Menanggapi Panggilan

Saya menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi pada tahun 1980. Ketika itu, saya mengikuti retret sehari bersama teman- teman SMA di Kota Bogor. Setelah menerima Kristus, saya merasa diyakinkan akan keselamatan dan pengampunan dari Tuhan Yesus serta timbul kerinduan yang kuat untuk melayani Tuhan. Saya mulai melayani di persekutuan doa muda-mudi Bukit Duri dengan aktif sebagai pengurus.

Selama kuliah, saya melayani di persekutuan mahasiswa sebagai Koordinator Kebaktian Tingkat Satu, Koordinator Kelompok Kecil, Ketua Pengurus Persekutuan Mahasiswa Fakultas Teknik UKI, semuanya masing-masing satu tahun lamanya. Pelayanan kami di UKI bekerja sama dengan badan kerohanian Senat dan PERKANTAS.

Setelah lulus, saya bekerja sebagai arsitek di sebuah perusahaan konsultan teknik selama tiga tahun dan dilanjutkan bekerja sebagai kontraktor selama empat tahun. Setelah bekerja selama tujuh tahun, saya mendapatkan dorongan lebih kuat untuk mengabdikan diri saya dalam ladang pelayanan yang full time. Saya berniat untuk belajar teologi di STT, tetapi saat itu belum dapat kesempatan yang baik. Akhirnya, saya meresponi panggilan Tuhan ketika teman gereja kami menceritakan pelayanan organisasi misi X dalam bidang penerjemahan Alkitab. Saat itu saya berdoa dan mencari tahu tentang apa itu pelayanan organisasi misi X. Fokus organisasi misi ini adalah pelayanan kepada suku-suku yang terabaikan. Organisasi misi X bukan hanya menyediakan firman Tuhan dalam bahasa suku-suku itu saja, melainkan juga melayani dalam bidang literasi (mengajar orang membaca dan menulis) dan memberdayakan masyarakat desa (bidang sosial, ekonomi, dan kesehatan). Setelah dijelaskan oleh salah seorang konsultan organisasi tersebut, saya memutuskan untuk bergabung dengan tim misi ini.

Pelayanan kepada suku-suku terabaikan adalah pelayanan jangka panjang yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tim tenaga lapangan dilatih oleh tim misi X, lalu diutus untuk tinggal pada salah satu suku untuk mempelajari bahasa dan budaya mereka. Sampai mereka mampu memahami dengan baik bahasa suku tersebut, barulah mereka dapat mulai menerjemahkan firman Tuhan dalam bahasa suku tersebut. Untuk menyelesaikan satu terjemahan kitab Perjanjian Baru saja biasanya dibutuhkan tidak kurang dari delapan tahun lamanya.

Saya ingin menceritakan kesaksian dari salah satu yang dilayani oleh organisasi misi tempat saya bernaung di Papua, yaitu suku A. Suku ini dahulu mempunyai kebiasaan untuk tukar-menukar pasangan (istri). Meskipun mereka telah menjadi Kristen, masih banyak pria/suami yang masih bertukar pasangan dengan suami yang lain. Hal ini dapat terjadi karena mereka tidak memiliki firman Tuhan yang dapat menjadi penuntun bagi perilaku hidup mereka.

Pada tahun 2005 yang lalu, firman Tuhan dalam bentuk Perjanjian Baru telah selesai didedikasikan kepada seluruh masyarakat suku A. Dalam pesta dedikasi dan penyerahan Perjanjian Baru tersebut, salah seorang bersaksi, "Ketika dulu kami belum memiliki firman Tuhan dalam bahasa suku kami, kami hanya dapat mendengar firman yang dikhotbahkan (dalam bahasa Indonesia yang dapat kami mengerti sedikit), sama seperti mendengar suara kicauan burung di pohon tanpa memahami betul apa artinya. Tetapi setelah kami dapat membaca firman Tuhan dalam bahasa ibu kami, yaitu dalam bahasa A, kami dapat sungguh-sungguh mengerti dengan jelas apa yang dimaksudkan oleh firman Tuhan, sama seperti kami melihat dengan jelas ikan berenang di dalam kolam yang jernih." Demikianlah, melalui proses penerjemahan Alkitab dalam bahasa A, suku itu akhirnya menyadari bahwa firman Tuhan melarang mereka untuk bertukar pasangan. Akhirnya, para suami juga meninggalkan tradisi yang tidak sesuai dengan firman Tuhan itu dan hidup mereka diberkati dalam damai sejahtera Allah.

Sekarang saya melayani sebagai tenaga administrasi di organisasi misi X. Organisasi X saat ini sedang menjangkau suku-suku terabaikan di enam daerah berbeda. Saya punya beban untuk lebih banyak melibatkan orang Kristen dan gereja-gereja untuk melakukan serta mendukung pekerjaan misi penerjemahan Alkitab kepada masyarakat yang belum memiliki firman Tuhan dalam bahasanya. Keterlibatan saya di lembaga ini memperkuat kerinduan saya bagi tumbuhnya gereja-gereja yang misioner di Indonesia. Saat ini saya sedang mendalami teologi di salah satu STT untuk menunjang pelayanan di gereja dan bagi pelayanan misi umumnya.

*)Kesaksian di atas dikirim kepada Redaksi e-JEMMi melalui e-mail oleh DR yang melayani suku-suku terabaikan melalui sebuah organisasi misi.

e-JEMMi 40/2006

Dipublikasikan di:

Kategori: 

Tinggalkan Komentar