercampur aduk begitu saja. Namun, ada satu hal yang membuat saya berani untuk menghadapinya. Begitu banyak orang yang sayang kepadaku berkumpul di satu ruang rawat inap untuk mendoakanku sebelum saya dioperasi. Tidak hanya keluarga, beberapa rekan kerja ayahku di rumah sakit itu pun ikut mendoakan dan meyakinkanku bahwa semuanya akan berjalan lancar sesuai dengan rencana-Nya. Setelah itu, dokter membiusku total, lalu operasi dilakukan di ruangan yang sangat dingin. Saya tak sadarkan diri sampai operasi itu selesai. Saya sadar pada keesokan harinya. "Puji Tuhan!" kataku saat mengetahui operasi berjalan lancar.
Seminggu setelah operasi, dokter memperbolehkanku pulang pada hari minggu. Namun, dia memintaku untuk rutin check up di tempat praktiknya. Banyak kejanggalan terjadi kembali, kepalaku membesar dan begitu banyak cairan keluar dari lubang hidung. Pada hari itu, saya sedang makan di luar bersama keluargaku. Saya menghabiskan tisu hanya untuk membersihkan cairan yang keluar itu. Ayah dan ibuku bingung sehingga mereka memutuskan untuk check up ke dokter yang menanganiku. Bagaimana tidak terkejut, dokter itu menyarankanku untuk kembali ke rumah sakit dan akan segera melakukan tindakan operasi untuk pemasangan slang pada keesokan harinya. Pada malam itu, kami langsung bergegas ke rumah sakit dan mengulang hal yang sama: memasang infus, memangkas rambut, dan kembali berpuasa sehari untuk melakukan tindakan operasi ke-2 keesokan harinya.
Kali ini, tidak banyak orang datang. Namun, ada satu hal yang selalu menguatkanku. Ada seorang perawat yang bercerita kepadaku tentang temannya yang juga mengenakan slang yang sama sepertiku. Temannya itu selalu bersemangat menjalani hidupnya dan melakukan kegiatannya sehari-hari dengan baik. Setelah operasi itu berjalan lancar, banyak imbauan dari dokter kepadaku. Ada bagian slang yang terletak di belakang telinga kiriku yang tidak boleh ditekan ataupun terkena benturan. Kalau itu dilakukan akan sangat fatal bagi diriku. Tepat pada 14 Februari 2014, pada tanggal yang cantik ini dan bertepatan dengan hari kasih sayang ini, saya memiliki hadiah slang yang akan menemani diriku selama hidupku.
Singkatnya, slang itu sudah menemaniku selama 11 tahun dalam hidupku. Hari demi hari saya lalui, yang tadinya saya tidak pernah berhati-hati dalam melakukan kegiatan, kini saya semakin berhati-hati. Di balik ketakutanku dulu, saya selalu ingat bahwa Tuhan ada dan selalu punya rencana yang pas untuk umat-Nya. Namun, satu hal yang sekarang membuatku selalu berani untuk menghadapi kehidupan yang ada, ayat yang membuat saya selalu kuat dalam menjalani hidup ada dalam Mazmur 23:4, "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku, gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghiburku".