Aku Menabur Injil di Kepulauan Maluku
Ditulis oleh: Amidya
Aku adalah seorang Belanda yang menjadi salah satu pekabar Injil di Kepulauan Maluku. Aku dilahirkan pada September 1769. Keluargaku adalah seorang keluarga Kristen yang setia. Semasa kecil, aku hanya fokus untuk menyelesaikan pendidikanku, sembari membantu ayahku dalam usaha perdagangan kulit. Ketika membantu ayah, aku sering menemui orang-orang Zeist (orang yang tinggal di kota Zeist, wilayah Utrecht, Belanda). Pada saat inilah, aku merasa bahwa aku terpanggil untuk memberitakan Injil kepada orang-orang Zeist yang notabene belum mengenal Kristus. Aku berusaha menyatakan keinginanku kepada kedua orang tuaku, tetapi orang tuaku tidak setuju, sekian lama mereka menahan keinginanku untuk menjadi seorang pekabar Injil.
Hingga akhirnya pada 1802, ayah dan ibuku meninggal dunia. Setelah kedua orang tuaku meninggal dunia, usaha perdagangan kulit keluarga kami menurun drastis, hingga akhirnya kegiatan usaha dihentikan. Selama masa itu, aku bekerja membantu usaha yang ditinggalkan ayahku dengan berjualan kulit. Kini, usaha itu sudah tidak lagi dilakukan. Keadaan ini mendorongku untuk mencari pekerjaan supaya aku dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak lama setelah itu, aku memperoleh pekerjaan menjadi seorang pesuruh di Mahkamah Nasional Belanda. Setelah hampir dua tahun bekerja, kemudian pada tahun 1804, aku menikah dengan seorang perempuan Belanda. Akan tetapi, pernikahanku tidak berlangsung lama. Dua bulan setelah melahirkan anak kami yang pertama, istriku meninggal dunia. Peristiwa yang aku alami terus berlanjut, setelah beberapa bulan kemudian, anakku yang masih sangat kecil mengalami kejang-kejang, hingga akhirnya anakku pun pulang ke rumah Bapa menyusul kakek, nenek, serta ibunya.
Kini, aku hanya seorang diri. Aku harus memutuskan langkah yang harus aku ambil, aku harus bangkit. Dalam masa-masa inilah, aku kembali diingatkan akan panggilan dan cita-citaku ketika aku masih muda, yaitu menjadi seorang zendeling (misionaris). Tanpa berpikir panjang, aku segera mendaftar ke Nederlandsch Zendeling-Genootschap (NZG -- Badan Misi Belanda). Pada 1807, aku mempersiapkan diriku untuk mengabarkan Injil ke kota Den Haag dan Rotterdam. Besar kerinduanku untuk dapat mengabarkan Injil kepada bangsa-bangsa lain selain Belanda. Namun, untuk dapat mewujudkan kerinduanku ini, aku harus menunggu cukup lama, sebab NZG tidak dapat memberangkatkanku. Dunia yang saat itu dalam kondisi perang, apalagi saat itu Belanda yang berada di bawah kekuasaan Perancis harus membantu Perancis berperang melawan Inggris. Sembari menunggu waktu bagiku untuk menginjil kepada bangsa lain, NZG memberikan perintah supaya aku dapat membantu melayani di Zeist.
Perjalananku pertama kali untuk menjadi seorang misionaris tidaklah mudah, NZG pertama kali menyelundupkanku untuk dapat pergi ke Inggris melalui sebuah kapal yang berlayar dari Den Haag menuju ke London. Ternyata, NZG telah mengadakan kerja sama dengan London Missionary Society (LMS). LMS-lah yang berupaya untuk mengirimku pergi ke Indonesia. Pada 1814, ketika aku berusia 33 tahun, aku diberangkatkan untuk pergi ke Maluku, Indonesia, bersama dua rekanku, yaitu Brunckner dan Supper. Maluku adalah tempat tujuanku, tetapi nyatanya kapal yang mengangkut kami tidak secara langsung berlayar menuju Maluku. Kapal yang membawa kami transit terlebih dahulu di Surabaya. Satu tahun kemudian, barulah aku menginjakkan kakiku di tanah Ambon, Maluku. Setibanya di Maluku, sudah ada orang Kristen, tetapi mereka semua sungguh terlantar. Iman mereka sama sekali tidak bertumbuh. Lalu, mulailah aku menabur Injil Kristus ke pulau Haruku, Seram selatan, dan Saparua. Hasil penginjilanku cukup berhasil, dalam beberapa waktu, sudah ada penduduk pribumi yang bertobat dan memberi diri untuk dibaptis. Pelayanan pastoral yang lain juga aku lakukan seperti melakukan sakramen Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus, juga menjadi seorang konselor bagi mereka. Penduduk Maluku sering kali terlibat pertengkaran, dan aku sering kali dipanggil oleh jemaat untuk mendamaikan mereka yang tengah bertengkar.
Di Tanah Ambon pula, aku bertemu dengan seorang wanita yang bernama Sarah Timmerman. Sarah adalah seorang wanita Indo-Belanda. Ia adalah wanita yang baik dan juga mencintai Tuhan. Setelah cukup lama mengenalnya, akhirnya saya menikah dengannya. Sarah adalah seorang istri yang setia mendampingi saya selama saya menginjil di beberapa tempat di Ambon, Seram, dan Saparua.
Semakin lama, pekerjaan misi di Ambon aku kira bertambah berat. Aku membutuhkan bantuan tenaga untuk mengusahakan kemajuan pekabaran Injil di Ambon. Karena itu, aku mengirimkan pesan kepada NZG untuk mengirimkan tenaga-tenaga baru. Pesan yang aku kirimkan direspons oleh NZG, dalam waktu dekat tenaga-tenaga baru tiba di Ambon dan ini membuat pelayanan pekabaran Injil berkembang dengan pesat. Dan, Ambon menjadi pusat kekristenan dan pekabaran Injil di Indonesia bagian Timur. Aku bersama dengan istri membimbing setiap orang yang bersedia untuk memberitakan Injil, secara khusus istri menolong orang-orang baik dari Belanda maupun penduduk asli Ambon untuk berbahasa Melayu dan aku mengajarkan bagaimana mereka dapat menolong jemaat secara langsung.
Inilah kisahku, seorang warga negara Belanda yang menabur Injil di Tanah Ambon. Usahaku untuk menabur Injil dan menggembalakan jemaat di Ambon terus Tuhan sertai dan menuai hasil. Aku memang telah tiada, tetapi jemaat yang pernah kudirikan masih berdiri dan mereka setia untuk mengikut Kristus. Aku adalah Joseph Kam, warga Ambon sering kali memanggilku dengan sebutan Rasul dari Maluku.
"Tetapi Injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa." (Markus 3:10)
Sumber bacaan: | ||
Wellem, F.D.. "Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja". Jakarta | : | BPK Gunung Mulia, 1999. Hlm. 155-157 |
____. "Joseph Kam". Dalam : | //id.wikipedia.org/wiki/Joseph_Kam/">http://id.wikipedia.org/wiki/Joseph_Kam/ |