Korban Aborsi Itu Kini Punya Masa Depan

Dua jari tangan kanan dan tiga jari tangan kirinya tumbuh tak sempurna, tanpa ruas pertama. Kakinya pun tak sempurna. Telapak kaki kanan separuh kaki normal sedangkan kaki kirinya hanya berbentuk bonggol, seperti tangan yang mengepal. "Batin saya tertekan dan saya sempat membenci Mama. Luka dalam hati saya begitu dalam. Syukur, itu tak lama. Roh Tuhan di hati saya bekerja, akhirnya saya dapat mengampuni Mama," ungkap Gloria Atmaja (42th.), wanita yang lahir cacat karena percobaan aborsi.

Masa Kecil yang Pahit

Gloria Atmaja kecil berjalan perlahan. Menatap sepatu boot yang terasa berat dipakainya. Saat masuk sekolah, Gloria makin sadar, ia berbeda dari yang lainnya. "Perbedaan itu menekan batin saya," kisah anak ke-7 pasangan Suciati Lesmana dan Oey Jiek Kwan ini.

Saat istirahat, waktu bermain tiba, Gloria kerap hanya duduk sendirian di pojok kelas. "Saya tumbuh menjadi anak yang minder, pemalu, penakut, dan sangat tertutup," kata wanita kelahiran 5 Maret 1963 itu mengenang.

Kata-kata tak sedap sampai olokan kasar menyakitkan ditelannya. "Karena pincang, saya disebut si buntung. Makanya saya malas keluar rumah," tuturnya sedih. Gloria hanya diam meski hatinya terluka. Jangankan marah, menatap orang yang mengejeknya pun, ia tak berani.

Memasuki masa remaja, tak banyak perubahan. Gloria melewati hari- harinya yang terasa panjang dengan tangisan. Ia menyimpan sendiri rasa kesepian itu. Tak ada sahabat untuk mencurahkan rasa. Situasi di rumah sama saja, ia merasa keenam kakaknya sibuk dengan urusan masing- masing.

Sejak kecil, Gloria merasakan sikap mamanya berbeda "Saya tidak dekat dengan Mama. Saya merasa Mama tidak menyayangi saya. Pernah satu kali kami nonton teater, ada adegan yang bikin saya takut, saya pegang tangan Mama, minta perlindungan. Tapi, tangan saya dikibaskan. Komunikasi kami buruk. Mama juga sibuk kerja mengurus toko kecil menggantikan Papa yang meninggal. Berangkat pagi pulang sore," kata Gloria yang tak lagi memiliki papa saat berumur tiga bulan.

Gloria tidak merasakan masa remaja yang kata kebanyakan orang adalah masa yang paling indah. Hidupnya terasa hampa, tanpa tujuan. Ketika teman sekelas berbinar bicara tentang cita-cita dan masa depan, Gloria hanya diam. Pada dinding kamar dan bantal, kesusahannyanya dibenamkan. Ia ingin mati. Hidup ini tidak adil. Kala perasaan itu menderanya, Gloria kerap membenturkan kepalanya ke tembok. Sering pula bila tak sependapat dengan sang Mama, sifat berontak dilampiaskan dengan berteriak-teriak sambil membanting pintu.

Saat perpisahan SMA, diadakan acara jalan-jalan mendaki bukit melalui jalan setapak. Kendati tak gampang, dengan sekuat tenaga ia tetap naik meski sendirian. Saat sampai atas, ia juga sendirian karena teman-temannya sudah kembali ke bawah. Getir, sepi, dan luka ditelannya. Air mata ditahannya dalam-dalam.

Pernah satu kali, ia bertanya pada mamanya tentang kecacatannya, "Mama menjawab, sewaktu hamil ia memotong kaki ayam. Lalu Mama kaget karena menurut leluhur kami seharusnya orang yang sedang hamil tak boleh memotong kaki ayam," kisah wanita cantik yang masih lajang ini. Gloria mencoba mengerti meskipun jawaban itu tak memuaskan hatinya.

Lulus SMA, Gloria meneruskan di Akademi OTC (Office Training Center), hatinya gundah, apakah ada gunanya semua ilmu yang ia dapat? Bekerja di mana? Siapa yang mau menampung karyawan cacat seperti dirinya?

Seorang kenalan mengajak Gloria menjadi asisten guru kursus bahasa Inggris bagi anak kecil. Ia tak menampik meski dengan honor Rp 40.000 sebulan. Yang penting bisa kerja. "Tugas saya kala itu menemani murid kalau ada yang mau ke toilet, menjaga suasana kelas supaya bisa belajar tenang. Ngurusi murid yang menangis. Sampai suatu saat, saya diminta mengajar karena jumlah murid meningkat. Jadi guru beneran," kenangnya bahagia.

Dari mengajar itulah, Gloria banyak kenal dengan orangtua murid. Tidak sedikit ibu-ibu hersimpati padanya. Berberapa menawarkan Gloria mengajar les privat bagi anak mereka. Di sinilah awal percaya dirinya tumbuh. Hasil mengajar pun lumayan. Ia dapat mencukupi kebutuhannya sendiri.

Mencari Khotbah Lucu

Suatu hari di tahun 1986, seorang teman mengajak Gloria ke gereja dengan alasan kotbah pendetanya lucu. "Saya merasa ada dorongan yang sangat kuat untuk ikut. Kami nyasar cukup lama. Sampai di sana lagi penyembahan. Lagu Halleluya yang sederhana, sangat mudah untuk dihafal dan dinyanyikan berulang-ulang. Mendengar pujian itu tiba-tiba saya menangis. Air mata sulit dibendung. Perasaan saya menjadi tenang. Pak Awondatu lalu berkhotbah tentang keselamatan di dalam Tuhan Yesus."

Hati Gloria terbuka bagi Yesus. Roh Kudus membebaskan batin Gloria yang tertindih hingga ia merasa hidupnya kini berharga di mata Tuhan.

Sejak itulah, ada kehausan yang amat dalam mendorong Gloria mencari Tuhan. Ia ingin selalu mendengar firman Tuhan. "Mama nggak senang saya pergi ke gereja dan menjadi seorang Kristen. Namun kuasa Tuhan mengalahkan ketakutan saya itu. Saya tetap pergi ke gereja meski ditentang."

Lambat laun, luka batin terobati. Hatinya yang kosong mulai terisi firman Tuhan. Ada kehidupan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Markus S. Y. dan Rahel adalah orang yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan rohani Gloria. Mereka dengan sabar membimbing Gloria agar terus maju. Ia pun akhirnya kerap ikut mengambil bagian pelayanan memimpin pujian. Pada 17 Agustus 1986, Gloria dibaptis oleh Pdt. A. H. Mandey.

Rahasia besar Terungkap

    Hingga suatu hari, seorang saudara yang dipanggil tante oleh Gloria menceritakan bahwa cacat tubuh Gloria akibat tindakan aborsi yang gagal, kendati telah dicoba dengan tiga cara; minum jamu, obat, dan dipijit. Gloria pun terpukul. Luka lama terkoyak kembali. Ia sangat marah, sangat sakit, dan sangat kecewa. "Saya tak dapat mengungkapkan dengan kata-kata, sakit hati saya terhadap Mama waktu itu. Betapa teganya! Apa dia tidak berpikir akibatnya seperti ini? Hati saya hancur, bukan saja tindakan aborsinya tapi juga penolakan atas kelahiran saya."

Alasan tindakan aborsi adalah orangtua sudah repot secara ekonomi. "Alasan itu sangat tidak adil karena saya terpaksa menanggung cacat seumur hidup. Terbayang masa kecil yang pahit dan masa remaja yang suram. Saya sangat membenci Mama. Dialah yang membuat saya jadi begini," kata Gloria tentang perasaannya kala itu.

Kemarahan Gloria tak dapat disembunyikan. Beberapa lama, ia mengurung diri di kamar. Terbayang semua yang pahit. "Syukur situasi itu tak berlarut-larut. Saya seperti disadarkan Tuhan bahwa kehidupan di dalam-Nya lebih berharga dari semua. Saya berharga di mata Tuhan. Bukankah tangan Tuhan bekerja memberi kehidupan dari rencana kematian? Hidup saya ini dikehendaki-Nya!" tekadnya.

Jamahan kasih Tuhan melembutkan hati Gloria. Kemarahan perlahan luruh. Ia berdoa mohon kuasa Tuhan untuk bisa memaafkan wanita yang melahirkannya. Sesuatu yang indah terjadi, "Hubungan kami diproses Tuhan. Setelah bisa memaafkan Mama, saya melihat ada sesuatu yang berubah dari Mama. Ia mulai memerhatikan saya, misalnya saya pulang dari mengajar, Mama minta pembantu menyiapkan makan untuk saya. Hal- hal kecil tapi menyentuh hati. Saya dan Mama bisa ngobrol enak. Kebahagiaan bertambah tatkala Mama percaya Tuhan Yesus. Namun, tujuh bulan kemudian, Mama dipanggil Tuhan," kisah pemilik album rohani berjudul Kucinta Kau. Satu persatu kakak-kakak Gloria percaya Yesus.

Hidup Penuh Makna

Kehidupan yang dijalani sekarang, sungguh jauh dari pikirannya di masa lampau. Si penakut, pemalu, dan rendah diri karena fisiknya yang tak sempurna itu telah dibentuk Tuhan menjadi ciptaan baru. Rasanya, tak ada yang menyangka, kini ia penuh semangat memberikan kesaksian, menyanyi bahkan menjadi pembicara seminar di banyak tempat dengan topik Bahaya Aborsi bagi Ibu dan Anak yang dihadiri ratusan orang. Gloria juga sukses menjadi pengusaha kue kering dengan label Hosana yang terpampang di gerai toko roti bergengsi di Jakarta, SOGO, salah satunya. Wanita yang lahir dari gagalnya aborsi kini menikmati kehidupan.

Judul buku : Karena Dia
Judul Kisah/Kesaksian : Korban Aborsi Itu Kini Punya Masa Depan
Penulis : Niken Maria Simarmata
Penerbit : ANDI
Halaman : 41 - 49

Tinggalkan Komentar