Survei Ke Tiongkok

Dalam pikiran kami, sebelum pergi menjadi utusan Injil sebaiknya melakukan survei paling tidak satu kali. Tujuannya adalah untuk memahami apa yang ada di sana dan apa yang akan kami lakukan. Dengan melihat kondisi dan situasi di daerah yang didoakan, kami akan memastikan apakah kami harus pergi atau tidak. Kami telah berdoa kurang lebih setahun, agar Tuhan mengizinkan kami survei ke Tiongkok.

Januari 2002, tim memutuskan agar saya survei ke Tiongkok pada bulan April 2002. Kami mempersiapkan diri untuk itu. Kami membatalkan sebagian pelayanan, juga menunda jadwal pelayanan yang sudah disepakati dengan beberapa gereja. Namun ketika mendekati waktunya, kami batal berangkat. Tidak ada uang untuk melakukan survei. Perasaan malu menekan kami -- terhadap gereja-gereja dan pihak-pihak yang selama ini mendoakan kami, karena kami telah menunda, bahkan membatalkan pelayanan kami di beberapa gereja, terutama pelayanan yang waktunya bersamaan dengan jadwal keberangkatan kami. Kami merasa bersalah dan disudutkan, serta dipermalukan dalam peristiwa ini. Kami tidak ingin menyalahkan siapa-siapa kecuali berkata di dalam diri: "Seandainya kami punya banyak uang, tentunya kami tidak akan mengalami peristiwa memalukan ini." Tidak jadi berangkat survei karena tidak ada dana.

Rencana semula untuk bisa berangkat survei adalah dengan cara mencari 15 orang yang mau mengikuti tur misi ke Tiongkok. Jika ada 15 orang, ada bonus 1 orang. Itulah bagian saya. Namun karena keterbatasan waktu untuk mencari peserta dan keterbatasan diri saya yang belum pernah ikut tur misi, hanya 2 orang yang saya dapatkan. Karena jumlah peserta tidak memenuhi target, saya tidak bisa berangkat survei. Kami kembali "terjebak" dengan pikiran dan usaha kami sendiri. Kami lupa bahwa Allah mengizinkan segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (Roma 8:28). Hati ini berontak, namun kami sadar bahwa kalau Tuhan yang membuka jalan, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menutupnya. Sebaliknya, kalau Tuhan menutup jalan, tidak ada yang bisa membukanya. Kami mengerti hal ini, namun untuk menerima kenyataan pahit bukanlah perkara yang mudah.

Setelah beberapa bulan, tepatnya Agustus 2002, tim kembali memutuskan agar saya berangkat survei pada bulan September 2002. Berita ini tidak lagi kami sambut dengan gembira. Kami juga tidak memberi tahu orang lain karena bisa saja tidak jadi berangkat. Kami sungguh pesimis, namun kami tetap belajar berserah kepada Tuhan. Ternyata, peristiwa pertama nyaris terulang. Keberangkatan saya untuk survei dinyatakan ditunda sampai November 2002 karena alasan teknis. Tuhan sungguh baik, dalam kitab Mazmur dituliskan: "Dari balik bukit batu diberikan air madu yang manis." (Mazmur 81:17) Arti sederhananya, dari peristiwa dan kesulitan yang berat, Allah akan memberikan penghiburan yang manis.

Berita tentang pembatalan keberangkatan saya untuk survei pada bulan April 2002 diketahui oleh beberapa gereja dan saudara-saudara seiman kami. Beberapa relasi menanyakan mengapa saya tidak jadi berangkat. Ada yang menanyakan apakah karena dananya tidak cukup. Kami hanya diam dan menjawab semua pertanyaan itu dengan senyuman. Mendengar pertanyaan tersebut hati kami pedih dan malu. Hati kami terus berseru kepada Tuhan. Kami menjerit dalam hati agar Tuhan menyatakan kehendak-Nya. Apakah benar Ia memilih kami untuk pergi ke sana ataukah kerinduan ini hanya sekadar kerinduan manusiawi kami? Jika saya jadi berangkat survei, saya menganggap itu adalah konfirmasi dari Tuhan bahwa kami memang dipanggil oleh-Nya untuk pergi ke Tiongkok. Tuhan mengerti bahwa kami telah lelah dan nyaris putus asa. Kami mengalami tekanan mental karena "batalnya" saya berangkat survei ke Tiongkok, sementara berita itu sudah diketahui oleh lingkungan gereja dan relasi kami. Dengan cara yang ajaib Tuhan membalut dan memulihkan jiwa kami. Tiba-tiba ada seorang ibu yang memberi kami uang Rp. 10.000.000. Ibu itu berkata: "Ini uang untuk Bapak berangkat melihat-lihat Tiongkok." Hati kami begitu terharu dan bersyukur karena Allah sungguh luar biasa, karena uang 10 juta itu adalah jumlah yang besar sekali bagi kami. Kasih Tuhan tidak hanya berhenti sampai di situ. Setelah itu, Tuhan menggerakkan seorang bapak untuk membelikan tiket pesawat ke Tiongkok untuk saya.

