Pengantin Baru yang Menjadi Martir
Lorenzo adalah seorang pemuda yang pendiam, lemah lembut dalam berbicara, dan serius. Ibunya, Veronica, dekat dengannya karena ia berbakti dan patuh. "Ia melakukan apa yang telah dikatakannya. Ia adalah seorang pemuda yang baik," kata Veronica. Pada usia 18 tahun, Lorenzo diundang menghadiri ibadah gereja injili tidak jauh dari rumahnya. Ketika ia menerima Kristus, keluarganya melihat sebuah perubahan terjadi dalam perilakunya. "Ia menjadi lebih baik terhadap orang lain dan anggota keluarganya," kata Veronica, "ia ingin bernyanyi dan mengabarkan firman. Ketika ia berdoa pada malam hari, ia biasanya berdoa selama 2 atau 3 jam dan meminta Tuhan mengampuninya atas kesalahan selama 1 hari."
Ketika Lorenzo tumbuh makin dewasa, ia jatuh cinta kepada seorang gadis tetangga, Patricia, yang telah ia kenal selama bertahun-tahun. Pada usia 20 tahun, Lorenzo menikahinya. Mereka berencana membangun rumah mereka sendiri dan memenuhinya dengan anak-anak. Kedua mempelai berasal dari suku Tzotzil, dan tradisi mengharuskan Lorenzo untuk membayar pesta pernikahan tersebut. Lorenzo meminjam 500 peso (sekitar Rp 500.000) dari pamannya. Kemudian, 3 minggu setelah pernikahannya, Lorenzo yang merupakan pengantin baru ini memberanikan diri mengunjungi desa pamannya untuk membayar setengah dari utangnya. Sepupu Lorenzo dan kakaknya, Juan, ikut dengannya. Mereka tahu, masuk wilayah Jomalho akan berisiko bagi mereka. Mereka adalah orang Kristen dan orang-orang di desa itu menjalankan ritual tradisional Mayan. Orang-orang di desa itu mengusir orang Kristen keluar dan tidak menerima mereka masuk ke dalam desa mereka.
Saat itu paman Lorenzo tidak berada di rumah ketika mereka tiba. Oleh karena itu, Lorenzo, Juan, dan sepupunya melangkah masuk ke dalam sebuah warung di desa itu untuk membeli minuman bersoda. Orang-orang desa mengetahui keberadan mereka dan tidak lama berselang sekumpulan kecil orang berkumpul di luar warung tersebut. Ketika ketiga pemuda Kristen berdiri untuk pergi, salah seorang dari mereka menunjuk Lorenzo sambil berteriak, "Hentikan dia! Dia baru saja merampok gereja!" Ketika pemuda ini tahu bahwa tuduhan itu adalah tidak benar dan tuduhan itu dikatakan sebagai alasan untuk menyerang mereka, mereka diingatkan akan sebuah ayat favorit Lorenzo dari Mazmur 102:2, "Ya TUHAN, lepaskanlah aku dari pada bibir dusta, dari pada lidah penipu."
Juan dan sepupunya lari menuju hutan, tetapi Lorenzo ditangkap oleh gerombolan yang sedang marah ini. Ketika orang-orang desa memukuli dan menendanginya, Lorenzo berteriak memohon, "Jangan bunuh saya! Jangan bunuh saya! Saya baru saja menikah!" Gerombolan tersebut mengikat leher Lorenzo, dan pengantin baru yang menangis ketakutan ini dipaksa menggali kuburannya sendiri. Beberapa saksi berkata beberapa orang desa memukuli gigi Lorenzo dan kemudian mencungkil kedua bola matanya. Beberapa pria menarik tali yang mengikat leher Lorenzo dan pria lain menarik Lorenzo ke arah yang berlawanan. Lorenzo mati tercekik, mereka membuang mayatnya ke dalam lubang yang dalam dan memukul tengkorak kepalanya dengan batu besar. Mereka menutupi lubang tersebut dengan kotoran dan kembali ke rumah dan tempat pekerjaan mereka seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Para penyidik dari pemerintahan daerah Chiapas tiba di desa itu 3 hari setelah kejadian dan memindahkan mayat Lorenzo. Hanya 1 orang saja yang dihukum penjara. Ia dijatuhi hukuman 25 tahun penjara, tetapi sepertinya ia akan dibebaskan sebelum masa hukuman tuntas dijalaninya. Lorenzo adalah seorang Kristen yang percaya kepada kebenaran dan menyerahkan hidupnya demi kebenaran itu. Walaupun ia tidak jahat terhadap mereka, gerombolan itu membenci apa yang ia pegang teguh -- ia mengikut damai Yesus. Mereka menginginkan peperangan. Ia ingin mengisi anggur baru ke dalam kantung tua. Lebih dari 8 bulan telah berlalu sejak kematian Lorenzo. Veronica pun terus bergumul. Dengan uang pendapatan yang pas-pasan, ia sekarang bergantung kepada putrinya yang berumur 17 tahun untuk mengisi kekosongan ini. Veronica berkata, mengatasi kehilangan putra yang dikasihinya, Lorenzo, sangat sulit. "Saya telah menerima kematian putra saya dan melepaskannya pergi," katanya. "Saya telah meminta Tuhan untuk memberikan kepada saya kekuatan dan kasih karunia untuk melihat apa yang terjadi."
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama buletin | : | KDP (Kasih Dalam Perbuatan), Edisi November -- Desember 2008 |
Penulis | : | Tim KDP |
Penerbit | : | Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya 2008 |
Halaman | : | 3 -- 5 |