Allah Terlalu Jauh

Karena saya tidak dibesarkan di lingkungan gereja, pada masa kanak-kanak saya tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan pandangan yang sehat dan tepat tentang Allah. Saya juga tidak menyelidiki Alkitab untuk mengoreksi konsep saya yang salah tentang Allah. Saya menarik suatu gambaran tentang Allah dari kisah-kisah Alkitab yang terkenal dalam Tinsel Town dan dari pengalaman pribadi saya yang melibatkan seorang tokoh berwenang.

Sebuah pengalaman yang membentuk pandangan saya tentang Allah terjadi ketika saya berumur 10 tahun. Saat itu saya tinggal di pinggiran kota California pada pertengahan tahun 1950-an. Selama musim panas tahun 1958, saya bersekolah di sekolah dasar yang letaknya hanya beberapa meter dari rumah. Saya naik sepeda pada pagi hari, pulang ke rumah untuk makan siang, dan kemudian kembali ke sekolah pada sore hari. Ketika cuaca tidak terlalu panas saya bermain bisbol dan catur bersama anak-anak lain. Guru olahraga kami mengawasi aktivitas kami. Ia adalah seorang pria lajang berumur 20-an. Ia adalah orang Amerika yang ramah, atletis, dan tampan. Semua anak menyukainya, termasuk saya. Akan tetapi, suatu sore pada bulan Juli yang panas, perasaan saya terhadapnya berubah.

Saya sedang bermain catur ketika dua remaja yang mengendarai sepeda mendekat dan berhenti di dekat bangku saya. Mereka melihat saya sekitar semenit sebelum menyuruh saya mengambil sepeda saya dan pergi bersama mereka. Semula saya menolaknya. Namun, setelah mereka mengancam akan mengambil sepeda saya, saya pun berdiri dan meloncat naik ke sadel sepeda. Sementara saya bersepeda di belakang mereka, beberapa anak mengamati dengan diam. Saya berdoa supaya guru itu akan campur tangan, tetapi ia tidak melakukan apa pun sekalipun badannya lebih besar dari para remaja tersebut.

Di samping sekolah, ada sebuah kebun ceri yang luasnya sekitar setengah lapangan sepakbola Amerika, dan lapangan itu tidak jauh dari bangku tempat saya duduk. Para remaja itu mengajak saya ke sana, dan saya takut nasib buruk telah menanti saya. Sambil mengendarai sepeda, saya berpikir untuk melarikan diri ke rumah. Namun saya tahu cepat atau lambat mereka akan mendapatkan saya dan bertindak lebih buruk. Sebelumnya saya telah beberapa kali dipukuli, tetapi bukan oleh mereka. Saya berharap mereka tidak melakukan hal yang sama.

Setelah kami masuk ke kebun ceri, masih terlihat oleh guru olahraga dan anak-anak yang lain, dua anak remaja tersebut mendekati saya dan mengamati sepeda saya. Baiklah, pikir saya, mereka hanya menginginkan sepeda saya. Namun, saya melakukan hal yang bodoh; saya tidak mau pergi. Saya tidak tahu apakah saya dikendalikan rasa takut atau kesombongan, atau kedua-duanya. Salah satu dari mereka pun memukuli wajah saya, dan saya pun roboh ke tanah. Mereka mulai memukuli saya di bagian perut, kaki, dan punggung, dan melontarkan kata-kata "Jap", "Nip", dan nama-nama lain yang mengingatkan bahwa saya seharusnya pergi ke "Japland", yang orang-orangnya menyukai saya. Namun demikian, saya menengok ke belakang, dan melihat guru olahraga itu berdiri di atas bangku, mengawasi kami, tapi tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan saya.

Setelah mereka memukuli saya, wajah dan hidung saya mulai berdarah. Mereka pun tertawa dan naik sepeda serta mengambil sepeda saya. Akhirnya, saya menemukan sepeda saya tergeletak di sebuah selokan dengan ban yang bocor. Saya berjalan dengan pelan dan menuntun sepeda saya. Dengan air mata meleleh di pipi, saya sekali lagi menoleh dan melihat punggung guru olahraga saya yang sedang bermain catur. Sementara saya berjalan pulang, saya bertanya-tanya mengapa ia tidak melakukan apa pun untuk menolong saya.

Saya bertanya-tanya mengapa Allah juga tidak melakukan sesuatu. Allah tampaknya begitu jauh ketika saya sangat membutuhkan-Nya dan tidak peduli dengan kepedihan saya. Saya sangat menginginkan seseorang atau sesuatu untuk memasukkan saya ke dalam insiden yang sama dan melakukan hal yang benar bagi saya. Saya rasa saya menginginkan seorang pahlawan -- pahlawan yang akan mengatasi ketidakadilan dalam hidup saya dan mengakui saya sebagai satu pribadi. Saya merasa sangat kecil dan tidak berarti, seperti perasaan Zakheus sebelum ia bertemu Yesus. Saya ragu apakah Allah akan memerhatikan saya.

Dalam usia yang masih muda, saya sering membayangkan seorang pahlawan menggunakan kekuasaan supernatural dan menyelamatkan saya dari orang-orang yang menyiksa saya. Berikutnya, saya bermimpi memiliki kuasa itu sehingga teman-teman menghormati saya. Namun mimpi itu tidak pernah sungguh-sungguh mengubah kerapuhan saya sebagai orang di luar kelompok. Yang saya perlukan adalah seorang pahlawan yang benar-benar akan menjangkau dan menyentuh saya dengan kuasa yang mengubahkan. Saya membutuhkan pahlawan yang penuh belas kasihan. Yang saya perlukan adalah seorang pahlawan sejati.

Dari Satu Keputusan ke Keputusan Lain

Pada musim panas tahun 1966, saya lulus dari SMA dan mendaftarkan diri di Universitas San Jose. Pada musim gugur saya bekerja. Saya pulang pergi ke tempat kuliah karena saya masih tinggal di rumah orang tua saya. Saya kuliah di fakultas paleontologi. Di luar, hidup bagi saya tampaknya berjalan baik, tetapi di dalam batin, saya tidak bahagia. Perang di Vietnam sedang berkecamuk dan saya percaya bahwa tugas saya sebagai orang Amerika adalah untuk mengabdi pada negara saya. Bagaimana saya dapat belajar ilmu purbakala di lingkungan yang damai sementara orang lain mati di tengah-tengah hutan di Asia Tenggara? Jadi, tanpa berkonsultasi dengan orang tua ataupun teman, pada semester pertama di bangku kuliah, saya masuk dalam daftar orang yang bergabung dengan satuan medis Angkatan Bersenjata Amerika Serikat.

Orang tua saya tidak menyadari keputusan saya sampai saya mendapatkan surat panggilan. Sekalipun ayah tampak tidak senang karena saya sepertinya mengabaikan kehidupan dan karier saya, namun dia masih mengantar saya ke terminal bus dan berdiri di tengah-tengah bayangan pagi menatap kepergian saya menuju Oakland. Di kota inilah saya akan digembleng dan dilatih menjadi tentara. Akan tetapi, Allah memiliki rencana lain bagi hidup saya. Setelah melewati seluruh tes yang diberikan, dokter menemukan ada sedikit sisa albumin dalam urine saya. Ini berarti ginjal saya mengeluarkan protein. Akibatnya, saya diberi waktu selama sebulan penangguhan supaya dokter keluarga dapat melakukan pemeriksaan untuk mengetahui apa penyakit tersebut. Dokter memberi saya sebuah tes, dan hasilnya mengindikasikan bahwa tidak ada yang salah dalam tubuh saya. Beberapa orang mengeluarkan sedikit protein selama mereka tidur, dan saya salah satu dari mereka, dan ini tidak berarti ginjal saya terganggu.

Setelah sebulan, saya tidak mendengar berita dari Angkatan Bersenjata, dan pada bulan selanjutnya kami tahu bahwa mereka kehilangan berkas-berkas saya. Akhirnya, setelah 3 bulan, saya kembali ke Oakland karena saya yakin akan segera menjadi tentara. Mereka kembali menguji dan tidak menemukan albumin dalam urine saya. Namun, ketika saya berdiri di depan dokter yang bertugas, dia mengatakan kepada saya bahwa saya "ditolak". Saya tidak dapat memercayainya! Dalam perjalanan kembali ke San Jose, sementara orang lain merayakan keberhasilan mereka, saya meratapi kemalangan saya.

Sepanjang bulan pada saat saya menunggu panggilan kedua dari Angkatan Bersenjata, seorang tetangga mengundang keluarga saya untuk makan malam di rumahnya. Ada satu keluarga lain yang juga diundang. Tetangga saya dan keluarga itu adalah anggota gereja setempat, dan bapak dari keluarga yang juga diundang itu adalah pemimpin kelompok pemuda. Selama pertemuan itu, ia bertanya apakah saya bersedia menghadiri salah satu pertemuan mereka di rumahnya. Saya memutuskan segera bergabung dengan pelayanan tersebut karena merasa jenuh harus menunggu kembali waktu untuk kuliah dan bekerja.

Dalam kelompok pemahaman Alkitab yang saya hadiri, ada satu hal yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya -- bahwa Kristus hidup dalam hidup manusia. Hal itu sangat menggugah rasa ingin tahu saya. Oleh karena itulah saya datang dan datang lagi. Pada tahun berikutnya, saya datang ke gereja mereka untuk beribadah dan mengikuti berbagai kegiatan termasuk menjalin persahabatan dengan beberapa anggota kelompok pemuda. Dan sekalipun saya tahu pasti bahwa Yesus menjangkau saya melalui mereka, yang tidak pernah memaksa saya menjadi orang Kristen, saya tetap mundur. Saya sebenarnya ingin dibaptis dan mengikuti perjamuan bersama mereka. Namun, kesombongan mencegah saya untuk melakukannya, dan saya tidak merendahkan diri di hadapan Allah.

Setelah selama berbulan-bulan bergumul dengan kesombongan dan kekerasan hati, akhirnya saya dengan sukacita menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya; saya dibaptis pada tanggal 7 Mei 1968. Saya segera diterima dalam Kerajaan Allah sehingga roh saya penuh dengan sukacita. Saya merasakan semua mimpi saya akan terpenuhi karena iman saya di dalam Yesus. Saya juga merasa Allah sekarang peduli dengan saya. Seperti Zakheus, setelah saya membuka pintu kehidupan bagi Yesus, saya dengan sukacita berjanji untuk menyerahkan sepenuhnya hidup saya. Saya akan bermurah hati. Akan tetapi, saya masih terlalu emosional akibat luka pada masa lalu. Setelah masa singkat seperti bulan madu itu, tidak ada lagi nyanyian dalam hati saya. Saya juga tidak bersukacita seperti Zakheus. Saya malah semakin tidak bahagia.

Pahlawan Kehidupan

Orang yang membaptis saya ke dalam iman Kristen adalah Nelson, tetangga saya yang telah mengundang keluarga saya untuk makan malam. Sepanjang ingatan saya, saya menilai Nelson adalah orang yang hangat dan bersahabat. Akan tetapi, setelah mulai menghadiri gerejanya, saya menyadari bahwa ia juga memiliki kelemahlembutan yang unik dan belas kasihan kepada orang lain. Gereja mengetahui ketulusan di dalam hatinya, oleh karena itulah mereka memilihnya untuk menjadi seorang penatua. Dalam diri Nelsonlah saya melihat Yesus dengan sangat jelas; melalui nasihat-nasihatnya, saya datang kepada kasih Tuhan. Saya tidak bisa tidak mengadopsi Nelson sebagai pahlawan saya.

Selama 20 bulan menjadi orang Kristen, saya berjuang dengan masalah emosi yang sering kali masih berada di luar kendali. Pada saat-saat seperti inilah saya akan datang ke rumah Nelson, duduk di mobil di garasi bersamanya, dan mencurahkan perasaan saya. Dia selalu mendengarkan saya dengan penuh perhatian dan merespons dengan begitu baik, tidak peduli berapa banyak saya "mencuri" dia dari keluarganya. Sampai saat ini, sebagai orang Kristen saya berhutang kepadanya karena menjadi pelindung rohani yang akan selalu mengangkat saya ketika saya tersandung seperti kanak-kanak yang pertama kali belajar berjalan.

Allah tidak ingin saya terus bergantung kepada Nelson. Dia ingin saya berjalan dengan Yesus -- tetapi Dia harus memenuhi hal ini dengan cara yang paling menyakitkan. Pada musim gugur tahun 1969, teman-teman mengatakan kepada saya bahwa mereka telah diminta menjadi konselor anak-anak muda di perkemahan Kristen di California Sierras selama libur Natal. Ketika saya mendatangi ketua panitia acara itu, saya bertanya apakah saya juga dapat menjadi salah seorang konselor. Dia berkata bahwa dia akan memeriksa apakah masih ada tempat. Minggu berikutnya setelah kebaktian gereja, saya bertemu dengannya, tetapi dia masih belum memberikan jawaban. Setelah memaksanya, akhirnya ia mengakui bahwa ia telah mendiskusikan masalah itu dengan Nelson, dan Nelson menunjukkan bahwa saya masih terlalu muda rohani untuk mengawasi anak-anak SMA. Sekalipun kata-katanya menyakitkan hati saya, saya tertawa. Kemudian, orang itu berkata bahwa saya dapat mengawasi anak-anak yang bertugas membersihkan dapur setelah acara makan. Karena sangat ingin pergi, saya menerimanya, sekalipun hati saya sangat sakit.

