Panggilan Tuhan: Bukan Sesuatu yang Mudah
"Saya tidak memahami jalan-jalan Tuhan yang tersembunyi, di mana Dia memimpin saya. Begitu banyak perbuatan-Nya dalam hidup saya yang membingungkan." (Christiana Tsai)
Hidup yang manusia jalani ini adalah panggilan Tuhan, bukan pilihan. Itulah apa yang kami pahami tentang hidup melayani Kristus. Pemahaman ini lahir dari pergumulan yang tidak mudah dalam melayani Tuhan. Apa yang kami pahami adalah jika kami diberi hak untuk menjadi pelayan-Nya, kami hanya akan melakukan apa yang Ia perintahkan dan kehendaki untuk kami lakukan. Kami tidak punya hak untuk memilih pekerjaan tertentu. Keputusan tertinggi ada pada-Nya, bukan pada kami.
Secara pribadi, saya lebih memilih untuk melayani di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Saya lahir dan dibesarkan di pulau ini dan kami telah melayani di sini selama kurang lebih 6 tahun. Saya dipercayakan untuk menggembalakan sebuah jemaat di pos pekabaran Injil (pos PI), menjadi pembina di komisi pemuda, dan menjalankan tugas penggembalaan di gereja induk bersama rekan-rekan lainnya. Sementara itu, istri saya (E) membantu saya di pos PI dan menjadi pembina di komisi wanita gereja induk. Kami telah menjalin relasi dengan gereja-gereja dan kampus-kampus. Melalui relasi ini, kami mendapatkan kesempatan untuk melayani di beberapa persekutuan mahasiswa dan gereja sahabat. Seiring dengan berjalannya waktu, kami telah mendapatkan banyak relasi, kesempatan, penghargaan, dan materi. Kami bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika kami tetap memilih untuk melayani di Indonesia. Saya juga sangat menikmati pelayanan sebagai seorang dosen di sebuah seminari. Selain itu, pelayanan melalui tulisan juga sudah saya coba. Karya tulis saya sudah diterbitkan dan disebarluaskan. Ini semua membuat saya senang untuk tinggal dan melayani di Indonesia.
Namun Tuhan menghendaki apa yang berlawanan dengan apa yang kami inginkan. Ketika kami sedang menikmati pelayanan yang kami kerjakan dan memiliki banyak impian untuk melakukan banyak pelayanan lain, panggilan Tuhan untuk pergi melayani ke ladang misi datang kepada kami. Sebenarnya panggilan itu pertama-tama diberikan kepada E pada tahun 1993. Saat itu ia sedang sekolah Alkitab di Institut Injili Indonesia (I-3), Batu (sebuah kota kecil berudara sejuk di daerah Jawa Timur. Pada penghujung tahun 1993, diadakan acara sharing misi, dibawakan oleh seorang misionaris wanita alumni I-3 yang telah beberapa tahun melayani di Tiongkok. Misionaris itu bersaksi dan membagikan beban agar ada orang yang mau berdoa dan pergi memberitakan Injil ke Tiongkok. Menutup acara sharing misi, misionaris itu memberikan tantangan. Ternyata Tuhan menaruh beban itu kepada E. Sejak itu, E berkomitmen untuk mendoakan dan menyerahkan diri untuk dipakai Tuhan sebagai misionaris di Tiongkok. Hal ini diketahui dan didoakan oleh teman-teman setingkatnya.
E turut ambil bagian dalam persekutuan doa misi yang diadakan di I-3. Dalam persekutuan doa misi ini, banyak misionaris alumni I-3 yang ikut. Setiap kali mereka pulang (cuti) ke Indonesia, mereka sharing di persekutuan doa ini. Di antaranya ada misionaris dari Afrika, India, Tiongkok, dan Kirgizstan. Namun, dari beberapa negara tersebut, hanya negara Tiongkok yang selalu "tinggal" dan "mengusik" hati E. Beban untuk melayani di Tiongkok terus membara dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997, E pindah dari I-3 ke sebuah sekolah Alkitab di daerah Cipanas, Jawa Barat, dan menyelesaikan studi teologinya di sana.
Tahun 1998, E lulus dengan gelar Sarjana Teologi. Pada tahun yang sama, kami menikah. Saat itu saya tahu bahwa E memiliki kerinduan yang sangat besar untuk Tiongkok, namun konsep saya waktu itu: mengapa harus melayani jauh-jauh ke luar negeri, sedangkan di Indonesia saja masih begitu banyak ladang pelayanan yang belum dilayani. Setelah menikah, E mendampingi saya melayani di sebuah gereja presbiterian di Jawa Timur. Pada saat kami melayani di sana, jumlah anggota jemaat kurang lebih 600 orang dewasa, belum termasuk pemuda, remaja, dan anak-anak sekolah minggu dan satu pos PI. Jadwal kegiatan di sana cukup padat dan banyak kegiatan yang harus kami tangani.
