Sebuah Kanvas Kosong
Hubungan mereka diawali dengan sesuatu yang tidak dapat dikatakan ramah.
"Pada akhir tahun pelajaran, ia berkata, 'Saya tidak menyukai Ibu dan saya tidak akan mengambil kelas Ibu tahun depan.' Saya berkata, 'Tidak masalah. Ibu juga tidak begitu suka mengajar kamu,'" kenang Jo Butcher, seorang guru seni di Sekolah Menengah Glendale.
Jo terbiasa mengajar murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus di kelasnya. Ia sendiri menderita disleksia dan karena itu ia berempati pada Ara Dona (seorang siswa tingkat pertama). Namun, keadaan Ara yang tuli tetap tidak dapat menjadi alasan untuk menjadi seorang "katalisator untuk mengacau di kelas". Setelah hampir tiga puluh tahun menjadi seorang guru, Jo menyerah terhadap kenyataan yang sering ditemuinya: kadang-kadang, Anda tidak dapat menjangkau setiap siswa.
Ara muncul lagi pada tahun berikutnya, terlambat dua minggu. Ia terpaksa karena tidak ada kelas lain yang cocok dengan jadwalnya. "Ara belajar di kelas mengukir, kelas menggambar, dan kelas melukis tingkat lanjutan yang saya ajar dan duduk bersama murid-murid yang lebih tua, para senior," kata Jo. "Saat itu, saya dapat melihat bahwa ia lebih serius dan lebih dewasa. Setitik cahaya baru saja menyala."
Ara dan keluarganya berimigrasi ke Amerika Serikat dari Armenia ketika ia masih kecil. Ia tinggal bersama kakek dan neneknya di Glendale, di sebuah apartemen kecil yang hanya memiliki satu kamar tidur. Ia tidur di sofa. Kakeknya menderita pikun dan neneknya, yang hanya dapat sedikit berbahasa Inggris, adalah sosok yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ara. Hubungan dengan ayahnya tidak berjalan dengan baik. Meskipun ia yang mendorong Ara untuk mengambil seni bela diri, hubungan antara mereka berdua amat renggang. Ara mencapai sabuk hitam tingkat tiga, bahkan pernah dipantau oleh Tim Olimpiade Amerika Serikat, meskipun akhirnya masalah kekurangan biaya menghempaskan mimpi-mimpi tersebut. Tidak diragukan lagi, Ara memiliki sebuah semangat yang membara, tetapi dorongan semangat itu bercampur dengan kemarahan. Ketika ia masuk ke kelas Jo, ia adalah seorang pemuda
yang pemurung dengan tinggi badan sekitar 187 cm, rambut keriting berwarna hitam, alis hitam yang tebal dan kusut. Singkat kata, penampilannya mengintimidasi.
"Apa pun yang saya ajarkan [kepada Ara] tidak cukup," kata Jo. "Dia selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan [tentang seni] sampai membuat saya jengkel. Ia mengikuti saya seperti bayangan, sampai akhirnya saya bertanya, 'Apa yang kamu inginkan?' Ia menjawab, 'Saya ingin belajar sebanyak yang saya mampu. Saya ingin tahu apa yang Ibu ketahui.'"
Jo pernah membicarakan tentang Ara dengan suaminya, tetapi ia tidak pernah benar-benar berdoa bagi Ara. Jo merasa "Roh Kudus mengatakan kepadanya untuk memberi pemuda itu waktu sebanyak-banyaknya". Jo pun setuju untuk memberi Ara kesempatan menjadi muridnya usai sekolah jika Ara berjanji tidak akan terlambat atau tidak masuk tanpa alasan yang tepat. Ara pun berjanji, dan ia tidak pernah melanggar janjinya. Selama dua tahun, kedua orang ini melukis dengan rajin sampai malam hari, kadang-kadang sampai tengah malam. "Keajaiban baru saja terjadi kepadanya," kata Jo. "Guru yang lain pun memperhatikan hal itu. Seni bela diri memberinya kemampuan untuk berkonsentrasi. Dia mengenal rasa sakit dari bekerja keras."
Ketika talenta Ara mulai meraih penghargaan dan beasiswa, keluarganya mulai mengerti bahwa menjadi seorang seniman adalah pekerjaan yang serius baginya. Mereka menyerahkan sebagian perwalian Ara kepada Jo, dan membiarkan Jo mengatur urusan membangun karier seni Ara. Jo menemukan seorang akuntan pajak yang bertugas mengawasi uang yang Ara dapatkan dari penghargaan yang diterimanya, dan mengirim dia untuk belajar di Florence Art Academy. Keluarga Butcher ikut bersama Ara ke Florence untuk beberapa saat, untuk membantunya menyesuaikan diri dengan kehidupan mandiri yang jauh dari rumah. Kenaifan Ara tentang kenyataan dunia ini membuat dia mengajukan pertanyaan lagi. Suami Jo akan mengirimkan Alkitab dan buku-buku Kristen kepadanya. "Suami saya menjadi seorang panutan bagi Ara," kata Jo. "Ara mengenal kekristenan, tetapi tidak pernah ke gereja. Suami saya berhati-hati untuk tidak memaksakan kekristenan kepadanya, tetapi selalu menyediakan diri ketika Ara ingin bertanya. Ketika ia pergi ke Florence, suami saya menumpangkan tangan kepadanya. Ara mengatakan bahwa ia tidak pernah mengenal seseorang seperti suami saya.'"
Ara cukup beruntung dapat menemukan seorang teman dari Amerika yang beragama Kristen di Florence untuk memelihara imannya. Musim panas lalu, Ara dibaptis di Florence. Ia bergabung dengan keluarga Butcher (yang telah menjadi jemaat LAC selama lebih dari tiga puluh tahun) untuk beribadah di Lake Avenue Church selama libur musim panas. "Karena ia tidak dapat berbicara dengan baik, ia harus menjadi saksi Kristus di dalam keadaannya," kata Jo. "Ara mengatakan bahwa cara pendeta Waybright membawa Alkitab selama kebaktian dan mengatakan bahwa iman
adalah firman Allah merupakan hal yang berarti baginya. Ia ingin menjadi seorang seniman yang menunjukkan bakat yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia ingin orang-orang merasakan bagaimana Tuhan tinggal di dalam dirinya melalui kesaksian yang penuh perasaan melalui karya seni. Nenek Ara berkata, 'Kami mencintai dirinya yang sekarang karena dia telah menemukan Kristus di dalam hidupnya. Ia seorang yang saleh dan hal itu sangat mengagumkan.'"
Jo, yang sekarang sudah pensiun dari mengajar kelas, akan selalu membawa cinta bagi murid-muridnya. "Saya ingin mengajar seakan-akan mengajar adalah sebuah karunia. Ini bukan kelas saya. Ini kelas-Nya.
(t/Yusak)
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"
Diterjemahkan dan disunting dari: | ||
Judul Majalah | : | SEASONS Vol.14 No.1, Maret-April-Mei, Musim Semi 2009 |
Penulis Artikel | : | Karly Pierre |
Penerbit | : | Lake Avenue Church, Pasadena |
Halaman | : | 13 |