Menapaki Tanah-tanah Terabaikan
Manusia sering merasa gagal saat hidup tidak sesuai harapannya. Itu pula yang pernah dialami Abimelek "Aby" Letedara (47). Ia pernah mencoba bunuh diri. Namun perjumpaannya dengan Yesus Kristus, Sang Guru Kehidupan, menjadikan semuanya berubah. Hidup menjadi teramat berarti baginya. Kini Aby adalah salah satu pembawa kabar baik di suku terabaikan di tanah Papua.
Keluarga "Broken Home"
Aby terlahir Kristen. Saat kelas dua SD, orang tuanya bercerai karena papanya menikah lagi. Akibatnya, ia dan tiga saudaranya membantu mamanya mencukupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah mereka. Tamat SD, Aby diasuh saudara mamanya di kota Ambon.
"Di tengah keluarga orang tua angkat, saya jadi anak paling besar. Tanggung jawab saya pun besar. Hampir seluruh pekerjaan rumah saya yang kerjakan," kata suami Ria Rahamis ini.
Lulus SMP, Aby melanjutkan di SMOA (Sekolah Menengah Olahraga Atas). "Setelah lulus, saya ingin kuliah di Sekolah Tinggi Olahraga. Ternyata mereka setuju. Padahal masa itu tidak banyak orang melanjutkan ke perguruan tinggi," ungkap pria kelahiran Pulau Leti Serwaru, Maluku Tenggara.
Tahun 1979, Aby kuliah di Ujung Pandang. Jauh dari orang tua membuat sesuatu berubah. Aby bak burung lepas dari sangkar. Bebas. Ia mengikuti banyak kegiatan tanpa ada pertimbangan dari orang tua. Ia mati-matian melatih diri menjadi atlet beladiri dan lari jarak jauh. Ia ingin menjadi orang terkenal.
Jalan itu terbuka. Setahun di Ujung Pandang, Aby dipilih mewakili daerah itu menjadi komandan barisan Tri Lomba Juang. Dari prestasinya ini, Aby mendapat beasiswa dari pemerintah. Penghargaan dari pemerintah dan prestasi yang ia peroleh ternyata tidak cukup membuatnya bangga. Aby merasa itu semua masih jauh dari harapan. Padahal, waktu dan perhatiannya dicurahkan untuk olahraga.
"Saya pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Saya merasa gagal. Namun, pikiran itu saya buang. Tahun 1983, saya benar-benar kacau. Saya capai dengan semua latihan tanpa hasil yang maksimal. Saya merasa hidup tak berharga. Saya nekad minum minyak kayu putih setengah botol besar. Saya pingsan. Puji Tuhan, saya nggak mati waktu itu," tutur Aby mengenang.
Aby juga aktif mengikuti paduan suara. Suatu ketika, dia diundang menyanyi dalam acara perpisahan mahasiswa praktik dari STT Batu, Malang. Firman Tuhan yang disampaikan diambil dari Mazmur 112:1-2 tentang keturunan orang benar akan diberkati. Dalam khotbah itu diterangkan hasil penelitian dua keluarga besar di Amerika yang takut Tuhan dan keluarga yang tidak takut Tuhan. Sampai generasi yang keempat, kedua keturunan itu tampak sangat berbeda.
Khotbah itu menggelisahkan hati Aby. Dia merasa berada dalam keluarga yang tidak takut Tuhan. "Sejak kecil, saya dididik secara Kristen dengan baik dan rajin ke sekolah minggu. Tapi dihadapkan pada kenyataan orang tua cerai, saya sendiri kacau! Waktu itu banyak pacar. Jadi, saya ini Kristen macam apa? Timbul ketakutan yang sangat mengganggu pikiran saya," ujar pria kelahiran Nuwewang 17 Agustus 1958.
Mencari Tuhan dalam Kegelisahan
Kegelisahan itu mendorongnya membaca Alkitab. Ia membaca kisah Raja Yosafat yang ketakutan karena dikepung tentara. Yosafat mencari Tuhan. Waktu ia mencari Tuhan, Tuhan memberi pertolongan. "Saya membaca kisah itu seperti melihat diri saya sendiri. Saya ketakutan karena dosa-dosa saya. Saya seperti Yosafat, saya mencari Tuhan," katanya mengenang.
Aby mulai sering berdoa sendiri. Ada kerinduan baru mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh. Ia aktif di persekutuan YPPII dan PERKANTAS, serta kunjungan doa di rumah sakit. Ia mulai berani bicara mengenai Yesus kepada teman-temannya.