Di perkemahan, saya segera mendapati bahwa saya akan banyak menghabiskan waktu di dapur, dan kemarahan pun menghampiri saya. Menjelang akhir minggu, saya telah kehilangan sebagian besar kegiatan yang menyenangkan. Meskipun demikian, saya masih berharap untuk mengikuti acara kebaktian dengan api unggun. Akan tetapi, anak-anak yang membantu mencuci cerek dan panci setelah makan malam mengeluh, pada saat Nelson lewat di depan mereka. Hal ini membuat kepekaan saya terganggu. Oleh karena itu, dengan keras saya berkata kepada mereka bahwa masalah itu tidak akan terjadi jika mereka ikut membantu saya. Saya merasa begitu direndahkan sehingga saya mengusir mereka pergi dan mengatakan bahwa saya sendiri yang akan membersihkan semuanya. Setelah mereka dengan senang mengikuti acara itu, Nelson menanyakan apakah saya ingin berbicara dengannya dan mengakui bahwa saya sangat memunyai masalah. Saya berkata bahwa seharusnya ia meminta saya berdiri di luar. Secara pribadi ia menunjukkan ketidaksenangannya terhadap perilaku saya di depan anak-anak. Hal ini membuat saya beranggapan bahwa ia merendahkan otoritas saya. Saya kemudian menolak untuk berbicara dengannya lebih lanjut.

Tentu saja, saya tidak mengikuti lagi acara itu. Setelah saya menyelesaikan tugas saya, teman-teman saya telah berada di kamar mereka sehingga saya kembali ke tempat tidur saya di samping dapur, tempat yang saya siapkan sendiri. Karena semua kegiatan perkemahan berakhir dan tugas saya juga sudah selesai, pagi-pagi sekali saya pergi dengan mengemudi sendiri karena saya tidak perlu mengantar siapa pun kembali ke San Jose. Hal itu membuat saya memiliki kesempatan untuk mengungkapkan keluhan saya kepada Allah. "Jika ini yang dimaksud dengan menjadi orang Kristen," saya menggerutu, "saya tidak mau ambil bagian di dalamnya. Bahkan Nelson pun meninggalkan saya." Semakin saya meluapkan rasa muak saya, perasaan saya semakin buruk, dan saya semakin menginginkan Allah mengakui luka hati saya dan menunjukkan bahwa Ia peduli. Penolakan, kepahitan, dan kemarahan telah memenuhi hati saya. Seolah-olah Allah telah menusuk hati saya, semua masa lalu saya melesat keluar, mengotori seluruh jiwa.

Sampai di San Jose, saya masih ingin menyendiri. Jadi, saya mengemudi berkeliling sampai senja. Dan kemudian, saya tertegun. Saya tidak dapat lagi marah kepada Allah. Saya tidak dapat lagi menyarangkan tinju saya kepada-Nya. Saya lelah diatur oleh perasaan-perasaan buruk yang telah begitu lama memenjarakan saya. Saya sungguh-sungguh ingin berserah kepada-Nya. Pada malam bulan Desember itu, saya mengambil kunci gereja yang telah diberikan Nelson beberapa bulan sebelumnya, dan saya berjalan sampai di bagian dekat altar gereja. Pada awalnya, saya duduk di sebuah kursi di baris depan dan mencoba berdoa, tetapi gagal. Akhirnya, saya berlutut dan berkata kepada Allah bahwa saya sungguh-sungguh menyesal telah menyalahkan Dia untuk semua penderitaan, kekecewaan, dan luka hati saya. Saya menyesal karena telah meragukan karakter-Nya, kedaulatan-Nya, dan kebaikan-Nya. Saya juga menyesal karena tidak setia mengasihi-Nya.

Kemudian, ketika air mata saya jatuh bercucuran, saya merasakan kehangatan melingkupi saya. Saya tahu saya tidak sendirian. Yesus telah merangkul dan menarik saya ke dalam hati-Nya. Kemudian Ia berkata kepada saya seperti yang dikatakan-Nya kepada Zakheus: "Aku datang untuk mencari dan menyelamatkan yang terhilang." Dan saat Ia berkata bahwa Ia mengasihi saya, Yesus pun menjadi pahlawan saya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Bagaimana Saya Tahu Jika Yesus Mengasihi Saya?
Judul bab : Yesus, Pahlawanku: Kisah Jerry
Penulis : Christine A. Dallman dan J. (Jerry) Isamu Yamamoto
Penerjemah : Dwi Prabantini
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta 2003
Halaman : 28 -- 35
Kategori: 

Tinggalkan Komentar