Tuhan mengetahui dari kekekalan, jika saya batal lagi berangkat survei, mungkin sekali kami akan mengalami tekanan jiwa yang berat. Perjalanan survei hanya sebentar, namun tiap hari saya berdoa untuk mengetahui apa yang Tuhan kehendaki di negeri yang bahasanya pun tidak kami kenal, belum lagi budayanya sangat berbeda. Di sana saya dikuatkan oleh kesaksian seorang penginjil lokal yang tidak memunyai latar belakang pendidikan teologi. Namun dengan semangat yang besar, ia melayani Tuhan dan tetap setia, meskipun tunjangan hidup yang ia terima sangat minim. Tiap hari ia berkeliling agar ada jiwa-jiwa yang mau datang kepada Tuhan. Ia mendampingi saya sewaktu survei dalam kesederhanaan dan semangat melayani. Yang menjadi berkat rohani bagi saya adalah ketika saya hendak berpisah dengannya dan kembali ke Indonesia. Penginjil muda itu, dengan uangnya yang sedikit, membelikan oleh-oleh. Ia berkata: "Saya rindu membelikan sedikit oleh-oleh." Ia membelikan sebuah kenang-kenangan berupa dua boneka kecil dengan pakaian khas Tiongkok. Oleh-oleh itu kini terpajang di ruang tamu kami. Setiap tamu yang berkunjung pasti akan melihatnya karena kami memang sengaja menaruhnya di tempat yang akan selalu terlihat. Ini kami lakukan untuk terus mengingatkan kami akan kasih penginjil muda itu. Betapa hidupnya adalah untuk memberi, baik untuk Tuhan maupun sesama. Ia tidak menuntut orang lain mengerti keadaannya dan selanjutnya berbelas kasihan terhadapnya. Justru ia senang memerhatikan sesamanya. Hidup seperti ini sulit! Bahkan bagi seorang hamba Tuhan sekalipun. Hal ini sulit jika seseorang tidak memiliki integritas dan kemurnian hati dalam melayani Tuhan. Penginjil muda ini memunyai teman-teman dengan semangat yang sama. Mereka sering bersekutu bersama. Itulah sumber kekuatan mereka, persekutuan dengan saudara seiman. Mereka juga memunyai beban yang besar untuk melayani. Namun, keterbatasan mereka tidak sedikit sehingga sulit untuk belajar teologi di sekolah Alkitab. Melihat hal ini, kami semakin yakin bahwa Tuhan memanggil kami ke sana untuk memperlengkapi pelayan Tuhan di sana.

31 September 2002 saya tiba di Indonesia. Oleh-oleh berupa kesaksian nyata yang saya dapatkan dari Tiongkok itu saya bagikan kepada istri saya. Malam itu kami berdoa dan menangis. Pergumulan kami dalam menaati panggilan misi ke Tiongkok ini memang berat, namun jika dibandingkan dengan para penginjil muda dan kerinduan jiwa-jiwa di sana, pergumulan kami ini tidak ada apa-apanya. Sekian lama mereka berdoa dan merindukan, agar ada orang-orang yang mau datang untuk membawakan kabar keselamatan itu kepada mereka, dan mengajarkan mereka jalan yang benar itu. Jika orang Kristen di Indonesia bernyanyi, "Bagaimana tidak Tuhan kan sayang pada Indonesia, bangsa yang besar, jutaan jiwa-jiwa di negeri ini..." Apalagi rakyat negeri Tiongkok yang jauh lebih besar dari Indonesia. Tuhan pun sayang pada mereka. Kalau mereka mengungkapkan kebutuhannya: Siapakah yang mau datang kepada kami? Tuhan meneguhkan panggilan-Nya. Seperti halnya nabi Yesaya, kami hanya bisa berkata, "Ini kami Tuhan, utuslah kami!"

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Permata di Balik Air Mata
Penulis : Hendra dan Ester
Penerbit : Mitra Pustaka, Bandung 2004
Halaman : 45 -- 49
Kategori: 

Tinggalkan Komentar