Aby kerap mendengar suara yang berkata, "Itu belum cukup." Suatu siang dalam keadaan lelah setelah pelayanan, ia berdoa di tempat tidur dan berkata pada Tuhan: "Tuhan, apa yang Engkau maksud dengan apa yang saya lakukan belum cukup?" "Siang itu, sesuatu terjadi, saya mendapat penglihatan. Lembah yang sangat hijau dan melihat iblis merantai tangan orang-orang di sana. Lalu terdengar suara, `Bertolaklah lebih dalam dan tebarkan jala.`"
Aby bingung dengan pengalaman itu. Tapi Aby ingat pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. Ya, itu ada di Alkitab! Di Lukas 1:1-4, tentang cerita Yesus memanggil murid-murid yang pertama. Aby seperti mendapat pengertian bahwa itu adalah panggilan misi. "Saya ambil keputusan drastis, akan berhenti kuliah dan pergi menginjil. Tapi semua dosen tak setuju karena memang saya dipersiapkan untuk jadi dosen. Saya urungkan niat itu dan selesaikan kuliah," kata pria yang mengantongi sertifikat mengajar Akta 5 ini.
Singkat cerita, Aby dan paduan suara Shalom pergi ke Batu, Malang untuk rekaman kaset bagi penginjilan. Bersama dengan itu, YPPII sedang mengadakan kebaktian tahunan. Khotbah Brother Andrew tentang keselamatan dan damai yang hanya diperoleh dalam Yesus menyentuh hati Aby. Usai pemberitaan firman, seorang bernama Jhony Sinaga mendatanginya dan mengajaknya berbincang-bincang. Aby pun menceritakan banyak hal yang menggelisahkan hidupnya. "Dia ajak saya berdoa dan saya merasakan kedamaian yang luar biasa. Rupanya kekosongan kasih dan kenyataan yang jauh dari harapan membuat saya hampa. Saat itu saya menangis meraung-raung," cerita Aby mengenang.
Melayani di Pedalaman
Kerinduan melayani di pedalaman tak dapat dibendung. Namun, Yayasan Misi menolaknya karena tidak memiliki latar belakang teologia. Akhirnya, Aby kuliah di STT III Batu, Malang. Di kampus itu, Aby berjumpa Ria Rahamis yang dinikahinya setelah lulus kuliah.
Pasangan ini punya hati yang sama, melayani Tuhan bagi suku terabaikan. Hatinya tertuju bagi banyak jiwa yang sama sekali belum pernah mendengar tentang Yesus. Mereka selalu bergetar setiap kali mendengar dan melihat peta wilayah yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman.
Proses panjang dilalui oleh Aby dan Ria. Mereka tidak bisa begitu saja masuk ke daerah pedalaman. Lebih dahulu mereka belajar di Institut Pendidikan Misi dan praktik di Pulau Taliabu, Maluku Utara.
Tahun 1995, Aby mengikuti pertemuan hamba-hamba Tuhan di Sentani. Hati Aby tersentuh ketika mendengar tentang suku Yetfa. Suku di daerah pedalaman yang benar-benar belum tersentuh Injil. Pada tahun itu pula, Aby melihat wilayah ke-9 dari 14 suku terabaikan itu.
Tahun 1996, bersama istrinya, Aby "membuka kampung". Tentu banyak kenangan indah, lucu, dan mengharukan yang akan terus disimpannya. "Waktu kami datang pertama kali, penduduk di sana terus memandangi kami. Menyentuh tangan kami dan berlari-lari memperlihatkan tangannya yang telah menyentuh tangan kami. Kami mengajari mandi, menggosok gigi, dan memakai sabun. Pernah dari mereka sakit perut ternyata ketika kami tanya, mereka makan sabun dan odol yang kami sediakan. Setelah merasa dekat, kami memberi pengertian tentang pentingnya kebersamaan untuk kepentingan bersama. Kami membuat lapangan terbang dengan alat seadanya, seperti cangkul, sabit, dan bambu yang kami runcingkan. Tidak ada alat berat. Bagaimana mau masuk kalau tidak ada lapangan udara. Semua transportasi di sana hanya bisa dilakukan dengan pesawat," ujar ayah Gabriel, Solagratia, dan Talitakum ini. Lapangan udara hasil kerja bareng masyarakat suku Yetfa yang dikerjakan tahun 1996 sudah bisa dipakai tiga tahun kemudian.
Aby masih terus setia menapaki "tanah-tanah terabaikan". Masyarakat di sana sudah memakai pakaian. Anak kecil dan orang dewasa belajar membaca dan menulis di kelas yang sama. Kemajuan yang luar biasa.
Kini, di tanah Papua terdengar nyanyian pujian, kesukaan bagi Tuhan ....
Aby! Hidupmu amatlah berarti.
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku | : | Karena Dia |
Judul artikel | : | Menapaki Tanah-tanah Terabaikan |
Penulis | : | Niken Maria Simarmata |
Penerbit | : | ANDI, Yogyakarta 2006 |
Halaman | : | 61 -- 69 |