Kota Tashkent: Nothing To Lose

Pada minggu pagi, lantai semen ditutup dan kursi-kursi kayu dibungkus di gereja Tashkent, Uzbekistan. Para pemimpin gereja di sana menemukan suatu cara kreatif untuk membangun sebuah gereja -- sederhananya memasang atap-atap menyeberang di antara dua rumah yang bersebelahan, mengubah tanah kosong yang merupakan jarak antara kedua rumah tersebut menjadi gereja yang teduh. Jemaat gereja tersebut telah berkembang mencapai 150 jiwa, dan membuka cabang lain yang jemaatnya mencapai 120 jiwa. Proyek misi mereka adalah membuka gereja baru lagi di salah satu kota tetangga yang sangat anti kekristenan. Sudah ada sekitar 30 jiwa yang menghadiri persekutuan di gereja baru itu.

Pertumbuhan ini bukannya tanpa harga -- benih yang rela mati, dan bukannya tidak menarik perhatian pemerintah Uzbek yang memandang semua agama sebagai ancaman bagi kekuasaan mereka. Pada tahun 2002, polisi menggerebek sebuah gereja yang sedang melakukan ibadah dan menahan 10 pemimpin gereja. Mereka semua diinterogasi, lalu dibebaskan, dan diperintahkan untuk menghentikan ibadah mereka.

Setelah pembebasan mereka, Pendeta K memanggil semua jemaat untuk sebuah voting. Hanya ada satu pertanyaan di atas kertas dan dia mengetiknya sangat jelas: "Akankah kita mematuhi perintah polisi atau mematuhi firman Allah?" Keputusan seluruh jemaat sudah jelas: "Kita akan mengikuti firman Tuhan, apa pun harganya". Mereka terus bertemu dan bersekutu. Pemerintah telah menolak mendaftarkan gereja, jadi setiap kali mereka berkumpul adalah tindakan ilegal -- mereka dijadikan sasaran penggerebekan dan penangkapan oleh kepolisian.

"Kami mengerti bahwa kami tidak akan pernah didaftarkan," kata K kepada salah satu lembaga Kristen. "Tetapi bagaimana pun, kami akan tetap melayani". Pelayanan mereka sedang meluas sampai keluar kota, termasuk melayani di daerah yang dikenal dengan populasi "agama lain" yang radikal. "Kami tidak terdaftar," kata K, "bahkan kami tidak memunyai kekuatan politik. We have nothing to lose! Kami dapat menginjil dengan berani".

Firman yang dia sampaikan sangat kuat dan pelayanannya sedang berbuah, tetapi dia tidak ingin orang lain menganggapnya sebagai raksasa rohani.

"Saya tidak pernah berpikir bahwa saya adalah seorang pahlawan," katanya kepada salah seorang staf dari salah satu lembaga Kristen, saat duduk berbicara di suatu ruangan doa yang agak jauh dari ruangan utama ibadah. "Kadang-kadang saya sangat takut". Dia bercerita, suatu waktu dia dan keluarganya berkendara dengan mobil, dan mobil mereka dihentikan di perbatasan oleh petugas perbatasan karena mereka menemukan Alkitab di mobilnya. Para petugas memaksa mereka keluar dari mobil dan menggeledah -- menelanjangi pendeta ini dan istrinya di depan anak-anak mereka. Setelah menginterogasi dan mempermalukan mereka, para petugas tersebut mengizinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan.

"Kami sadar bahwa kami sudah memberikan hidup kami kepada Yesus," kata K -- kelihatan air mata mau menetes di ujung matanya, "tetapi ini sangat sulit karena kami memiliki anak-anak". Di lain kesempatan, polisi meletakkan heroin di dalam Alkitab K dan menahannya dengan tuduhan penggunaan obat-obatan terlarang -- sudah umum penggunaan taktik ini terhadap orang-orang Kristen di Uzbekistan.

"Saya takut, bahwa saya mungkin tidak akan meninggalkan kantor polisi. Saya katakan kepada mereka: 'Kamu tahu saya tidak pernah memakai obat-obatan terlarang. Akan ada waktu ketika kita akan berdiri bersama-sama di hadapan Allah dan kamu akan diingatkan akan kasus ini'". Perwira polisi itu menjadi marah sekali dan mengusir K. Allah mengizinkan kasus ini terjadi agar pelayan-Nya terus menanam benih dengan bebasnya. K sudah siap jika Allah berencana membawanya ke dalam penjara.

"Saya menyukai firman Allah, setiap kali saya membacanya, saya melihat bagaimana orang-orang diubahkan oleh firman Allah. Saya sangat bahagia bahwa hidupku diarahkan di jalan ini".

K sedang menanam benih Injil. Suatu hari akan datang ketika dia akan dipanggil untuk menanggung buah-buah kehidupan melalui kematiannya. Jika hari itu datang, keputusan bulat telah dibuat di dalam hatinya: "We have nothing to lose".

Diambil dari:

Nama buletin : Kasih Dalam Perbuatan, Edisi November - Desember 2004
Penerbit : Yayasan Kasih Dalam Perbuatan
Halaman : 5 -- 6

e-JEMMi 211/2011

Kategori: 

Tinggalkan Komentar