Harapan saya, kesibukan pelayanan di gereja akan membuat E melupakan beban dan panggilan untuk pergi ke Tiongkok. Jadwal kegiatan pelayanan yang kami jalani cukup padat. Saya sangat berharap ini bisa menghibur E dan membuatnya mengerti bahwa sekarang saja sudah ada begitu banyak jiwa yang harus dilayani. Namun, harapan saya meleset. Beberapa kali E terus mengingatkan saya akan panggilan misinya. Setiap kali dibahas, selalu berakhir dengan ketegangan dan perasaan tidak enak di antara kami. Saya tidak bisa mengerti mengapa harus jauh-jauh ke Tiongkok untuk melayani? Saya tidak mengerti beban misi dalam diri E karena saya tidak memiliki beban untuk pelayanan misi ke Tiongkok. Kami mengambil waktu untuk berdoa mengenai hal ini. Memasuki tahun kedua pernikahan kami, E sudah jarang, bahkan hampir tidak pernah mengingatkan dan mengungkapkan kepada saya tentang panggilan misinya. Saya pikir, E telah mengerti bahwa pelayanan tidak perlu jauh-jauh sampai ke Tiongkok, di Indonesia juga banyak yang harus dikerjakan. Rupanya dugaan saya kali ini juga salah, E tidak lagi mengingatkan dan mengungkapkan panggilan misinya kepada saya bukan karena ia lupa atau mulai mengerti. Bukan! E tidak membahas lagi karena ia lelah berdebat dengan saya.
Meskipun ia tidak berbicara lagi kepada saya tentang panggilan misi itu, E terus berbicara kepada Tuhan. Dalam doanya, ia berharap agar Tuhan menaruh beban misi itu ke dalam hati saya. Cukup lama E berdoa untuk saya sampai akhirnya Tuhan juga menggerakkan dan memanggil saya untuk melayani di ladang misi. Ketika beban ini mulai tumbuh dalam hati saya, saya tidak langsung menerimanya. Melalui peneguhan dan anugerah-Nya, Tuhan meneguhkan beban pelayanan lintas budaya ini ketika seorang adik tingkat di seminari yang sudah beberapa tahun melayani di Tiongkok bertemu dengan saya di Malang. Ia membagikan beban pelayanan di sana kepada saya. Sewaktu akan berpisah dengan adik tingkat saya, ia berharap agar saya mendoakan pelayanan misi di Tiongkok. Tuhan juga meneguhkan saya ketika saya dan beberapa rekan mengikuti konsultasi misi.
Dalam waktu kurang Lebih 2 tahun berdoa, E mengakui ada waktu-waktu ketika rasanya ia ingin menyerah dan meminta agar panggilan misi ke Tiongkok ini diangkat saja oleh Tuhan. Ia ingin melayani di Indonesia bersama saya tanpa ada ganjalan tentang panggilan misi ke Tiongkok. Ada saat-saat ketika E putus asa dan mulai berkata: "Ya Tuhan, saya tidak perlu pergi ke Tiongkok, di Indonesia juga saya sudah melayani, nanti saya akan kirim perpuluhan dan saya akan menyisihkan dana dari pelayanan di Indonesia untuk mereka yang melayani di sana." Benar! Di Indonesia kami juga melayani dan banyak jiwa yang belum mengenal Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat mereka. Tetapi Tuhan memanggil dan menaruh beban untuk Tiongkok kepada kami. Sama seperti ketika kami pergi ke bandara, di sana banyak pesawat terbang, namun tidak semua pesawat terbang memiliki jurusan yang sama. Kalau Anda memiliki tiket tujuan Surabaya maka tiket tersebut hanya bisa digunakan untuk tujuan Surabaya, tidak bisa dipakai untuk tujuan Denpasar atau tempat-tempat lain selain Surabaya. Pesawat memang banyak, namun tujuannya berbeda. Dan ingat, tiket yang Anda pegang hanya berlaku sesuai dengan tujuan yang tertera pada tiket tersebut.
Analogi ini mungkin akan membantu kita untuk mengerti bahwa ladang pelayanan memang banyak, namun tidak semua ladang pelayanan adalah tujuan kita. Demikian juga, ada banyak gereja di Pulau Jawa ini, tetapi tidak semua hamba Tuhan dipanggil untuk melayani di Pulau Jawa; ada yang pergi melayani di Pulau Sumatera, ada yang di pulau Kalimantan, dan seterusnya. Artinya, setiap orang dipanggil sesuai dengan tujuan dan maksud Allah bagi kita masing-masing. Ada banyak ladang pelayanan di dunia ini yang membutuhkan banyak pekerja. Allah menempatkan dan memilih setiap hamba-Nya untuk pergi melayani. Oleh karena itu, kita patut menggumuli dan mengerti serta taat kepada panggilan-Nya.
Kami tidak berkata bahwa semua orang dan setiap hamba Tuhan harus pergi meninggalkan gereja tempat pelayanannya saat ini, lalu pergi ke ladang misi. Tidak demikian tentunya. Kami hanya ingin membagikan kesaksian panggilan misi yang diberikan dan diteguhkan kepada kami ketika kami sedang melayani di gereja. Tuhan memanggil kami untuk pergi menjalani panggilan misi ke Tiongkok. Masing-masing orang dipanggil dengan panggilan yang berbeda dan khusus dari Allah. Entah itu di sekolah, panti asuhan, rumah sakit, gereja, dan masih banyak lagi ladang pelayanan yang ada di sekitar kita. Taatlah pada panggilan itu, entah Tuhan memanggil Anda dan saya secara jangka panjang atau jangka pendek di suatu tempat. Yang jelas, taatlah pada panggilan-Nya.
Saat Tuhan memanggil ... Ia berbicara melalui firman-Nya.
Melalui Kejadian 12:1-4 dan Efesus 4:11-12, Tuhan berbicara kepada kami. Dalam kitab Kejadian, Tuhan memanggil Abraham untuk meninggalkan apa yang dia nikmati ke negeri yang akan ditunjukkan Tuhan. Tuhan belum memberi tahu Abraham negeri mana yang dia harus tuju. Ini bukan perkara mudah bagi Abraham, ia harus membawa keluarganya tanpa tujuan yang pasti. Abraham beranjak meninggalkan negeri, kesenangan, dan kebiasaannya demi menaati perintah Tuhan. Meskipun perintah Tuhan tampaknya tidak memberikan jaminan dan kepastian, Abraham patuh. Pantas saja akhirnya ia disebut "Bapak orang beriman". Firman tersebut selalu terngiang-ngiang di dalam hati kami setiap hari sampai akhirnya kami berpikir apakah ini berarti Tuhan juga memanggil kami untuk meninggalkan apa yang sedang kami kerjakan dan nikmati sekarang ini? Dalam pergumulan yang tidak mudah dan tidak singkat, akhirnya kami yakin bahwa Ia betul-betul memanggil kami untuk pergi ke tempat dan suasana yang penuh ketidakpastian seperti Abraham.
Firman Tuhan dalam Efesus 4:11-12 juga terus berbicara kepada kami bahwa tugas utama seorang hamba-Nya adalah memperlengkapi orang percaya. Melalui firman Tuhan ini, Allah membuat kami mengerti bahwa kami harus aktif dalam pelayanan mengajar dan pelatihan. Lalu, kami mencoba memikirkan apa yang bisa kami buat dan hasilkan. Kami mencoba menulis buku. Walaupun sederhana, buku kami diterima oleh pihak penerbit. Apa yang kami tulis, kami ajarkan, dan latihkan kepada aktivis yang memerlukan keterampilan dalam melayani Tuhan. Saya juga terlibat datam Church Planting Training yang memberikan perlengkapan dan pelatihan kepada pendeta, penginjil serta aktivis yang melayani di suku-suku terabaikan dan pedalaman-pedalaman. Tuhan memberikan visi dan kemampuan dalam pelatihan di Indonesia ini sebagai bekal pelayanan di ladang misi nanti.
Setelah Tuhan memberikan beban dan panggilan misi untuk melayani di Tiongkok kepada saya, saya dan E mulai berdoa bersama untuk mempersiapkan diri dalam panggilan misi ini. Ada banyak tantangan dalam masa-masa itu. Sering kali kami ingin lari. Namun, setiap kali keinginan itu muncul, ada saja cara Tuhan menggiring kami kembali. Ada kalanya hati nurani kami merasa tidak sejahtera. Kadang-kadang Tuhan pakai orang-orang untuk mengingatkan kami. Sering juga melalui berbagai peristiwa yang Tuhan izinkan terjadi dalam kehidupan kami, yang membuat kami mengerti dan akhirnya kembali belajar taat pada panggilan-Nya. Semuanya ini membawa kami kepada pengertian bahwa "Jika kita mengaku bahwa Ia adalah Raja dan Tuhan kita, kita hanya bisa menuruti apa yang dikehendaki-Nya. Hidup ini sungguh merupakan suatu panggilan dan bukan pilihan kita sendiri."
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul buku | : | Permata di Balik Air Mata |
Penulis | : | Hendra dan Esther Ray |
Penerbit | : | Mitra Pustaka, Bandung 2004 |
Halaman | : | 13 -- 19 |